Membedah Dampak Negatif Pernikahan Dini

Sabtu, 30 September 2017 – 01:34 WIB
James Ballo. Foto: Istimewa for JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Fenomena pernikahan dini pada anak di bawah usia 18 tahun tidak hanya terjadi di perdesaaan, namun juga perkotaan.

Laporan dari UNICEF dan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2016 mengungkapkan, satu dari tujuh anak perempuan yang hidup di daerah perkotaan menikah sebelum usia 18 tahun.

BACA JUGA: Makin Banyak Pengantin di Bawah Umur, Pengadilan Agama Pusing

Perkawinan anak menyebabkan terputusnya fase masa remaja.

Seharusnya, pada fase itu merupakan periode bagi perkembangan fisik, emosional, kognitif, dan sosial mereka.

BACA JUGA: Duh, Tak Ada Satu pun Provinsi Bersih dari Kasus Pernikahan Dini

Namun, mereka sudah dihadapkan pada beban tanggung jawab rumah tangga, baik sebagai istri maupun seorang ibu.

“Memasuki kehidupan rumah tangga di usia remaja bukanlah hal yang mudah. Anak yang menikah sebelum 18 tahun sering dianggap sebagai orang dewasa dan harus memikul tanggung jawab yang sangat besar. Perkawinan usia anak juga sering membuat anak perempuan berhadapan pada berbagai persoalan rumah tangga yang berujung pada perceraian. Hal ini dapat mengakibatkan kecemasan, depresi, atau mendorong mereka untuk memiliki pikiran untuk bunuh diri,” ujar psikolog Ajeng Raviando, Jumat (29/9).

BACA JUGA: Pujian Adalah Vitamin untuk Otak Anak

Seorang anak seharusnya mendapatkan pendidikan, kesehatan, dan kehidupan yang layak di mana dia terlindung dari berbagai macam bentuk kekerasan.

Berdasarkan laporan UNICEF, anak perempuan yang menikah sebelum berumur 18 tahun enam kali lebih sedikit kemungkinannya untuk menyelesaikan sekolah menengah dibanding perempuan yang menikah setelah berumur 18 tahun.

Plan International Indonesia, organisasi nonprofit yang bergerak di bidang pemenuhan hak-hak anak dan kesetaraan anak perempuan memiliki proyek pencegahan perkawinan anak bernama Yes I Do selama lima tahun bersama Rutgers WPF Indonesia dan Aliansi Remaja Independen.

Proyek ini diharapkan dapat mencegah perkawinan usia anak dengan mengkapasitasi anak dengan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, pemberdayaan ekonomi, dan partisipasi anak muda yang bermakna.

Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi juga diperlukan untuk mencegah kehamilan dini, yang juga sering menjadi penyebab perkawinan anak.

Aktivitas pemberdayaan ekonomiseperti pemberian pelatihan soft skill dan technical skill diberikan ke anak perempuan agar dapat mengakses pekerjaan dan penghidupan yang layak. 

Selain itu, pencegahan perkawinan usia anak juga didukung dengan Komite Perlindungan Anak Desa (KPAD).

Itu adalah suatu kelompok kerja kolaborasi antarberbagai unsur masyarakat dan pemerintah yang didirikan untuk melindungi anak dari kekerasan dan pembuatan mendorong agar anak-anak dapattercatat kelahirannya.

Termasuk mempromosikan prototype pencatatan kelahiran online (pembuatan akta lahir) untuk mencegah adanya pemalsuan umur.

Child Protection Program Manager Plan International Indonesia James Ballo mengatakan, bersama para pegiat muda pencegahan perkawinan anak, pihaknya mengajak anak perempuan Indonesia turut dalam girls leadership.

Itu merupakan bagian dari gerakang lobal Because I Am A Girl untuk memberikan edukasi tentang dampak perkawinan anak.

“Kami ingin mengajak generasi muda Indonesia untuk berperan aktif mencegah perkawinan anak, sehingga mereka bisa menjadi generasi yang aktif, kreatif, dan produktif yang mampu bersaing di masa depan. Generasi muda perlu mengetahui bahwa salah satu dampak terbesar dari perkawinan anak adalah terhentinya pendidikan, yang akanmengakibatkan mereka tidak mendapatkan pekerjaan danpenghasilan yang layak.  Bila hal ini terjadi, maka siklus kemiskinan akan terus berlanjut ke generasi berikutnya,” kata James. (jos/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Pria Memperistri 3 Wanita Cantik Bersaudara Kandung


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler