Memaknai Kitab Kuning ke Dalam Bahasa Jawa dengan Laptop Pinjaman

Sabtu, 25 Juni 2016 – 00:18 WIB
SALING MENGUATKAN: Abdul Manaf Bersama Istri, Sri Wahyuni, di ruang tamu rumahnya di Margoyoso, Kalinyamatan, Jepara, Minggu (12/6). FOTO: BAYU PUTRA/JAWA POS

jpnn.com - ABDUL Manaf menghela napas. Pendek saja sebenarnya. Tapi, terlihat jelas guratan kekecewaan di wajah keriputnya. Matanya menerawang, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

BAYU PUTRA, Jepara

BACA JUGA: Kisah Mantan Guru Berpuasa di Balik Jeruji Besi (1)

Beberapa saat sebelumnya, dia bertanya kepada Jawa Pos berapa kira-kira harga laptop yang mumpuni untuk dipasangi aplikasi Corel Draw. Dia membutuhkannya karena dua komputer jinjing yang ada di rumahnya kerap hang.

Dua laptop itu tergeletak di meja ruang tamu saat Jawa Pos bertandang ke rumahnya pada Minggu dua pekan lalu (12/6). Ruang tamu rumah di Margoyoso, Kalinyamatan, Jepara, itu sekaligus menjadi ruang kerja suami Sri Wahyuni tersebut. 

BACA JUGA: Indonesia Berduka, Seniman Legendaris ini Wafat Pagi Tadi

Ada printer scan merek HP di sana, selain dua laptop di atas. Juga, sejumlah kitab klasik, kamus Arab-Indonesia, serta kamus bahasa Arab (semacam KBBI atau Oxford Dictionary versi Arab).

Di antara semua peralatan kerjanya tersebut, hanya printer berwarna putih yang murni miliknya. Dia menebusnya dengan harga Rp 800 ribu. ”Dua laptop itu bukan punya saya. Saya cuma dipinjami,” katanya. 

BACA JUGA: BJ Habibie, Tanpa Ambisi yang Penting Cari Solusi

Bermodal laptop pinjaman itulah, Manaf memulai aktivitas memaknai kitab klasik atau kitab kuning yang biasa menjadi bahan ajar pesantren sejak 2005. 

Di antaranya, Karomatul Auliya karya Syekh Yusuf bin Ismail An Nabhani dan Jawahirul Khomsah karya Syekh Al Imam Al Allamah Al Hammam Sayyid Muhammad bin Khotiruddin. 

Juga, Kasfudz Dzunun, Jamiul Ushul Fil Auliya, sampai Jauhar Ma’ani yang merupakan manakib Syekh Abdul Qadir Jailani karya Syekh Jauhari Umar. Saat ini dia sedang menggarap Risalah Al Ghazali. ’’Belum selesai,’’ katanya. 

Seluruh kitab itu dia jamah dalam tempo sebelas tahun. Jelas bukan waktu yang singkat. Ditambah lagi, memaknai kitab klasik tidak bisa sembarangan dilakukan. Perlu pemahaman bahasa yang baik. Apalagi, Manaf menerjemahkan kitab tersebut ke dalam bahasa Jawa.

Selama sebelas tahun itu pula, pria kelahiran Rembang, Jawa Tengah, tersebut mengikuti perkembangan aplikasi Corel Draw dan meng-upgrade sesuai kebutuhan. Saat ini dia menggunakan Corel Draw versi 14 yang dijalankan dalam program Windows XP. 

Perkenalannya dengan Corel Draw dimulai sekitar 2000. Kala itu sang istri, Sri Wahyuni, terbaring sakit. Sembari merawat sang belahan jiwa, ayah satu anak itu mulai mengisi waktu dengan memaknai kitab. 

Namun, ketika itu dia masih melakukannya secara manual. Dengan tulisan tangan. Di saat yang sama, dia juga aktif dalam kegiatan pengajian rutin menelaah kitab klasik. Hasil pemaknaan yang dilakukannya pun dibagikan kepada para jamaah. 

Dari sanalah ada jamaah yang kemudian memberikan saran. ’’Mbah, menika lek ngangge tulisan tangan kesuwen (Kek, kalau pakai tulisan tangan terlalu lama, Red),’’ tuturnya menirukan jamaah tersebut.

Manaf pun disarankan memindai tulisan di kitab sebelum memaknainya. Jadi, dia tidak perlu menulis ulang. Manaf juga ditawari untuk kursus komputer dengan biaya Rp 350 ribu. 

Namun, pria yang di KTP-nya tertulis kelahiran 63 tahun lalu itu menolak tawaran tersebut dengan halus. Sebab, yang diajarkan adalah menggunakan aplikasi huruf Latin. Padahal, Manaf perlu belajar aplikasi berbahasa Arab. 

Akhirnya, dia ditunjukkan sebuah pesantren di kawasan Kriyan, Kalinyamatan, yang bisa mengoperasikan aplikasi berbahasa Arab. Ke sanalah dia lantas menuju. Karena seringnya berkunjung, dia akhirnya ditawari mengajar. Sebuah tawaran yang tak dia sia-siakan.

Salah satu alasannya, dengan menjadi guru, dia bisa leluasa menggunakan peranti milik pesantren. Termasuk alat scan. Dia lalu belajar untuk mengoperasikan komputer. Dimulai dari yang paling sederhana: menghidupkan dan mematikan. 

Jamaahnya pun tidak ketinggalan menyumbangkan sebuah komputer bekas dengan prosesor Pentium II dan program Windows 98. Beberapa waktu kemudian, kemampuan kakek berjenggot putih itu dalam memaknai kitab terdengar sampai ke Malang. 

Salah satu pimpinan pesantren di sana meminta dia untuk memaknai beberapa kitab klasik. Di antaranya, Karomatul Auliya, Kasfudz Dzunun, dan Jawahirul Khomsah. 

Dari situlah dia juga mulai mengenal aplikasi Corel Draw. Dia mempelajarinya secara otodidak. Setelah merasa bisa, hasil scan lembaran kitab kuning dia edit menggunakan Corel. Bukan mengedit tulisan, melainkan jarak antar baris.

Rata-rata kitab tersebut dalam satu halaman berisi 18 baris. Dia lalu menguranginya menjadi sembilan baris per halaman. Supaya ada jarak yang bisa digunakan untuk menulis hasil pemaknaan. Dia mengukir pemaknaan itu huruf per huruf dengan menggunakan menu tulisan Arab di Corel. 

Dia pernah merasakan kerepotan saat menggunakan Corel versi 14. Sebab, tulisan Allah dalam bahasa Arab tidak bisa muncul. Setelah ditelusuri, rupanya, pangkal persoalan ada pada versi Windows. Corel versi 14 tidak cocok dengan Windows 7 yang dia gunakan. 

’’Akhirnya, saya kembali ke Windows XP, baru bisa,’’ lanjutnya.

Dalam proses kerjanya itulah, tidak jarang laptop yang dia gunakan rusak atau hang. Persoalannya, tidak semua tukang servis mampu mengatasi permasalahan. Terutama yang menyangkut program. Sebab, sebagian menu dan program yang ada di laptop itu sudah di-setting berbahasa Arab. 

Saat ini pun, keyboard laptopnya juga tidak berfungsi. Dia akhirnya menggunakan portable keyboard berbahan karet berwarna hijau untuk menggantikan keyboard-nya.

’’Kalau saja saya punya mouse pen, mungkin akan lebih mudah mengerjakannya,’’ tutur dia. Sayang, dia belum mampu membeli.

Hidup Manaf memang bersahaja. Sebelum menerjuni pemaknaan kitab, dia adalah pembuat jamu. Lulusan Ponpes Manbaul Khoiriyah Islamiyah Bangsalsari, Jember, itu kini mengandalkan penghasilan sebagai guru mengaji privat. Dia memulai mengajari santrinya mengaji kitab Alfiyah.

Sang istri yang sudah tidak bisa banyak beraktivitas membantu mencari nafkah dengan menyulam pakaian dan taplak meja, kemudian menjualnya. Manaf dan Sri memiliki seorang anak angkat bernama Hamdan. Anak kandung mereka meninggal saat lahir pada 1993.

Kebersahajaan itu pula yang membuatnya tidak berani mengajukan kitabnya untuk naik cetak. Sebab, seorang kawan memberi tahu, untuk menerbitkan kitab, dia butuh izin dari Kanwil Kementerian Agama. 

Selain itu, ada beberapa proses lain sebelum naik cetak. ’’Saya tidak ada biaya untuk itu,’’ ucapnya.

Akhirnya, kitab-kitab tersebut hanya dibeli perorangan, khususnya para ustad di Jepara yang sudah mengenal kualitas Manaf. Dia mencetaknya secara sederhana di sebuah kios fotokopi dalam bentuk hard cover. Kertasnya dia datangkan dari Kudus dan berwarna kuning selayaknya lembaran kitab kuning.

Manaf jelas juga tak punya biaya untuk membeli laptop mumpuni dengan harga yang disebutkan Jawa Pos, yakni Rp 4 juta–Rp 5 juta. Itu jumlah yang barangkali tak terbayangkan untuk pria sepuh yang rumahnya terletak di sudut gang sempit dengan jalan belum beraspal tersebut.  

Tapi, dengan segala keterbatasannya, Manaf menyatakan bakal terus memaknai kitab-kitab kuning. Dia baru berhenti apabila kondisi fisiknya memang sudah tidak memungkinkan. Atau bila Sang Khalik ingin dia kembali. 

’’Selama hayat masih dikandung badan, saya akan terus memaknai kitab,’’ katanya. (*/c10/ttg)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Mengenang Surat Ainun, Rudy Tertawa


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler