Membaca Paradoks Jokowinomics dan Gelagat Kegagalannya

Oleh Dr. Fadli Zon, M.Sc*

Minggu, 31 Desember 2017 – 09:14 WIB
Presiden Joko Widodo dan Wakil Ketua DPR Fadli Zon dalam sebuah pertemuan konsultasi pimpinan lembaga tinggi negara pada 2015. Foto: dokumen JPNN.Com

jpnn.com - Sepanjang tahun 2017 perekonomian Indonesia banyak dipenuhi kabar murung. Hal itu tak lepas dari strategi pembangunan pemerintah yang tak jelas.

Dari awal pemerintah sepertinya memang tak punya konsep yang jelas dalam pembangunan. Ini bisa kita lihat dari jargon yang dibangun.

BACA JUGA: PKS Evaluasi Pemerintahan Jokowi-JK, Ini Delapan Catatannya

Saat naik, Presiden Joko Widodo mengusung jargon Revolusi Mental yang akan jadi cetak biru kerja pemerintah selama lima tahun. Tapi, kemudian pemerintah justru mengejar pembanguna infrastruktur fisik. Jadi, antara wacana yang diproduksi dengan praktik yang dikerjakan tidak nyambung.

Semula saya mengira Revolusi Mental itu akan jadi sejenis gagasan people centered development model David Korten. Gagasan itu adalah kritik terhadap konsep pembangunan ekonomi yang berorientasi mengejar pertumbuhan dengan mengabaikan aspek pembangunan manusia dan lingkungan.

BACA JUGA: Tutup IHSG, Jokowi Ajak Investor Hadapi Risiko sebagai Kans

Tapi, dugaan itu ternyata keliru. Pemerintah sendiri kini bahkan tak pernah menyebut lagi jargon Revolusi Mental tersebut.

Inkonsistensi juga bisa kita lihat dari jargon pembangunan maritim. Bervisi mengembalikan kejayaan ekonomi maritim, pemerintah justru membangun jalan tol di darat.

BACA JUGA: Jokowi Tutup Bursa Saham dengan Rekor Membanggakan

Tapi ada yang lebih aneh lagi. Pemerintah malah hendak melepas pengelolaan 20 pelabuhan ke pihak swasta.

Penggunaan dana publik untuk membangun jalan tol adalah hal ironis, karena kemudian publik tetap harus membayar mahal untuk menggunakannya. Lihat saja ruas tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu) yang belum lama ini diresmikan Presiden Jokowi, tarifnya mencapai Rp 14 ribu untuk panjang 12 km. Jadi, masyarakat harus membayar lebih dari Rp 1.000 per kilometernya.

Selain tarif, pengelolaan jalan tol di Indonesia juga ganjil, karena status jalan tol di kita sepertinya tak mengenal masa kedaluwarsa. Sesudah konsesinya habis, biasanya hanya operatornya yang berganti. Tapi, jalan tolnya tetap digunakan sebagai jalan tol oleh pemerintah, bukan diubah jadi jalan umum biasa. Ini sebenarnya tak lazim dan merugikan masyarakat.

Bagi saya, inkonsistensi serta paradoks-paradoks itu menunjukkan pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah selama ini sebenarnya memang tak punya konsep. Tak mengherankan jika sepanjang tahun 2017 ini rapor ekonomi pemerintah cukup buruk.

Pertumbuhan ekonomi tahun ini diperkirakan akan bertahan di angka 5,05 persen. Angka ini tak jauh berbeda dengan pertumbuhan tahun 2016 yang sebesar 5,02 persen. Jadi, perekonomian kita sepanjang tahun ini sebenarnya stagnan.

Konsumsi rumah tangga yang biasanya jadi motor pertumbuhan, sepanjang tahun ini dihantam oleh pelemahan daya beli sehingga kini kontribusinya turun. Pemerintah memang berkali-kali membantahnya. Tapi, tutupnya sejumlah supermarket dan gerai retail menunjukkan daya beli masyarakat memang benar-benar sedang tertekan.

Ekonomi kita memang sedang lesu. Namun pemerintah harus menyadari kebijakan fiskal yang ketat dalam tiga tahun terakhir tak bagus bagi pemulihan ekonomi dan daya beli masyarakat.

Seharusnya anggaran negara diprioritaskan untuk merangsang kegiatan ekonomi masyarakat dan memecahkan persoalan mendesak jangka pendek. Tidak seharusnya di tengah-tengah keterbatasan anggaran dan penerimaan negara, pemerintah terus-menerus memprioritaskan anggaran untuk belanja infrastruktur.

Selain itu, di tengah kelesuan ekonomi, pemerintah seharusnya tak menambah beban masyarakat dengan kenaikan berbagai tarif, pungutan, serta pajak. Rencana kenaikan tarif terselubung melalui penyederhanaan golongan listrik di bawah 5.500 VA, misalnya, yang rencananya diberlakukan tahun depan, seharusnya dibatalkan. Sebab semakin memukul daya beli masyarakat yang akhirnya berimbas negatif bagi perekonomian.

Saya kira Presiden Jokowi harus mengevaluasi para menteri dan penasihat ekonominya. Mereka terlalu textbook thinking, sehingga gagal memahami struktur perekonomian kita.

Pertumbuhan GDP, misalnya, bukanlah ukuran perkembangan ekonomi yang akurat, sehingga tak pantas didewa-dewakan oleh teknokrat kita. Mengingat struktur perekonomian kita, besaran GDP lebih mewakili ‘pertumbuhan ekonomi orang asing di Indonesia’, ketimbang mewakili pertumbuhan ekonomi Indonesia sendiri.

Pembangunan infrastruktur mendesak segera dievaluasi. Selama ini, bertambahnya utang, melambatnya pertumbuhan, berkurangnya anggaran subsidi, oleh pemerintah sering dikaitkan dengan pembangunan infrastruktur.

Saya menilai, pembangunan infrastruktur telah dijadikan dalih atas setiap kegagalan pemerintah dalam memenuhi janji-janji serta kewajiban-kewajibannya. Ini tak bagus.

Apalagi, saya baca, sampai 31 November 2017, dari 245 proyek proyek strategis nasional yang dicanangkan pemerintah, ternyata baru empat yang selesai. Sementara sisanya masih dalam tahap konstruksi, tahap transaksi, dan 87 bahkan masih tahap persiapan. Jadi, meski klaimnya telah dikebut pemerintah, kenyataannya progres proyek-proyek itu sangat lambat.

Di sisi lain, klaim tentang pembangunan infrastruktur sebenarnya perlu dipertanyakan kembali. Pemerintah sering menyatakan anggaran infrastruktur meningkat tajam jika dibandingkan periode sebelumnya. Menteri keuangan, misalnya, pernah merilis pernyataan antara 2015 - 2017 alokasi dana pembangunan infrastruktur dalam APBN meningkat 127 persen dibandingkan dengan 2011-2014.

Apakah klaim itu bisa dipertanggungjawabkan? Sebab, saya baca beberapa kajian, pemerintahan Presiden Jokowi ternyata telah melakukan perubahan definisi anggaran infrastruktur, sehingga klaim-klaim tadi patut dicurigai tak akurat.

Dalam nomenklatur APBN kita, misalnya, hanya ada 11 klasifikasi fungsi belanja pemerintah pusat, di mana infrastruktur bukan salah satunya. Sebelum masa pemerintahan Jokowi, yang disebut sebagai anggaran infrastruktur biasanya adalah belanja modal yang dapat dikategorikan belanja fisik.

Namun, di era pemerintahan Jokowi, perkiraan alokasi Dana Transfer Umum (DTU) dan sebagian besar alokasi belanja barang juga dianggap sebagai belanja infrastruktur. Angka dua pos ini kebetulan cukup besar. Sehingga, kemungkinan hal inilah yang telah membuat anggaran infrastruktur di era pemerintahan sekarang kesannya seolah membengkak.

Jika dugaan ini benar, bahwa pemerintah telah memperluas definisi anggaran infrastruktur, maka peningkatan belanja infrastruktur sebagaimana yang sering diklaim pemerintah sebenarnya tidak benar. Pertanyaannya, lalu ke mana larinya dana hasil pencabutan berbagai subsidi yang ditarik pemerintah dalam tiga tahun terakhir ini?

Klaim belanja infrastruktur yang meningkat memang tak sejalan dengan indikator pembangunan yang ada. Buktinya, peringkat infrastruktur Indonesia tiga tahun ini tak lebih baik dibanding empat tahun lalu.

Sebagai gambaran, pada periode kedua pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), peringkat pembangunan infrastruktur kita indeksnya meningkat tajam dari 82 (2009) ke-56 (2014), dengan skor yang juga melonjak. Dari sebelumnya 3,2 menjadi 4,4. Di awal pemerintahan Jokowi, peringkat kita turun ke posisi 62 (2015).

Memang tahun ini kita kembali memperbaiki peringkat, dengan naik ke peringkat 60, tapi dengan kenaikan skor yang hanya 0,1. Ini tentu agak aneh jika dibandingkan dengan klaim besarnya lonjakan belanja infrastruktur yang sering digembar-gemborkan pemerintah.

Saya sering mengingatkan pemerintah seharusnya evaluasi kembali pembangunan infrastruktur. Kita semua sepakat pembangunan infrastruktur memang penting. Tapi pembangunan infrastruktur yang ditopang oleh utang dan tidak memperhatikan skala prioritas, sebenarnya sangat berbahaya.

Agenda pembangunan infrastruktur yang selama ini telah berjalan sebenarnya hanya berorientasi proyek, tidak berorientasi kepada masyarakat. Sebab, ekses belanja infrastruktur bagi pemulihan ekonomi dan daya beli masyarakat terbukti tak banyak.

Melalui sejumlah pernyataan, saya telah mengingatkan pemerintah bahwa dalam jangka pendek, persoalan ekonomi utama yang harusnya diselesaikan adalah soal daya beli masyarakat. Baru, dalam jangka panjang, pemerintah membenahi kemampuan produksi nasional.

Jadi, dengan kerangka tersebut, infrastruktur yang seharusnya dibangun adalah infrastruktur pertanian dan industri, dan bukannya jalan tol. Pembangunan sektor pertanian dan perdesaan mestinya jadi prioritas pemerintah.

Adanya dana desa sebenarnya bisa membantu memperbaiki roda perekonomian. Namun, pemerintah malah mengarahkan penggunaan dana desa untuk membangun infrastruktur fisik, bukan untuk memperbaiki sektor produksi di desa. Jika hal ini tak segera dikoreksi pemerintah, ke depan kita akan semakin jauh dari cita-cita kedaulatan pangan, apalagi energi. Karena lumbung pangan dan energi masa depan sebenarnya ada di desa.

Sesudah didera isu ketimpangan, pelemahan daya beli, shortfall penerimaan pajak yang meningkat, jumlah utang yang terus membesar, saya kira pemerintah harus mengevaluasi kembali cara mereka menggunakan anggaran dalam tiga tahun terakhir ini. Jika tidak, Jokowinomics akan dikenang sebagai kegagalan.(***)

*Penulis adalah pelaksana tugas (Plt) Ketua DPR RI dan wakil ketua umum Partai Gerindra

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ini Permintaan Ikatan Keluarga Minang Buat Presiden Jokowi


Redaktur & Reporter : Antoni

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler