jpnn.com - GANG Kampoeng Sepoloh hanya selebar 2,5 meter. Selain itu, ujung belakang kampung tersebut yang lebarnya 4 meter begitu dekat dengan boezem Morokrembangan. Tapi, jangan bayangkan kampung tersebut kusam dengan atmosfer bau amis khas boezem.
-----------
Laporan Indiani K.W, Surabaya
-----------
Di mulut gapura, orang sudah disambut bayam merah yang bertumbuhan di sepanjang dinding gang padat penduduk itu. Aneka tanaman juga dibentuk sehingga pengunjung serasa melewati terowongan mini buatan warga.
BACA JUGA: Cerita Dua Mantan Komandan Paspampres Kawal Presiden dan Wapres
Belum cukup, ada aneka mural yang membuat kampung kian berwarna-warni. Gambar tersebut berpadu dengan kalimat-kalimat motivasi soal kebersihan dan kecintaan lingkungan hidup. Elok banget.
BACA JUGA: Sukses Rebut Pulau Kepayang dari Tangan Tommy Soeharto
Ya, wajah Kampoeng Sepoloh dulu tidak begitu. Kawasannya kumuh dan jorok. ’’Kami sekarang disebut sebagai kampung percontohan oleh Bu Risma (Wali Kota Tri Rismaharini, Red). Sebab, wajah kampung berubah 180 derajat,’’ jelas Ketua RT 10 Suyanto, Selasa (9/9). Kala itu dia sedang menyirami tanaman di kampungnya.
Itu memang tidak salah. Di bagian dalam kampung, terdapat sebuah relief pada taman mini yang berisi air dari olahan boezem. Sebuah lampu penerangan menjadi penghias taman tersebut saat malam. Hamparan bebatuan dan rumput menjelma sebagai lanskap elok pada taman imut itu.
BACA JUGA: Kikuk Ucapkan Alat Kelamin, Pernah Sebut Anu
Rumah-rumah warga pun tidak kalah hijau. Tak ada secuil pun lahan yang melompong. Beberapa jenis tanaman obat menjadi pengisinya. ’’Hitung-hitung kan bisa dimanfaatkan,’’ kata Chotimatul, salah seorang warga.
Salah satu ikon kampung itu adalah belimbing wuluh. Ibu-ibu PKK memanfaatkannya untuk aneka olahan. Mulai selai, manisan, sirup, hingga permen. Semuanya sudah menembus pasar pameran UKM. Aktivitas bareng itu membikin para perempuan Kampoeng Sepoloh kompak.
Kekompakan tersebut tidak lahir begitu saja. Menurut Suyanto, ada tindakan tegas terhadap warga kampungnya yang melanggar kesepakatan untuk melestarikan dan mencintai lingkungan. Awalnya adalah teguran awal. Itu berlaku, misalnya, bagi warga yang tidak menyirami tanaman serta membuang sampah sembarangan.
Tapi, kalau tetap membandel, ketua RT pun tegas. ’’Pasti nggak kami kasih surat pengantar. Istilahnya, dipersulit,’’ ujarnya.
Ketegasan itu memang dipandang perlu. Sebab, mereka tidak mau terus-menerus disebut kampung kumuh. Mereka ingin membuktikan bahwa tidak selamanya kampung di setren kali jorok. ’’Makanya kami buktikan secara nyata,’’ jelasnya.
Secara nyata, warga memang bahu-membahu menjaga kampung mereka. Soal iuran, misalnya. Dengan hanya Rp 2 ribu, warga sudah bisa menghasilkan banyak hal. ’’Kami nggak ingin membebani warga. Yang terpenting, tumbuhan bisa terawat dengan baik dan membuat kampung indah. Pasti warga akan tergerak dengan sendirinya,’’ jelasnya.
Selain itu, warga saling mengingatkan kalau ada koleganya yang lupa. Setiap pagi mereka menyiram tanaman di depan rumah masing-masing. Setelah itu, mereka bergotong-royong membersihkan kampung. Dengan begitu, di kampung tersebut tak ada secuil pun sampah yang tercecer. Tumbuhan pun terawat.
Suyanto menuturkan, semua ketegasan dan aturan itu akan bermanfaat bagi warga ke depannya. ’’Saya hanya ingin membuat pembaruan yang baik untuk warga. Kan ini menjadi sumbangsih saya juga sebagai ketua RT untuk warga,’’ ujarnya. (*/c7/dos)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Singgahi Khatulistiwa Ujung Timur di Pulau Kawe
Redaktur : Tim Redaksi