jpnn.com - DUA kali ritual sembahyang (ziarah) kubur yang dilaksanakan warga Tionghoa setiap tahunnya. Selain bentuk penghormatan kepada arwah leluhur, momen ini juga menjadi ajang berkumpul keluarga.
Fahrozi - Singkawang
BACA JUGA: Satu Meja Pakai Bahasa Inggris, Meja Lain Mandarin
Keluarga Rio Dharmawan mengaku akan mengunjungi pemakaman keluarganya yang sudah meninggal Minggu (3/8) mendatang saat momen sembahyang kubur pada bulan 7 penanggalan Imlek dimulai sejak 27 Juli dan berakhir 10 Agustus mendatang.
"Kami sembahyang nya pada puncak keramaian (pada momen sembahyang kubur) Minggu (3/8) nanti," kata Rio, Jumat (1/8).
BACA JUGA: Indonesian Card Artists, Pengembang Skill Unik Card Flourish
Menurut Rio, Jumat (1/8) merupakan hari ke enam sembahyang kubur kedua. Dimana pada momen kedua ini setiap tahunnya, makna utamanya adalah pelimpahan jasa kebajikan kepada roh leluhur atau sanak keluarga yang telah meninggal.
Warga saat sembahyang kubur, adalah membersikan areal pemakaman, memberikan persembahan amisedana dan penghormatan di depan makam leluhur.
BACA JUGA: Ludruk Tjap Toegoe Pahlawan setelah Minus Cak Lontong
Perlengkapan yang dibawa saat ritual ini, diantaranya dupa atau Hio, Lilin, kue-kue, air putih, teh, buah-buahan, lima jenis masakan vegetarian, kertas emas dan perak, pakaian Dewa Bumi, perabot rumah tangga yang terbuat dari kertas karton.
Kemudian juga membawa nasi, mangkuk, piring, gelas, uang arwah atau uang kertas. "Ada juga yang membawa benda-benda kesayangan almarhum atau almarhumah orangtua dan leluhur semasa hidup yang semuanya terbuat dari kertas karton," katanya.
Setelah berada di depan makam, diawali dengan memberikan penghormatan melalui ritual sembahyang kemudian memanjatkan doa, membacakan sutta atau paritta suci, mempersembahkan sajian kepada roh leluhur dan diakhiri dengan pembakaran kertas sembahyang emas dan perak, perlengkapan sembahyang, uang-uangan arwah serta pakaian Dewa. Ada juga membawa makanan yang kemudian dibawa pulang untuk disantap.
"Kecuali nasi dan teh, biasanya ditinggalkan di lokasi pemakaman. Jarang ada yg bawa pulang utk disantap," katanya.
Sembahyang kubur seperti ini, sebut Rio, masih dilaksanakan warga Tionghoa yang beragama Buddha, Tao dan Konghucu.
Pada puncak perayaan sembahyang kubur jatuh pada 10 Agustus, kemudian dilakukan sembahyang rampas di setiap Kelenteng.
Selain ritual, dikatakan Rio, sembahyang kubur sekaligus merupakan ajang kumpul keluarga yang lama berada di negeri perantauan.
"Momen sembahyang kubur juga menjadi ajang kangen atau kumpul keluarga. Karena banyak keluarga yang berada di luar Singkawang berkumpul," katanya.
Hal sama juga dilakukan warga lainnya, Susi Wu. Dirinya bersama dengan keluarganya akan berkunjung ke pemakaman saat Sembahyang kubur pada Minggu (3/8) nanti.
"Biasanya kita laksanakan pada pagi atau subuh. Tapi kalau sekarang malah ada yang melaksanakan pada sore hari, karena waktu kita berbalik dengan alam sana, kalau kita pagi mereka malam, dana kita sore mereka pagi," kata Susi.
Menurut Susi, selain sebuah tradisi, sembahyang kubur juga merupakan momen untuk menunjukkan bakti kepada almarhum leluhur dengan mengirim doa-doa agar arwah leluhur tenang di alam sana. Selain itu, momen ini juga merupakan ajang berkumpulnya keluarga yang mengharukan.
"Sembahyang kubur merupakan tradisi etnis Tionghoa yang di lakukan dua kali setahun dan merupakan bentuk penghormatan terhadap leluhur dan sebagai momen untuk memohon doa agar anak cucu yang hidup di dunia di beri kehidupan yang baik.
Anak muda lainnya, Anton menuturkan dari cerita ayahnya, bahwa sembahyang kubur kedua ini lebih pada mendoakan arwah-arwah yang tidak pernah disembahyangi, atau tidak punya sanak keluarga lagi di dunia.
Karenanya, ritual ini selalu diakhiri dengan sembahyang rebut (rampas) dan pembakaran wangkang. "Tujuannya mengantarkan arwah-arwah tersebut kembali ke alamnya, dan tidak lagi mengganggu kehidupan di dunia ini," katanya. (***)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Baru Sebulan Berdiri, Hancur Dihantam Roket
Redaktur : Tim Redaksi