Mempersoalkan Kehancuran Independensi KPK

Oleh: Anton Doni

Senin, 18 November 2019 – 10:25 WIB
Ketua Presidium Pengurus Pusat PMKRI Periode 1994-1996, Anton Doni. Foto: Dokpri for JPNN.com

jpnn.com - Independensi KPK. Apakah itu? Apakah penting? Apakah masih penting? Faktor apa saja yang harus dipertimbangkan dalam menentukan independensi atau tingkat independensi sebuah lembaga?

Independensi KPK mungkin saja konsep yang membingungkan, apalagi jika dipahami sebagai keberadaan suatu entitas lembaga negara yang tidak ada kaitannya dengan salah satu dari tiga cabang kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, yudikatif). Dalam kenyataan, entitas lembaga negara manapun yang disebut independen atau dimaksudkan independen, tidak bisa menghindar dari kenyataan kaitan-kaitan tersebut.

BACA JUGA: Anton Doni Nilai Pendidikan Kewarganegaraan Tampak Berserakan

Totalitas kaitan dengan satu cabang kekuasaan mungkin dikurangi, tetapi pada saat yang sama dikompensasi dengan kehadiran kaitan dengan cabang kekuasaan negara lain. Dan pada saat yang sama pula, sejumlah kebebasan dan kewenangan diberikan dalam kerangka gagasan independensi tersebut berdasarkan penilaian atas kebutuhan yang harus dijawab untuk mencapai tujuan dihadirkan entitas lembaga negara tersebut.

Entah mengikuti tren di negara lain yang menjalani proses transisi demokrasi, atau berdasarkan temuan kebutuhan sendiri, kita sudah memiliki beberapa lembaga sejenis KPK yang dihadirkan dengan sifat independen. Dan karena banyak pertanyaan terkait kehadiran lembaga-lembaga tersebut, sudah terdapat beberapa kajian tentang lembaga-lembaga tersebut, termasuk yang menggunakan perspektif perbandingan dengan kecenderungan di negara lain.

BACA JUGA: Anton Doni Dorong Penerapan Standar Tinggi Sistem Pendidikan

Secara ringkas ada tiga penjelasan terkait keberadaan lembaga-lembaga negara independen tersebut. Pertama, ada kebutuhan terkait tujuan, tugas, dan fungsi tertentu yang dirasakan sebagai sangat serius, dan hal ini terkait erat dengan gagasan reformasi yang diusung pada proses transisi demokrasi; kedua, ada kesadaran bahwa tugas dan fungsi tersebut tidak bisa dijalankan dengan efektif di tengah struktur dan budaya umum birokrasi yang ada; dan ketiga, secara khusus, ada penilaian spesifik bahwa agen atau lembaga negara utama yang seharusnya menjalankan tugas dan fungsi tersebut sedang tidak bisa diandalkan karena kandungan persoalan yang melembaga dalam dirinya.

Ketiga penjelasan tersebut relevan dengan keberadaan KPK. Anti-KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) adalah salah satu gagasan utama reformasi, dan karena itu tujuan, tugas, dan fungsi pemberantasan korupsi menjadi pokok perhatian utama dalam masa transisi demokrasi.

BACA JUGA: Anton Doni Imbau Jangan Lagi Mengedepankan Narasi Provokatif

Penilaian bahwa Indonesia merupakan negara terkorup di Asia juga merupakan penilaian yang merepresentasikan kondisi birokrasi di Indonesia, dan karenanya tidak tidak bisa mengandalkan mesin pemberantasan korupsi yang embedded di sana. Dan secara spesifik, kita tentu boleh percaya bahwa kondisi kejaksaan dan kepolisian Indonesia di masa awal transisi demokrasi tidak bisa diandalkan untuk pemberantasan korupsi.

Berdasar pada kondisi latar belakang tersebut maka ditetapkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, empat tahun setelah reformasi, dengan konstruksi independensi yang dicirikan oleh: (1) Penegasan independensi di Pasal 3, yang sekaligus merupakan dasar framing bagi perumusan pasa-pasal selanjutnya, yang menyatakan bahwa KPK adalah lembaga yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun; (2) Proses rekrutmen komisioner, yang tidak dilakukan eksklusif oleh cabang kekuasaan eksekutif, tetapi secara bersama oleh cabang kekuasaan eksekutif dan cabang kekuasaan legislatif; (3) Status pegawai KPK diatur sedemikian rupa sehingga tidak tunduk pada proses mutasi yang berpembawaan politis dan koruptif yang mencirikan proses rekrutmen dan mutasi ASN pada masa sebelumnya.

Selanjutnya,(4) Status keuangan dan tunjangan pegawai KPK diatur realistik sedemikian rupa sehingga dapat menahan godaan yang melekat dalam tugasnya; (5) Bentuk dan proses-proses perijinan yang berlaku dalam hukum acara normal tetapi berpotensi menghambat pelaksanaan tugas ditiadakan; (6) Proses pembentukan dan penguatan kompetensi yang relevan dengan kebutuhan pelaksanaan tugas berlangsung dalam proses yang independen —tidak melalui pelatihan standar sebelumnya-- tanpa mengabaikan standar kompetensi-kompetensi utama kepenyelidikan, penyidikan, dan penuntutan; (7) Kewenangan yang berpotensi terbesar untuk dikorupsi dan disalahgunakan dihindari, misalnya kewenangan untuk menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3).

Ketujuh elemen independensi tersebut telah membentuk jati diri KPK yang relatif independen dan kuat, yang bisa saja dipandang positif karena daya dobraknya yang luar biasa, tetapi sebaliknya juga dipandang negatif oleh sebagian orang karena dirasakan sebagai superbody yang lepas dari kontrol siapapun. Baik tentang positif negatifnya atau murni tidaknya daya dobrak KPK maupun tentang positif negatifnya atau benar tidaknya KPK telah memenuhi kualifikasi sebagai sebuah superbody, sampai sejauh ini belum ada pengujian akademis yang relatif sistematis tentang itu. Namun di tengah penilaian-penilaian dan kesan-kesan tanpa validasi akademis tersebut, dilangsungkanlah proses revisi UU KPK dan menghasilkan UU No. 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Kami sendiri mencatat, bahwa dalam proses revisi UU KPK, berkembang wacana tentang sejumlah persoalan yang berkaitan dengan eksistensi KPK, yang memperkuat dukungan bagi proses revisi UU KPK tersebut. Pertama, keadilan dalam penanganan persoalan korupsi; bahwa beberapa persoalan korupsi besar sepertinya terabaikan; dan bahwa sepertinya penanganan persoalan korupsi bersifat tebang pilih. Kedua, terlalu terbatasnya capaian KPK; yang kelihatan dari fokusnya KPK hanya pada satu tugas, sementara tugas yang lain sebagaimana diamanatkan Undang-Undang diabaikan.

Ketiga, kelalaian KPK dalam melaksanakan kewajiban yang diamanatkan Undang-Undang; misalnya kewajiban menyampaikan laporan pertanggung jawaban tahunan. Keempat, ancaman terhadap hak-hak privat yang hadir dalam kerja KPK; bahwa penyadapan yang dilakukan dapat pula merekam urusan-urusan lain di luar korupsi, dan bahwa hasil rekaman tersebut tidak cukup pasti apakah dihanguskan atau tersimpan dan disalahgunakan. Kelima, potensi pendayagunaan lembaga KPK untuk kepentingan politis lain dan kepentingan ideologis yang tidak sejalan dengan Pancasila. Dan keenam, kecenderungan berkembangnya KPK sebagai super body, yang tidak dapat dikontrol oleh siapapun.

Namun demikian, pencermatan kami terhadap isi Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 hasil revisi memperlihatkan bahwa UU tersebut mengabaikan keperluan untuk menjawab persoalan-peroalan tersebut secara memadai, dengan terlebih dahulu mendasarkan diri pada suatu kajian akademis yang memadai, melainkan justru sebaliknya menghancurkan independensi KPK melalui perubahan terhadap pasal-pasal yang relevan.

Sehingga pertanyaannnya adalah apakah kita tidak lagi membutuhkan KPK sebagai suatu lembaga negara independen? Apakah basis asumsi tentang keperluan akan KPK sebagai sebuah lembaga negara independen sebagaimana yang kami sampaikan pada awal tulisan ini tidak relevan lagi? Apakah persoalan korupsi tidak lagi serius dan sudah tidak kita pandang lagi sebagai kejahatan luar biasa yang harus direspon dengan langkah luar biasa? Apakah lingkungan birokrasi secara umum sudah sehat, dan bahwa tanpa ada KPK yang melakukan kontrol dengan ketat, birokrasi dapat bekerja dengan integritas yang baik tanpa penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme? Apakah integritas kejaksaan dan kepolisian sudah dapat diandalkan, bahwa tanpa KPK kedua lembaga tersebut dapat berkerja dengan profesionalitas dan integritas tinggi?

Data menunjukkan, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia memang mengalami kenaikan, namun terlalu kecil, dari 37 menjadi 38 pada 2018. Indeks tersebut hanya menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia masih terlalu ngotot. Di bawah ancaman OTT (operasi tangkap tangan), toh masih ada 124 kepala daerah yang terjerat korupsi sejak 2004 hingga 2019;. ada 103 orang anggota DPR/DPRD yang terjerat kasus korupsi di tahun 2018, termasuk di dalamnya Romahurmuziy, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan korupsi secara berjamaah 41 anggota DPRD Kota Malang; dan ada ratusan perkara korupsi dana desa, dengan setidaknya 15-an pola korupsi, sebagaimana ditemukan ICW (Indonesian Corruption Watch). Data-data tersebut lebih menggambarkan seriusnya persoalan korupsi ketimbang kegagalan KPK.

Lalu bagaimana dengan kondisi birokrasi di Indonesia? Berdasarkan data ICW sejak 2004 sampai semester II 2016, birokrasi menduduki urutan pertama pelaku korupsi di Indonesia, dengan beberapa modus korupsi seperti pemerasan, manipulasi tender, penganggaran fiktif, hingga korupsi kecil-kecilan seperti manipulasi uang transportasi, hotel, dan uang saku. Memang faktor utama korupsi adanya tekanan eksternal dari atasan, tetapi kondisi ini menggambarkan bahwa keadaan korupsi di lingkungan birokrasi di Indonesia tidak bisa kita anggap sudah aman. Apapun penyebabnya.

Secara khusus, bagaimana kondisi kejaksaan dan kepolisian? Berdasarkan data ICW, dalam kurun waktu 2004 — 2018, setidaknya ada tujuh jaksa yang terlibat praktik rasuah dan terjaring oleh KPK. Modusnya mulai dari janji pemberian SP3 dan SKP2 (Surat Keterangan Penghentian Penuntutan), pemilihan pasal dalam surat dakwaan yang lebih menguntungkan terdakwa, serta pembacaan tuntutan yang hukumannya meringankan terdakwa. Pada tahun 2019, KPK menetapkan Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Agus Winoto sebagai tersangka dugaan suap penanganan perkara di Pengadilan Tinggi Jakarta Barat. KPK juga (di tahun 2019) menetapkan dua jaksa sebagai tersangka suap dalam lelang proyek di Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Kawasan Pemukiman Kota Yogyakarta.

Untuk kepolisian, survei penilaian integritas oleh KPK pada 2017 menempatkan Polri di urutan terendah kedua, dengan nilai 54,01 dengan catatan. Catatan diberikan karena sampai hari terakhir responden internal kepolisian belum memberikan respon. Dan pada 2018 hasil survei integritas kepolisian tidak dapat ditampilkan karena ketidakcukupan sampel internal. Entah apakah ini menggambarkan kecukupan integritas kepolisian untuk dapat diandalkan dalam kerja pemberantasan korupsi apabila KPK harus dikerdilkan.

Dengan catatan-catatan seperti itu maka tidak ada kata lain kecuali mengatakan bahwa revisi Undang-Undang yang menghancurkan independensi dan kekuatan KPK adalah keputusan yang salah karena tidak mengacu pada data dan asumsi yang benar. Korupsi masih merupakan kejahatan luar biasa, dan agen-agen utama penegakan hukum belum dapat diandalkan untuk mengatasi kejahatan luar biasa tersebut. Eksistensi, independensi, dan kekuatan KPK masih dibutuhkan.

 


Penulis adalah Ketua Kelompok Studi Aquinas


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler