Melihat Islam di Papua dengan Tradisi Nyala Damar Menjemput Lailatul Qadar

Kamis, 16 Juli 2015 – 09:26 WIB

jpnn.com - Islam masuk ke Papua sekitar abad ke-16. Ada banyak teori mengenai bagaimana Islam berkembang di Papua. Mungkin memang Islam masuk tidak dari satu sumber. Ada banyak campuran aliran. Termasuk bagaimana orang Papua melokalkan Islam. 

--- 

BACA JUGA: Ketika Rakaat Pertama, Kapal Dihantam Ombak Besar

Oleh KARDONO SETYORAKHMADI 

TANGAN tua itu sedikit gemetar ketika menyalakan lima damar di dalam bumbung bambu yang digantungkan di depan rumahnya. Setelah damar (sejenis lampu) menyala, wajahnya terlihat puas. Dia lalu masuk rumah, mengambil peci, dan keluar sebentar kemudian. Dia berdiri memandang damar yang nyalanya bergerak-gerak sesuai tiupan angin tersebut.

BACA JUGA: Yang Ngaku Antimainstream Baca Ini! Rururadio, Radio Nirkabel Berbasis Komunitas

Abdul Kadir Waripa -nama orang tua itu- bersiap salat Tarawih di Masjid Al Baqiyyah yang berjarak hanya 50 meter dari rumahnya. 

"Ini sudah tradisi zaman leluhur. Kami akan bersalah kalau tidak melaksanakannya," kata Kadir ketika ditanya mengapa memasang damar. Menurut dia, sudah tradisi, pada malam ke-27 Ramadan, semua warga menyalakan damar. Menyambut Lailatul Qadar, malam suci yang dipercaya lebih baik daripada seribu bulan. 

BACA JUGA: Perca, Rumah Besar Perempuan WNI Bersuami WNA

Damar baru akan dimatikan ketika malam takbiran atau sudah tidak Tarawih lagi. Mereka percaya malam istimewa itu harus diperlakukan dengan spesial pula, yakni dengan menyalakan damar. Pada saat malam tiba, barisan damar yang dinyalakan akan menimbulkan situasi religius. 

Pada Minggu malam itu (12/7) suasana di Fakfak memang menjadi penuh nyala damar. Mereka menyebut tradisi itu sebagai malam damar. Sebab, semua warga menyalakan damar pada malam itu. "Ini bagus untuk menghidupkan suasana sekaligus menambah kekhusyukan," kata imam Masjid Al Baqiyah Fakfak Muhammad Temongmere.

Menurut dia, tradisi tersebut bahkan tak hilang meski Belanda melakukan represi di Papua pada 1940-an hingga 1960-an. Warga tetap menyalakan damar meski pihak Belanda sempat melarang ritual tersebut. Pada masa itu Belanda memang tengah mengukuhkan basisnya di Papua sekaligus membawa misi gospel (penyebaran agama). 

"Tapi, kami tetap setia menjalankan ritual ini. Menambah iman sekaligus sebagai bentuk perlawanan," kata Temongmere. Menurut dia, Islam sudah jauh masuk lebih dulu ketimbang Blanda di Papua. Ucapan Temongmere tersebut beralasan. Islam memang sudah masuk jauh lebih dahulu ketimbang misionaris pertama tiba pada akhir abad ke-19. 

Dari uraian sejarah, Islam masuk Papua antara abad ke-15 dan 16. Itu terlihat dari adanya musala di Tunasgain yang diperkirakan berdiri pada 1587. Dari pertemuan sejarah di Fakfak pada 1997, setidaknya ada empat versi yang sama kuat. 

Yang pertama, adanya seorang sufi Arab bernama Syarif Muaz al-Qathan yang bergelar Syekh Jubah Biru, datang pada sekitar 1550. Kemudian, pendapat kedua adalah Islam dibawa Sultan Abdul Qadir, juga dari Arab. Lalu Islam dari Kesultanan Bacan yang dibawa Sultan Mohammad al-Baqir. Dan yang terakhir adalah Sultan Zainal Abidin dari Tidore yang pernah menguasai Papua.

Di samping itu, ada sejumlah teori lainnya, yakni dari Banda dan Jawa. Namun, apa pun teorinya, Islam kali pertama masuk melalui kawasan pesisir Papua Barat. Seperti di Raja Ampat, Fakfak, dan Kaimana. 

Bisa jadi semua teori tersebut benar. Sebab, pada pelaksanaan ritual Islam di Fakfak terlihat ada campuran dari berbagai tradisi Islam di Nusantara. Misalnya, pada syair barzanji maupun ayat-ayat Alquran yang diputar, terkesan tradisi Jawanya.

Namun, sejumlah aspek ritualnya memiliki banyak kesamaan dengan seperti Islam di Maluku Kie Raha (empat Kesultanan Islam). Misalnya, salat pakai peci dan baju gamis. (*/c9/sof) 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Martunis, Rindu Aceh Terbawa Mimpi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler