jpnn.com, JAKARTA - Oleh: Rudi S Kamri, Pegiat Media Sosial
Beberapa hari terakhir ini publik disuguhi tontonan yang tidak lucu dan tidak mendidik, yaitu terjadinya polemik panas di media massa antara Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly versus Wali Kota Tangerang Arief R Wismansyah.
BACA JUGA: Alasan Prabowo Temui Jokowi Tanpa Permisi Dewan Pembina Gerindra
Ini salah satu contoh kecil betapa seringnya kebijakan pemerintah pusat tidak sinkron dengan kebijakan pemerintah daerah.
Ribuan masalah serupa dengan kasus berbeda kemungkinan terjadi, tetapi tidak terekspos media massa.
BACA JUGA: Jokowi: 3 Bulan Bagi Kapolri Tuntaskan Temuan Kasus Novel
BACA JUGA: Jangan Kaget Kalau 20 Persen Kabinet Jokowi - Ma'ruf Berisi Menteri Milenial
Penyebabnya adalah tidak adanya komunikasi konstruktif yang dibangun antara pemerintah pusat dan pemda.
BACA JUGA: Disinggung soal Keringat, Zulkifli Hasan Pastikan Tidak akan Minta Kursi Menteri ke Jokowi
Akibatnya, banyak kebijakan strategis pemerintah pusat atau kebijakan presiden tidak dijalankan sesuai dengan tujuan mulia yang diinginkan.
Ujungnya, masyarakat luas yang dirugikan atas silang sengkarut yang terjadi.
Contoh lain adalah rencana besar Presiden Joko Widodo untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif.
Reformasi perizinan dengan cara memangkas secara signifikan birokrasi perizinan di tingkat pusat, khususnya yang dilakukan di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada kenyataannya tidak semua pemda mengikuti langkah positif yang dilakukan pemerintah pusat.
Akibatnya iklim investasi yang kondusif seperti harapan presiden tidak kunjung terealisasi.
Banyak hal yang menjadi biang keladi tidak sinkronnya kebijakan pemerintah pusat dan pemda.
Salah satunya adalah belum terbentuknya etos kerja aparatur sipil negara (ASN) secara menyeluruh sehingga adagium, "Kalau bisa dipersulit, mengapa harus dimudahkan?” terus terpelihara.
Mindset koruptif seperti ini masih menjadi virus menjijikkan yang terjadi di berbagai daerah. Belum lagi ada kepentingan politik yang melatarbelakanginya. Bahkan kepala daerah dari kubu koalisi yang berbeda dengan koalisi pendukung presiden terkadang ada kesengajaan untuk menggergaji kebijakan pemerintah pusat.
Dampak pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung juga bisa berpotensi menimbulkan langkah kebijakan yang sengaja dibuat berbeda dengan kebijakan pemerintah pusat.
Tujuan mempersulit birokrasi perizinan di level daerah dalam hal ini adalah untuk kepentingan mengumpulkan modal untuk membiayai perhelatan kontestasi pilkada.
Belum lagi adanya indikasi ribuan peraturan daerah (perda) yang tidak sinkron dengan peraturan pemerintah pusat. Intinya banyak hal yang menjadi penyebab terjadinya ketidaksinkronan kebijakan pemerintah pusat dan pemda.
Pertanyaannya, siapa yang berkewajiban menjadi alat presiden untuk memonitor agar kebijakannya dilaksanakan atau menjaga sinkronisasi kebijakan antara pemerintah pusat dan pemda?
Era administrasi pemerintahan Presiden Soeharto ada jabatan otonom di luar kementerian yang dibuat Presiden untuk melakukan tugas khusus melakukan kegiatan monitoring dan pengawasan jalannya kebijakan pemerintah pusat, yaitu Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan (Sesdalopbang) yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Kita ingat sosok tokoh Jawa Barat Solichin Gautama Purwanegara atau Mang Ihin lama menduduki jabatan tersebut. Namun, setelah rezim Orde Baru tumbang, jabatan ini hilang.
Baru kemudian di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dibentuk Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) yang dijabat Kuntoro Mangkusubroto.
Namun, saat masuk ke administrasi pemerintahan Presiden Jokowi, jabatan ini pun dihapuskan. Saya sangat berharap tugas pokok dan fungsi (tupoksi) monitoring dan pengawasan pembangunan ini dilakukan oleh Kantor Staf Kepresidenan.
Akan tetapi, realitanya instansi itu hanya fokus menjadi lembaga think-thank dari Presiden Jokowi.
Bagaimana dengan Kementerian Dalam Negeri? Menurut saya seharusnya instansi ini bisa membantu tugas presiden untuk melakukan monitoring dan sinkronisasi kebijakan pemerintah pusat dan pemda.
Namun, dengan sosok dan kapabilitas menteri yang ada sekarang kelihatannya jauh dari harapan untuk diharapkan mampu melakukan tugas strategis tersebut.
Dengan kenyataan tersebut, saya berharap pada periode pemerintahan Presiden Jokowi lima tahun ke depan beliau mau membentuk badan khusus atau lembaga setingkat kementerian negara yang bertugas melakukan monitoring dan pengawasan arah pembangunan nasional serta melakukan sinkronisasi kebijakan pemerintah pusat dan pemda.
Terbentuknya lembaga ini akan memudahkan presiden untuk melakukan pengawasan, monitoring dan evaluasi kebijakan yang strategis.
Sebetulnya dua tahun lalu tokoh nasional, Suhendra Hadikuntono pernah mengusulkan terbentuknya Badan Sinkronisasi Kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah.
Namun, usulan yang baik tersebut sampai sekarang belum mendapatkan respons positif dari Presiden Jokowi. Saya berharap untuk periode jabatan 2019-2024, Presiden Jokowi berkenan merealisasikan terbentuknya lembaga ini.
Kalau lembaga ini terbentuk, Presiden Jokowi akan mempunyai mata dan telinga untuk memastikan semua kebijakan Presiden dapat dijalankan sepenuhnya oleh kepala daerah.
Dengan mempertimbangkan lima program kerja prioritas yang telah dicanangkan oleh Presiden Jokowi di Sentul, Bogor, Jawa Barat, Minggu 14 Juli 2019, saya memandang sangat urgen pembentukan lembaga khusus yang membantu Presiden untuk memastikan kebijakannya dijalankan oleh aparatur di bawahnya dengan tepat sasaran agar dapat memberikan manfaat optimal bagi rakyat.
Kalau tidak, Presiden Jokowi akan terengah-engah melakukan monitoring dan hal itu akan menggerogoti energi Presiden Jokowi yang seharusnya bisa diarahkan untuk menangani kebijakan strategis lainnya.
Satu hal lagi, kalau lembaga ini terbentuk, saya pastikan tidak akan terjadi lagi pertunjukan konyol seperti yang dipamerkan menkumham dan wali kota Tangerang sepert saat ini. Sebab, hal tersebut sangat mempermalukan presiden! (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jokowi Kalah di Basis Golkar, Airlangga Berpotensi Tak Kantongi Restu Jadi Ketum Lagi
Redaktur & Reporter : Ragil