Melayani Waria meski Penuh Cibiran

Para Pelayan Tuhan untuk Kaum Terpinggirkan

Selasa, 23 Desember 2014 – 00:00 WIB
PUJIAN PINGGIR JALAN: Lagu-lagu Natal dinyanyikan para waria sambil membawa lilin yang dipimpin Yoyo (kiri) di pinggir Jalan Irian Barat. Foto: Frizal/Jawa Pos

jpnn.com - Orang-orang ini bisa saja melayani umat di gereja-gereja megah dengan lantai indah plus pendingin udara yang selalu berputar. Tapi, mereka malah memilih menjadi penjala manusia di tempat-tempat terpinggirkan. Senada dengan iman mereka bahwa Yesus ada di dalam orang-orang kehausan, orang telanjang, dan orang yang dipenjara.

= = = = = = = = = =

BACA JUGA: Aktivitas Arifin Panigoro setelah Gagal Merevolusi Sepak Bola Indonesia

PARA wadam itu selalu berkelana di jagat nan kelam. Jauh dari sorot lampu. Tengok saja tempat-tempat mangkal mereka. Selalu remang-remang. Sebagian mungkin untuk menutupi ’’kekurangan’’ (atau kelebihan?) mereka dibanding perempuan asli. Tapi, yang jelas, di tempat gelap itulah mereka merasa nyaman.

Jauh dari penolakan orang kebanyakan di tempat-tempat normal. Tak bisa dimungkiri, dunia masih kerap menolak mereka. Ya, menolak lelaki dengan dada berisi, tubuh molek, kaki jenjang, plus rambut yang tergerai halus. Karena itu, para waria tersebut selalu dijauhi tetangga, lingkungan, atau kawan. Yang mereka terima adalah sindiran pedas hingga pengusiran.

BACA JUGA: Gubuk Hebat Tempat Kumpul Ortu Penderita Cerebral Palsy

Namun, meski dunia menolak, Tuhan tak pernah mengabaikan mereka. Itulah yang menjadi pegangan Zakaria Agus untuk berkarya di tengah-tengah mereka. Dengan teguh, Yoyo –sapaan Zakaria Agus– mengulurkan karya bagi para waria di sepanjang Jalan Irian Barat dan Ngagel.

”Saya cuma mau mereka merasakan kasih dan kenal dengan Yesus. Itu aja,” ungkap pria asal Jember itu. Panggilan untuk melayani tersebut bermula saat dia membentuk band rohani bernama Kimaru (Kita Manusia Baru).

BACA JUGA: Budi Rahardjo, IT-Preneur di Balik Domain .id

Kelompok itu bergenre Japanese Christian Music. Band garapannya tersebut semula melayani umat di gereja-gereja. Warna musik yang nyentrik dalam balutan lirik bernuansa surgawi itu membuat mereka tampil beda dalam mengenalkan Yesus bagi jemaat. Pelayanan rutin tiap minggu di gereja lambat laun menjadi jenuh dan mulai tawar.

”Pelayanan rasanya kok gitu-gitu aja. Lantas kami diberi visi oleh Tuhan untuk menjangkau orang yang terpinggirkan,” ungkap alumnus Stesia Jember 1993 itu.

Alhasil, mereka pun memutuskan untuk menggarap ladang Tuhan di tempat yang ’’gelap’’. Yakni, kepada para waria. ”Yesus bilang kalau kita mau jadi terang, berarti harus ke tempat yang gelap,” papar pria yang pernah masuk dapur rekaman bersama Serius Band itu.

Perintah untuk jadi terang yang juga tertulis dalam Injil Matius 5:16 menjadi pegangan mereka. Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga. Itulah nukilan kitab suci yang dijalankan Yoyo tersebut.

Yoyo yang mengaku pernah menjadi pecandu seks ketika merantau di Jakarta itu mulai bergerilya di tengah komunitas marginal. Namun, itu tak berarti tanpa cobaan. Justru cobaan bertubi-tubi datang dari para waria. Tak sedikit sindiran dan nada pesimistis terucap dari bibir mereka.

Sekian lama diabaikan, hati para wadam tersebut bak menjadi batu. Pasalnya, sudah berjibun kelompok berlatar belakang rohani yang datang melayani. Tapi, berjibun pula yang tumbang. Tak jarang dalam waktu singkat. ”Alasannya, mereka lelah atau tujuan mereka nggak tercapai,” kata pendiri Generasi Pembawa Terang (GePT) Ministry itu.

Namun, penolakan tersebut justru membulatkan tekad Yoyo. Tekad untuk mengenalkan Sang Juru Selamat yang kelahirannya diperingati empat hari lagi kian membara. Pelan tapi pasti, kehadiran belasan anggota GePT mulai diterima.

”Kunci untuk akrab, harus tahu panggilannya. Bukan Mbak, Sus, Jeng, apalagi Mas. Panggil saja nama mereka,” tegasnya ketika Jawa Pos ikut dalam pelayanannya, Jumat (19/12). 

Yang terpenting adalah membangun rasa nyaman tanpa menganggap mereka berbeda di dalam Persekutuan Hidup Damai dan Kudus (PHDK) yang didirikan Yoyo dan bermarkas di Ngagel tersebut. Tak mudah memang membeberkan konsep tentang kasih Yesus yang bahkan sulit dinalar manusia.

Menurut dia, kisah dan kasih Yesus yang dibaca dalam Alkitab harus sejalan dengan perbuatan. ”Kasih itu harus dibuktikan, nggak cuma asal ngomong,” ujar Yoyo. GePT juga ikut mengonseling bila ada persoalan yang dihadapi waria. Soal kebutuhan rohani, psikis, jadi tempat curhat, atau menampung kisah perjuangan iman para waria tersebut. Itu membuat mereka kian akrab dan lebih mirip keluarga besar.

Bentuk pelayanan pun tak muluk-muluk. Bagi mereka, tak butuh uang banyak atau kekayaan untuk melayani sesama. ”Saya bahkan melayani dari gaji masih Rp 1 juta. Termasuk, ongkos makan dan bensin Surabaya Barat–Madura,” jelas mantan kuli bangunan itu. Tiap ada kesempatan, Yoyo dan timnya menyempatkan hadir pada pertemuan waria. Dia bisa larut dalam tiap obrolan, cerita, panggilan, istilah-istilah khusus, hingga keseharian mereka.

Ibaratnya kudu tune-in dulu. Bahkan, pria yang bergereja di Gereja Baptis Nazareth Pucang itu begitu luwes menirukan gaya mengibaskan rambut atau cara berjalan nan centil. Tiap kali bertemu, pria yang juga pembina komunitas punk Crossline tersebut tak segan mengajak para waria itu guyon. Misalnya, yang ditunjukkan saat memimpin pujian di Jalan Irian Barat Jumat malam lalu (19/12).

”Agak rapat duduknya. Ayo, posenya yang manis ya,” tuturnya dengan suara lembut nan menggoda kepada Natasya, Suzan, dan Melani, tiga waria cantik bertubuh molek, di Irian Barat itu. 

Berpakaian mini, terbuka, plus polesan make-up apik, ketiganya memegang lilin sambil menyanyikan lagu Oh, Holy Night. Kondisi malam metropolis yang dingin, di pinggir kali, hingga lalu-lalang pria yang coba mampir tak dihiraukannya. Suara syahdu, khusyuk, dan teduh dalam lagu itu dilantunkan dengan kesungguhan. ”Ya gini ini kalau pas lagi persekutuan doa. Cuek aja,” ujarnya.

Sekitar tiga pujian mereka nyanyikan. Setelah itu, lelaki kelahiran 9 Juni 1974 tersebut dan dua rekan menumpangkan tangan dan memanjatkan doa ucapan syukur. Sementara pujian dilantunkan, tiba-tiba ada seorang pria yang menepi di seberang jalan.

Bukan untuk ikut berdoa, tapi mengajak salah seorang waria kencan. Maklum, sudah waktunya mereka bekerja. ”Heh, ngaliho, engkuk ae (pergi, nanti saja, Red),” ucap Tasya pedas kepada pelanggannya itu.

Memang terlihat ironi. Di sela-sela bersaat teduh (berdoa), mereka harus segera kembali bekerja. Berdiri di tepi jalan dengan berbalut baju tipis dan supermini menanti rupiah. Tapi, itu bagian dari proses. Yoyo mengakui, mereka hanya perlu dihargai.

Selebihnya adalah urusan mereka dengan Tuhan. ”Yang penting perilakunya berubah, bukan fisik,” tandas lelaki yang juga melayani kaum lesbian, gay, dan para pemulung itu. (Priska Birahy-Ira Kurniasari/c7/dos)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Komunitas Surabaya Cerdas Finansial dan Upaya Bikin Melek Keuangan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler