Membangun Kembali Kultur Demokrasi Kita

Senin, 27 Mei 2019 – 16:20 WIB
Mohammad Jibriel Avessina. Foto: Dokpri for JPNN.com

jpnn.com - Oleh: Mohammad Jibriel Avessina, S.Sos, M.IP
Pengamat Perilaku Politik


Peristiwa kerusuhan yang terjadi pada tanggal 21-22 Mei 2019 yang lalu merupakan realitas politik yang perlu untuk diulas sebagai refleksi untuk membaca realitas politik yang akan datang.

BACA JUGA: Tak Ada Aksi, Polisi Tetap Tutup Jalan MH Thamrin

Menariknya, kerusuhan tersebut bertepatan waktunya dengan event rangkaian serial demonstrasi damai dengan aspirasi menolak hasil penghitungan KPU dalam pemilihan presiden yang lalu.

Namun demikian ternyata secara mengejutkan muncul kerusuhan sosial di beberapa lokasi di Jakarta. Kerusuhan tersebut diperkirakan memakan sekitar 8 orang korban jiwa dan 200 orang luka-Luka. Pada saat ini diperkirakan telah ada sekitar 300 orang yang menjadi tersangka yang diduga ikut ambil bagian dalam kerusuhan tersebut.

BACA JUGA: Bukan Densus 88 yang Menangkap Pimpinan Ponpes di Cianjur

Fenomena kerusuhan sosial mengingatkan kita atas realitas politik di Indonesia. Pertarungan dalam kuasa politik kerapkali muncul dalam medium kerusuhan, konflik sosial serta harmoni sosial yang rendah.

Pakar perilaku politik Thomas Reuteur dalam karyanya The Once Future King: Utopianism and Political Practice in Indonesia menyebut situasi tersebut sebagai laku Goro-goro.

BACA JUGA: Pedagang Kopi Dijemput Polisi, Dibawa ke Istana Ketemu Jokowi

Politik goro-goro ditandai dengan menguatnya kepemimpinan kultus, polarisasi politik di masyarakat serta sikap anti-kritik yang kental bagi masing-masing kelompok politik, "pokoke pemimpin masing-masing kelompok yang paling baik.” Maka, pertarungan dalam politik goro-goro bukan lagi soal pertarungan ide-ide cerdas, program kerja maupun persaingan visi untuk membangun negeri.

Politik Goro-goro selalu mengeksploitasi keregangan sosial dan suasana saling curiga. Dalam politik goro-goro berlaku hukum rimba sosial, siapa yang paling kuat, keras dia yang akan menang, tak ada ruang dialog.

Politik Goro-goro, Racun Bagi Demokrasi

Politik Goro-goro selalu hadir dalam suasana kultur demokrasi yang rentan, wacana represif mendapat dukungan luas oleh publik, akal sehat diabaikan, Hoaks dan disinformasi bertaburan, nuansa kritik membangun dihadapi dengan curiga, pemujaan berlebihan terhadap pemimpin muncul secara masif.

Maka melalui jalur kultural, kelembagaan demokrasi yang kukuh mulai dipertanyakan legitimasinya, muncul distrust publik pada pranata demokrasi yang ada.

Maka membangun kultur demokrasi yang kukuh adalah keniscayaan. Politik akal sehat harus dikedepankan menjadi praktik utama dalam merawat kultur demokrasi.

Pola kritik yang membangun tidak boleh lagi ditanggapi dengan suasana curiga. Praktik hoaks dan disinformasi bukan acuan bagi publik yang cerdas. Sirkulasi wacana dan ide represif tidak boleh mendapat dukungan publik.

Seluruh aliran politik, baik nasionalis dan relijius harus dirangkul dalam membangun bangsa ke depan. Politik akal sehat menjadi landasan demokrasi yang indah bagi kita semua.

Dalam hal ini tentu saja elite-elite politik harus memberikan contoh dan keteladanan dalam menjunjung politik akal sehat. Fauzi Bowo dan Agus Harimurti Yudhoyono adalah contoh dari dua generasi yang mengingatkan kita akan teladan politik akal sehat.

Dari Fauzi Bowo kita belajar bagaimana sosok yang tegas, cenderung kaku, memilih menjunjung tinggi akal sehat, secara terbuka menjadi contoh legandaris seorang petahan menerima kekalahan dalam kontestasi politik, bukan hanya memberikan pengakuan kata-kata, Fauzi juga secara kesatria memberikan ruang bagi mantan rivalnya dalam masa transisi untuk menyiapkan programnya, penganggaran dan mendukungnya hingga dalam tataran teknis.

Pada masa terakhir Fauzi Bowo sebagai Gubernur DKI dilaluinya dengan mengukuhkan fondasi bagi regulasi fasilitas transportasi MRT yang saat ini dinikmati publik.

Figur muda yang layak dijadikan teladan adalah Agus Harimurti Yudhoyono. Kekalahannya dalam pemilihan Gubenur DKI disikapi dengan rasional. Dia memberikan pidato kekalahannya secara transparan di muka publik serta aktif mendorong rekonsiliasi sosial pasca-pilkada DKI.

Figur Agus konsisten hingga kini dikenal sebagai "the peace maker", sosok yang rajin berkomunikasi dengan semua pihak merajut dialog kebangsaan yang cerdas, merangkul semua kalangan. Dari Agus, kita belajar, ada hal yang lebih besar dari kompetisi politik yakni visi bersama untuk membangun bangsa ke depan.(***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Adian PDIP Berharap Polisi Punya Nyali Ungkap Dalang Kerusuhan 22 Mei


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler