Mempertahankan Tradisi Malam Selikuran di Tengah Pertikaian

Minggu, 24 April 2022 – 11:15 WIB
Para abdi dalem Keraton Surakarta melaksanakan Malam Selikuran untuk menyambut 10 hari terakhir Ramadan 2022. Foto: Romensy Agustino/JPNN.com

jpnn.com - Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat punya tradisi bernama Malam Selikuran untuk menyambut 10 hari terakhir Ramadan. Konflik internal di kerajaan tersebut mendorong dua pihak yang bertikai menggelar tradisi warisan zaman Kesultanan Demak itu sesuai versi masing-masing.

Laporan Romensy Augustino, Solo

BACA JUGA: Potensi Kemacetan Mudik Lebaran Mungkin Terjadi di Wilayah Ini, Waspada!

PADA Jumat (22/4) malam, Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat menggelar tradisi Malam Selikuran. Ada dua Malam Selikuran pada hari yang sama itu.

Selikur merupakan istilah dari bahasa Jawa yang artinya 21. Tradisi Selikuran sebagai pengingat kepada umat Islam akan turunnya Lailatulqadar.

BACA JUGA: Mau Mudik Lebaran Aman dan Sehat? Simak 10 Tips dari Polri

Pada masa Sultan Agung, raja ketiga Mataram Islam itu memulai Selikuran untuk menyambut malam mulia berlimpah pahala tersebut.

Dalam perkembangannya, penyelenggaraan tradisi Malam Selikuran mengalami pasang surut. Keraton Kasunanan Surakarta sebagai pecahan Kerajaan Mataram mulai menghidupkan kembali tradisi itu pada era Pakubuwana IX.

BACA JUGA: Mahasiswa di Jogja Dibakar Teman Sendiri, Polisi Masih Memburu Pelaku

Pada masa pemerintahan Pakubuwana X, tradisi itu berkembang dan ditambahi prosesi kirab para abdi dalem yang membawa 1.000 tumpeng dari Keraton Kasunanan Surakarta menuju Masjid Agung. Prosesi itu pun bertahan hingga sekarang.

"Seribu tumpeng itu bermakna siapa pun yang mendapatkan Lailatulqadar berarti memperoleh keutaman ibadah 83 tahun tanpa berhenti," ujar Ketua Takmir Masjid Agung Solo KH Mohammad Muhtarom.

Penyandang gelar magister pendidikan Islam itu menjelaskan tradisi Malam Selikuran sudah ada sejak era Kerajaan Demak. Tradisi itu diwariskan secara turun-temurun ke Kerajaan Pajang, Mataram Islam, Kota Gede, Kartasura, hingga Surakarta dan Yogyakarta.

"Semuanya mengambil konsep yang sama, meneruskan adat istiadat dan internalisasi nilai Islam dalam budaya Jawa," tutur Muhtarom. 

Pasukan drum band dari Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Surakarta melakukan kirab Malam Selikuran, Jumat (22/4). Foto: Romensy Agustino/JPNN.com

Namun, sejak 2018 terdapat dua upacara Malam Selikuran di Keraton Surakarta. Hal itu merupakan imbas konflik internal buah perebutan takhta.

Di satu sisi ada ada Malam Selikuran versi Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hangabehi atau Pakubuwana XIII.

Adapun di sisi lainnya ada Malam Selikuran yang diselenggarakan Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Surakarta pimpinan Kanjeng Gusti Ratu (GKR) Koes Moertiyah Wandasari atau Gusti Moeng.

Namun, Muhtarom menegaskan takmir Masjid Agung Surakarta tak mau terseret persoalan itu.

"Prinsipnya kami Masjid Agung Surakarta memfasilitasi selama tidak berbenturan. Kami tidak ingin terlibat dalam konflik internal," tuturnya.

Secara esensi tidak ada yang berbeda dari dua versi prosesi malam Selikuran itu. Hanya pengemasan kirab saja yang berbeda.

Pada pelaksanaan Malam Selikuran 2022, rombongan Hangabehi mendapat giliran pertama. Sekitar 1.000 abdi dalem pengikutnya mulai berjalan dari Kamandungan sekitar pukul 21.00 WIB.

Di barisan paling depan terdapat lampion berbentuk Masjid Agung dan simbol Keraton Kasunanan yang diangkut oleh empat abdi dalem. Mereka memimpin rombongan abdi dalem lainnya yang menembang, membawa lampion bebentuk bintang, dan memainkan rebana.

Ada pula para abdi dalem yang membawa sedekah bumi berbentuk tumpeng. Mereka mengusung 1.000 tumpeng kecil.

Selain itu, para abdi dalem juga menggotong dua Ancak Jantopo berisi tumpeng besar. Ada ingkung ayam dan kelengkapan lainnya di tumpeng besar itu.

Dalam perjalanan menuju Masjid Agung Surakarta, para abdi dalem melantunkan tiga tembang yang berisi permohonan keselamatan, yaitu Kawung Dawuk Pl Bg, Kidung Panulak Pl 6 ,dan Bangu Matik Pl 6.

Tembang-tembang itu diiringi gamelan Santiswara yang terdiri atas gong, jendang, kopyok, dan kemanak.

Begitu rombongan sampai di gerbang Masjid Agung Solo, lantunan tembang dan bunyi gamelan pengiringnya pun terhenti. Para abdi dalem langsung menuju serambi masjid, lalu duduk dengan penuh khidmat.

Syahdan, Kiai Muhtarom memimpin pembacaan doa. Isi munajatnya ialah meminta agar seluruh kerabat Keraton Surakarta dan masyarakat Indonesia selalu diberikan keselamatan.

Setelah berdoa, para peserta kirab melantunkan selawat. Bersamaan dengan itu, 1.000 bungkusan makanan dibagi-bagikan.

"Kami memperingati Lailatulqadar, malam seribu bulan, malam turunnya rahmat dari Allah," ujar Utusan Dalem Keraton Kasunanan Kanjeng Pangeran H Dani Nur Hadiningrat yang ditemui seusai prosesi Malam Selikuran.

Menurutnya, Keraton Kasunanan Surakarta sebagai pecahan Kerajaan Mataram Islam wajib menggelar prosesi Malam Silikuran. Oleh karena itu, Pakubuwono XII memerintahkan para abdi dalemnya membawa membawa 1.000 tumpeng untuk wilujengan atau selamatan.

"Jadi, doa keselamatan dilambangkan dengan seribu tumpeng," tutur Pangeran Dani.

"Sampeyan Dalem (Pakubuwono XII, red) juga memerintahkan untuk mendoakan seluruh kerabat Keraton Kasunanan, keraton itu sendiri, dan Republik Indonesia."

Pada malam yang sama, rombongan kirab Malam Selikuran versi Gusti Moeng sampai di Kamandungan sekitar pukul 22.32 WIB. Mereka start di kawasan Pagelaran Keraton Kasunanan.

Namun, ada yang berbeda pada kirab versi Gusti Moeng dibandingkan kubu Hangabehi. Sebab, kirab versi Gusti Moeng menggunakan iringan drum band.

Ada pula pawai obor serta lampion berbentuk bintang dan bulan. Kirab Selikuran versi Gusti Moeng juga mengarak simbol-simbol Keraton Surakarta.

Di belakang barisan itu ada atraksi peserta kirab membawa pecut yang panjangnya sekitar 20 meter.

"Seperti yang sudah-sudah, kami selenggarakan sesuai rencana," kata Ketua Eksekutif LDA Keraton Surakarta Kanjeng Pangeran Haryo (KGP) Eddy Wirabhumi.

Menurutnya, selikur atau 21 merupakan angka ganjil. "Banyak-banyaklah beribadah pada malam ganjil (pada 10 haru terakhir Ramadan, red) karena akan turun Lalilatulqadar," terang dia.

LDA sempat meniadakan prosesi Malam Selikuran pada Ramadan 2020 dan 2021 karena pandemi. Namun, pada Ramadan tahun ini, LDA kembali menyelenggarakan Selikuran karena angka penyebaran Covid-19 menurun.

Wirabhumi mengharapkan pada Ramadan yang akan datang sudah tidak ada lagi dua versi Malam Selikuran di Keraton Surakarta.

"Kami mohon doanya agar tahun depan bisa melakukan secara bersama-sama," harapnya. (mcr21/jpnn)

Video Terpopuler Hari ini:

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sri Sultan Beri Peringatan ke Warga Yogyakarta: Jangan Seenaknya Sendiri!


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Romensy Augustino

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler