jpnn.com, JAKARTA - Oleh: Founder IndoSterling Group William Henley
Tensi politik dalam negeri mendingin setelah Presiden Terpilih Joko Widodo bertemu dengan mantan rivalnya, Prabowo Subianto, di Stasiun MRT Lebak Bulus, Sabtu (13/7).
BACA JUGA: Soal Potensi Gempa Besar di Selatan Jawa, Jokowi: Sampaikan apa Adanya
Satu hari kemudian, Jokowi menyampaikan pidato di hadapan puluhan ribu orang, mulai wakilnya, KH Ma'ruf Amin, hingga para relawan yang memadati Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat.
Pidato itu berisi visi pembangunan Indonesia lima tahun ke depan atau periode kedua kepemimpinan Jokowi.
BACA JUGA: Aktivitas Jokowi yang Terjaga Sejak 18 Tahun yang Lalu
BACA JUGA: Realisasi Penerimaan Pajak Tembus Rp 10,8 Triliun
Salah satu perhatian utama Jokowi adalah investasi. Dia meminta semua pihak tidak perlu alergi. Jokowi bahkan berjanji akan menghajar penghambat investasi.
BACA JUGA: Syukuran Jokowi Menang Lagi, PDIP Gelar Wayangan di Tugu Proklamasi
Namun, tulisan ini hendak menyoroti langkah lain Jokowi terkait investasi. Dalam wawancara khusus dengan Bloomberg, Jumat (12/7), Jokowi berjanji memangkas tarif pajak penghasilan badan atau pajak korporasi.
Lalu, apa dampak apabila rencana itu dieksekusi? Akankah investasi akan meningkat pesat?
Lebih tinggi
Pajak merupakan salah satu instrumen penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di mana pun, termasuk di Indonesia.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pajak memiliki sejumlah pengertian.
Salah satunya adalah pungutan wajib, biasanya berupa uang yang harus dibawa oleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada negara atau pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli barang, dan sebagainya.
Menurut Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, terdapat sejumlah jenis pajak.
Salah satunya adalah pajak penghasilan badan atau yang kerap disebut dengan pajak korporasi.
Sebagaimana yang disampaikan di awal tulisan, Jokowi ingin menurunkan tarif pajak itu dari rate saat ini sebesar 25 persen menjadi 20 persen atau lebih rendah, terhitung mulai 2021.
Oleh karena itu, Jokowi akan meminta persetujuan DPR untuk memuluskan rencana tersebut.
Berdasarkan data yang dihimpun dari berbagai sumber, tarif korporasi di Indonesia memang tergolong tinggi dibandingkan dengan negara-negara tetangga di ASEAN. Sebagai contoh di Thailand dan Vietnam rate pajak korporasi masing-masing sebesar 20 persen. Bahkan di Singapura, tarif pajak serupa hanyak 17 persen.
Fakta-fakta itu menunjukkan betapa rate pajak korporasi di Indonesia tidak kompetitif dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara.
Maka tak heran jika penurunan tarif di tanah air perlu segera dieksekusi sehingga daya saing Indonesia dalam menggaet investasi dapat meningkat.
Namun, pemerintah juga perlu hati-hati dalam merumuskan kebijakan berupa pemangkasan rate pajak korporasi.
Sebab, komponen pajak tersebut memiliki kontribusi yang signifikan terhadap pendapatan negara dalam APBN.
Selain itu, berdasarkan data terbaru dari Kementerian Keuangan yang dipublikasikan pada Selasa, 16 Juli 2019, pertumbuhan pendapatan negara dari PPh badan selama semester pertama 2019 cuma tumbuh 3,4 persen secara year on year dibandingkan tahun lalu.
Kementerian yang dipimpin Sri Mulyani Indrawati itu melaporkan, perlambatan tersebut terjadi akibat pelemahan pertumbuhan laba perusahaan.
Faktor-faktor eksternal seperti perlambatan ekonomi global dan perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok dituding menjadi biang kerok di balik pelemahan tersebut.
Oleh karena itu, pemerintah perlu memikirkan agar sumber-sumber pendapatan negara yang lain dapat ditingkatkan perolehan-perolehannya.
Misalnya dari sisi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) atau cukai. Kebijakan demi kebijakan baru yang bersifat konkret harus segera dieksekusi.
Dengan demikian, saat kebijakan pemangkasan tarif pajak korporasi diluncurkan pada 2021 (sebagaimana harapan Jokowi, tetapi masih tergantung kepada DPR), secara keseluruhan APBN tidak mengalami gangguan.
Apalagi sudah menjadi rahasia umum bahwa pajak berkontribusi 80 persen terhadap pendapatan negara.
Bukan hanya tarif
Hal lain yang patut dicatat adalah penurunan tarif pajak jangan dianggap sebagai jurus ampuh dalam menarik investasi.
Masih banyak faktor lain yang menjadi pertimbangan investor sebelum menanamkan modal di tanah air.
Perihal investasi, Bank Dunia pernah melakukan survei beberapa tahun lalu.
Dari survei berjudul Foreign Investor Perspectives and Policy Implications terungkap kestabilan politik dan keamanan merupakan pertimbangan utama sebelum berinvestasi.
Disusul kemudian kepastian hukum, sedangkan tarif pajak hanya berada di urutan keenam.
Survei Bank Indonesia terhadap kalangan dunia usaha pun menunjukkan banyak isu yang jadi perhatian investor.
Misalnya isu ketenagakerjaan, perizinan, hingga gerak pemerintah daerah yang lambat.
Pemerintahan Jokowi memang sedang berusaha mengatasi masalah itu satu demi satu.
Seperti untuk isu ketenagakerjaan. Pemerintah berencana merevisi UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Salah satu faktor yang membuat Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri menyebut UU itu laiknya kanebo kering adalah rentang waktu waktu.
UU itu lahir 16 tahun lalu. Apabila ditarik ke konteks kekinian, tentu sudah banyak sekali poin demi poin yang harus diubah.
Dari sisi makro, pemerintah berkeinginan agar hadir ekosistem tenaga kerja yang lebih baik.
Dengan begitu, investasi dari dalam maupun luar negeri dapat meningkat sehingga dapat meningkatkan penciptaan lapangan kerja sekaligus bisa mendorong pertumbuhan ekonomi.
Namun, itu semua belumlah cukup. Masih banyak reformasi struktural yang harus dilakukan oleh pemerintah.
Tugas berat memang menanti Jokowi di periode kedua pemerintahan nanti bersama KH Ma'ruf Amin. Untuk itu, Jokowi harus bekerja lebih keras lagi.
Periode pertama yang akan berakhir memang menorehkan sejumlah pencapaian.
Misalnya, pembangunan infrastruktur di mana-mana sehingga menuai apresiasi dari masyarakat.
Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi yang masih stagnan di kisaran lima persenan hingga investasi dan ekspor yang jatuh patut dicermati dan diselesaikan. (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Perlu Ada Badan Khusus untuk Memonitor Arah Pembangunan Nasional
Redaktur & Reporter : Ragil