"Nikel yang mineral itu, kan? Kenapa bisa bikin menangis? Kok aneh, liputan nikel tapi terus nangis?" tanya seorang kawan keheranan mendengar jawaban saya, saat dia menanyakan tentang liputan terakhir saya mengunjungi sejumlah kawasan nikel di Indonesia.
Yang bikin nangis bukan nikelnya, memang.
BACA JUGA: Waspadai Cuaca Ekstrem, Indonesia Sejauh Ini Sudah Mengalami 106 Kali Banjir
Tapi bagaimana dampak demam nikel dan ambisi Indonesia menjadi hub kendaraan listrik menyentuh banyak orang dan kehidupan mereka. Itu yang bikin sesak.
Memang seperti pisau bermata dua.
BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Nasib TikTok di Amerika Serikat Kini Berada di Tangan Senat
Ada yang diuntungkan, tapi tak bisa dipungkiri, banyak jejak kerusakan yang juga menyengsarakan.
Hampir semua narasumber menangis saat menuturkan cerita mereka kepada saya.
BACA JUGA: KPK Diminta Turun Tangan soal Dugaan Kasus Izin Tambang
Cerita bagaimana tambang nikel dan smelter nikel membuat hidup mereka tidak lagi sama seperti yang dulu.
Tidak semua isakan mereka bisa dilihat di dokumenter ini, tapi sukses melekat dalam ingatan saya.
Suara Astia, perempuan Bajo dengan tiga anak yang tinggal di Kurisa, sekitar 2 kilometer dari IMIP, bergetar saat dia menceritakan sulitnya hidup sebagai orang Bajo ketika lautnya telah tercemar.
Putri, yang terjebak tawaran kerja dan berakhir menjadi wanita penghibur menangis terisak-isak saat ia mengulang isi doanya pada saya, meminta Tuhan menghalalkan uang yang didapatnya.
Fatiamah, penjual buah di depan pabrik dan asrama VDNI di Morosi mengusap air matanya ketika menceritakan bagaimana ia hanya bisa mengandalkan putri terkecilnya yang berusia 11 tahun untuk mencari uang dari berjualan buah.
Tentu banyak dari mereka yang juga sangat kuat, tegar, serta gigih mempertahankan kehidupan mereka di sarang nikel, dan dengan yakin mengartikulasikan apa yang mereka tuntut.
Tapi ada juga Jupri, petani padi di Pomalaa.
"Mbak tidak boleh tanya begitu. Saya juga tidak boleh berpikir begitu," jawab Jupri, ketika saya bertanya apakah dia terpikir untuk meminta operasi tambang yang membuat sawahnya kebanjiran "air merah" dihentikan.
Matanya menatap saya dalam-dalam, seakan tidak percaya mendengar pertanyaan saya.
"Kenapa enggak boleh, Pak?" tanya saya, juga keheranan.
"Karena saya orang kecil, bukan siapa-siapa, cuma petani, saya tidak layak berpikir begitu."
Kali ini gantian saya yang menangis.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dunia Hari Ini: Influencer Inggris Andrew Tate Akan Diekstradisi ke Inggris