Melihat Barifola, Gerakan Gotong Royong Membangun Rumah ala Masyarakat Tidore

Dalam Enam Hari, Rumah Tipe 36 Kukuh Berdiri

Senin, 27 Oktober 2014 – 00:55 WIB
SOLIDARITAS: Masyarakat relawan IKT berfoto bersama di depan rumah Hawa Sri yang baru selesai dibangun. Melalui gerakan barifola, pemilik rumah tidak perlu mengeluarkan biaya sepeser pun. Foto: Diar Candra/Jawa Pos

jpnn.com - Dengan barifola, ratusan rumah reyot di penjuru Maluku Utara disulap menjadi rumah layak huni. Tradisi gotong royong khas masyarakat Tidore itu tidak memandang suku dan agama. Berikut catatan wartawan Jawa Pos DIAR CANDRA yang sempat menyaksikan pembuatan rumah untuk warga tidak punya itu.

* * *

BACA JUGA: Terkaget-kaget saat Pembukaan Pengunjung Membeludak

SELAWAT Badar menggema dari salah satu rumah di RT 13, RW 04, Kelurahan Maliaro, Kota Ternate, Maluku Utara, Sabtu (18/10). Jarum jam sudah menunjuk pukul 22.00 WIT. Namun, semangat belasan ibu PKK untuk memanjatkan syukur tidak surut. Syukur atas selesainya pembangunan rumah bercat hijau yang menjadi tempat acara.

Rumah kinyis-kinyis itu adalah milik Hawa Sri. Semula, rumah janda berusia 70 tahun tersebut hampir ambruk karena sudah tua. Pemiliknya tidak mampu memperbaiki lagi. Untungnya, kondisi itu diketahui anggota Ikatan Keluarga Tidore (IKT) yang kemudian mengulurkan bantuan dengan membangun kembali rumah tersebut.

BACA JUGA: Melihat Aktivitas Eks PSK dan Muncikari setelah Lokalisasi Lenyap

Melalui gerakan barifola, nenek Sri tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun. Seluruh pembiayaan pembangunan kembali rumah itu ditanggung IKT.

’’Ibu Sri, semoga dengan hunian yang baru dan lebih layak ini, Ibu bisa makin khusyuk beribadah dan dekat dengan Allah. Semua yang ada di dunia ini hanya titipan dari Allah,’’ kata Burhan Abdurahman, ketua IKT Malut, berpesan saat menyerahkan rumah ’’baru’’ tersebut kepada pemiliknya, Hawa Sri.

BACA JUGA: Gayatri Wailissa, Hijrah ke Jakarta untuk Memburu Cita-Cita

Menurut Haji Bur, panggilan Burhan Abdurrahman, sebenarnya barifola adalah tradisi tolong-menolong yang berjalan sejak masa Kesultanan Nuku yang berkuasa di Tidore pada 1738–1805. Sesuai dengan makna harfiahnya yang berarti gotong royong membangun rumah, barifola sampai kini merupakan aktivitas untuk membantu memperbaiki tempat tinggal warga yang tidak mampu.

Barifola dimulai dengan rapat antar pemuka desa. Dalam rapat itu, mereka memutuskan rumah siapa yang akan diperbaiki sesuai dengan persyaratan yang berlaku. Keputusan itu kemudian diumumkan setelah salat Magrib di masjid.

’’Masyarakat Tidore memang kental dengan budaya Islam sehingga semua aktivitas sosial bermula dari masjid,’’ ucap Haji Bur yang juga wali kota Ternate.

Jika sudah ditentukan kapan barifola dilakukan, pada waktu yang disepakati, warga sedesa akan keluar rumah dan membawa bantuan untuk pembangunan rumah itu. Para pria bekerja membangun rumah, sedangkan kaum perempuan memasak untuk kebutuhan makan warga yang bekerja.

Khusus di Ternate, barifola semakin aktif sejak 2008, seiring penunjukan Haji Bur sebagai ketua IKT. Meski berasal dari Tidore, gerakan tersebut tidak dikhususkan untuk masyarakat di wilayah itu. Dalam perkembangannya, barifola juga menyasar rumah-rumah warga tidak mampu di daerah-daerah lain di seluruh penjuru Maluku Utara. Di antaranya, Ternate, Halmahera, Obi, dan Bacan.

Pada era kepemimpinan Haji Bur di IKT, barifola total sudah me-make over 141 rumah reyot menjadi layak huni. Rumah yang semula berdinding papan atau anyaman bambu (gedek) ’’disulap’’ menjadi lebih permanen dengan dinding batako serta atap seng.

Upacara penyerahan rumah milik Hawa Sri diliputi rasa haru tuan rumah. Begitu secara resmi diserahkan, nenek Sri bagaikan tidak kuat menahan haru. Dia langsung memeluk Haji Bur dan menangis sesenggukan. Sugiarto, putra bungsu di antara delapan anak Sri, juga tampak terharu melihat rumah ibunya jadi bersih.

Sugiarto yang sehari-hari menjadi tukang ojek itu menyatakan tidak punya cukup dana untuk merehab rumah ibunya. Penghasilan sebagai tukang ojek hanya cukup untuk makan sehari-hari keluarganya. Tujuh saudara Sugiarto tinggal di luar Ternate dengan kondisi yang tidak jauh berbeda.

’’Selama pengerjaan barifola ini, ibu saya betul-betul tidak mengeluarkan tenaga atau uang sedikit pun. Tiba-tiba saja datang pasir, semen, dan batako di depan rumah. Saya dan ibu awalnya tidak percaya. Tapi, subhanallah, semua selesai dengan cepat,’’ tuturnya.

Sugiarto menghitung, pengerjaan rumahnya dari yang semula berdinding papan serta beratap rumbia hanya berlangsung enam hari. Ke-40 mujahid barifola, sebutan relawan barifola, bekerja dengan cepat. Seperti sudah hafal di luar kepala, semua bekerja dengan cekatan menyelesaikan bangunan berukuran 9 x 6 meter itu.

Tidak hanya kembali membangun rumah, barifola melengkapi dengan perabot rumah yang lebih layak dan belum ada. Misalnya, sofa, kasur, sampai jaringan listrik.

Sekretaris IKT Malut Sutopo Abdullah membeberkan, ketika Haji Bur menjadi ketua IKT Malut periode 2007–2011, dirinya dan Haji Bur berdiskusi soal program kerja. Ketika itu, tercetus ide membuat koperasi. Namun, koperasi tersebut tidak berumur panjang. Koperasi simpan pinjam IKT yang dimaksud untuk membantu masyarakat kurang mampu tidak berjalan lancar. Boro-boro mau menyimpan dananya, banyak warga yang meminjam uang, tapi lupa mengembalikan.

Kemudian, pada 2008, tercetuslah ide barifola setelah koperasi IKT tutup. Gerakan itu diawali dengan calamoi, gerakan mengumpulkan uang seribuan warga Tidore. Bila anggota IKT Malut berjumlah 4.000 orang, dalam sebulan bisa terkumpul Rp 4 juta.

’’Tapi, respons anggota IKT luar biasa. Kebanyakan menyumbang lebih dari yang kami perkirakan. Karena itu, saat Haji Bur memulai barifola pada 2008, dana yang terkumpul Rp 40 juta–Rp 60 juta untuk satu rumah,’’ jelas Topo, sapaan Sutopo Abdullah.

Barifola edisi pertama sampai keenam difokuskan untuk saudara-saudara mereka asal Pulau Tidore saja. Namun, pada barifola selanjutnya, yakni ketujuh sampai ke-141 yang dilakukan Sabtu (18/10), IKT Malut tidak lagi memandang suku atau agama. Mulai orang Bugis, Jawa, Kalimantan, Morotai, sampai Halmahera yang beragama Islam, Kristen, Hindu, maupun Buddha, semua mendapat perlakuan sama.

IKT Malut punya tim untuk menyurvei rumah yang akan digarap. Namun, syarat utama untuk mendapat bantuan rehab IKT adalah status tanah rumah tersebut tidak dalam sengketa.

’’Ibaratnya, rumah reyot saja menjadi rebutan. Bagaimana kalau sudah dibangun permanen dan bagus? Makanya, barifola sangat selektif dalam memilih rumah,’’ tutur Topo.

Tim penilai kelayakan di internal IKT dipimpin Haji Bur. Melalui musyawarah di level elite IKT, ditentukanlah siapa sasaran barifola selanjutnya.

Dalam setahun, gerakan barifola bisa membangun 30 rumah. Aktivitas mereka hanya berhenti saat Ramadan. Memasuki bulan Syawal, IKT langsung menentukan rumah siapa lagi yang menjadi sasaran barifola.

Menurut Haji Bur, sampai tahun keenam ini, program barifola tidak pernah menggunakan anggaran pemerintah. Sebab, anggota IKT Malut sepakat untuk urunan tanpa melibatkan campur tangan pihak luar.

’’Semangatnya adalah beramal untuk akhirat. Kalau nanti dibantu pemerintah pusat atau daerah, kami malah nggak jadi dapat akhirat. Kalau masih bisa ditangani internal IKT sendiri, saya kira tidak perlu memakai dana dari luar,’’ tutur Haji Bur.

Tidak semua anggota IKT Malut menyumbangkan dana untuk barifola. Ada yang menyumbang barang atau material bangunan seperti 50 sak semen, 10 gulung seng, atau 1.000 buah batako. ’’Setelah rumah selesai, kami langsung merencanakan barifola selanjutnya,’’ tandas Haji Bur. (*/c5/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Cerita di Balik Sukses Para Pedagang Batu Bacan di Ternate


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler