Menag Ucapkan Selamat Atas Pengukuhan Prof Benyamin Jadi Guru Besar Teologi Politik

Kamis, 01 Juni 2023 – 07:00 WIB
Pengukuhan guru besar Prof Benyamin sebagai Guru Besar Teologi Politik. Foto: source for JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Menteri Agama RI, Yaqut Cholil Qoumas mengucapkan selamat atas pengukuhan guru besar Prof Benyamin sebagai Guru Besar Teologi Politik.

Menag menilai tema yang disampaikan Prof. Benyamin dalam orasi ilmiahnya yang berjudul "Pluralisme Agama. Teologi Politik Reformed, dan Kemaslahatan Bangsa" sangat relevan dalam dinamika kehidupan bangsa dalam menyambut tahun politik.

BACA JUGA: Guru Besar Unair Soroti Barang Bukti di Kasus Irjen Teddy Minahasa, Begini Katanya

"Apalagi profesor merupakan jabatan tertinggi di dunia akademisi. Semoga beliau dapat memberikan sumbangsih dalam pemikiran politik dan praktis nya dan berkontribusi dalam dunia pendidikan, riset, dan pengabdian masyarakat," ujar Yaqut dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis (6/1).

Dirjen Bimas Kristen Jeane Marie Tulung mengungkapkan rasa bangga dan bahagia bahwa salah satu dosen terbaik pada perguruan tinggi teologi telah berhasil meraih jabatan akademik tertinggi sebagai guru besar.

BACA JUGA: Guru Besar: Buku Geopolitik Soekarno Jadi Referensi pada Tatanan Strategis, Taktis, dan Operasional

Jeane berharap setelah pengukuhan Prof Benyamin dapat melengkapi tradisi ilmiah yang lebih substantif dan strategis pada perguruan tinggi keagamaan Kristen sehingga makin berkembang lebih baik lagi.

"Bermutu tinggi dengan cakupan ilmu yang lebih bervariasi," ungkap Jeane.

BACA JUGA: Guru Besar IPB Soroti Wacana Pembatasan Angkutan Logistik saat Musim Lebaran

Berdasarkan Surat Keputusan Kementerian Agama, Dosen Tetap sekaligus Ketua STT Reformed Injili Internasional, Benyamin F. Intan telah dikukuhkan menjadi Guru Besar Teologi Politik pada Sabtu, 27 Mei 2023.

Dalam orasi ilmiahnya yang berjudul “Pluralisme Agama. Teologi Politik Reformed, dan Kemaslahatan Bangsa”, Prof. Benyamin melandaskan tesisnya: agama publik harus dikembangkan untuk menjadi tempat di mana peran publik agama-agama diakui dan ditingkatkan untuk menjadi kekuatan liberatif guna menyusun kehidupan sosial-politik yang demokratis.

Walau pada dirinya agama mengandung dua potensi paradoks, yaitu menumbuhkan kekerasan di satu pihak dan rekonsiliasi di pihak lain, tetapi revitalisasi agama publik dapat mengikis peran negatif agama untuk kemudian memaksimalkan peran positif agama-agama tersebut.

"Argumentasi tersebut dilatarbelakangi dari keprihatinan atas kondisi kebebasan dan toleransi beragama di tanah air," kata Prof Benyamin.

Mempertimbangkan wajah garang agama, Prof. Benyamin mengajukan pertanyaan yang mengungkapkan kegelisahannya.

"Bagaimana caranya agar kehadiran agama di ruang publik dapat membawa perdamaian serta kemaslahatan dan bukannya mudarat dan bencana?" katanya.

Prof Benyamin menjelaskan bahwa menanggapi kegelisahan ini, setelah menolak pendekatan Sekularisme yang dipelopori John Rawls dan mengkritisi pemikiran pasca-sekularisme Jürgen Habermas.

Prof. Benyamin menawarkan konsep “principled pluralism” (pluralisme yang berprinsip) yang diinisiasi oleh Abraham Kuyper (1837-1920), pemrakarsa gerakan neo-Calvinis Belanda.

Principled pluralism Kuyper, yang didasarkan pada teologi Reformed, khususnya pemikiran John Calvin (1509-1564), telah terbukti membangun masyarakat yang pluralis dan toleran bukan hanya di Eropa tapi juga di Amerika Serikat.

Prof Benyamin menyebut bahwa prinsip ini dapat diterapkan di Indonesia untuk membereskan masalah kebebasan dan toleransi beragama di dalam membawa kemaslahatan bangsa.

"Singkatnya, principled pluralisme mengajarkan bahwa hidup ini religius dan manusia pada dasarnya adalah makhluk religius," katanya.

Prof Benyamin mengatakan karena menganggap agama sebagai hal yang mutlak, principled pluralism melalui prinsip sphere sovereignty dan confessional pluralism tidak sekadar memberi ruang bagi partisipasi agama-agama di dalam ranah publik, tetapi juga memotivasi dan mendorong agama-agama untuk memberikan kontribusinya.

"Dengan demikian, keterlibatan warga dalam ranah publik tidak dapat dipi¬sahkan dari gagasan religius yang dimilikinya," ungkapnya.

Dia menegaskan bahwa principled pluralism dapat menjadi lensa hermeneutika dalam membaca Pancasila. Penerapannya dapat dilihat dari sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa,” yang menunjukkan bahwa Indonesia bukanlah negara agama (teokrasi).

Prof Benyamin mengatakan melalui sila pertama, Pancasila tidak mengakui adanya agama resmi. Dengan kata lain, confessional pluralism Kuyper sejalan dengan jiwa sila pertama.

Selain menunjukkan Indonesia bukan negara agama, sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” juga sekaligus menunjukkan Indonesia bukan pula negara sekular.

Sila ini dengan jelas menunjukkan pengakuan Indonesia akan Tuhan. Ini sejalan dengan pemikiran Kuyper yang menekankan kedaulatan Allah di atas segala sesuatu, bahkan di atas negara.

"Dari perspektif principled pluralism, dalam negara Pancasila, sekalipun lembaga keagamaan terpisah dari negara, namun entitas agama dan entitas politik tidak terpisahkan, seperti dinyatakan Kuyper, “no separation between religion and state but only between state and church.” Dengan demikian Indonesia bukan negara agama (theocratic state), bukan pula negara sekuler (secular state), tetapi negara religius (religious state) yang mengakui dan tunduk kepada kedaulatan Allah, dimana Kuyper mendefi¬nisikan negara religius sebagai 'a nation not without God.'" jelas Prof Benyamin.

Lebih lanjut, Prof. Benyamin menyarankan agar peran publik agama harus dilakukan bersama-sama dalam dialog untuk mewujudkan common good (kebaikan bersama), atau dalam Islam dikenal sebagai mashlahah ‘ammah.

Common good yang dihasilkan harus mencerminkan bonum honestum (kebaikan sejati). Untuk itu, common good harus tumbuh dari dialog yang jujur dan terbuka, dan bukan sekadar pendapat mayoritas atau titik temu argumentasi populer.

Artinya, common good harus merupakan hasil konsensus, suatu “penyatuan” dari partial goods tiap agama.

Sekalipun penyatuan dari partial goods, common good harus tetap berjiwa pluralis. Dengan kata lain, common good harus merefleksikan spirit Pancasila, yaitu Bhinneka Tunggal Ika.

"Common good boleh berbeda, tetapi tidak boleh bertentangan dengan kepercayaan kelompok agama. Selain itu, common good harus dapat menjamin hak-hak minoritas sebagai persyaratan penting terciptanya demokrasi," tegas Prof Benyamin.

Pimpinan Sinode GRII Pdt. Dr. (HC) Stephen Tong juga menyampaikan bahwa STT Reformed Injili Internasional adalah lembaga yang diberkati dan dikasihi Tuhan.

"Kekurangan yang ada tidak menghentikan anugerah dan penyertaan-Nya yang menopang lembaga ini. Guru besar yang dihasilkan merupakan bukti yang justru tidak menghentikan langkah STTRII untuk lebih memberitakan injil sekaligus menjaga ilmu pengetahuan dengan ketat," kata Stephen.

Harapan pimpinan sinode juga tercermin di dalam lagu-lagu yang mengiringi pengukuhan ini: O, God Beyond All Praising”, Mars STTRII, dan “Tuhan adalah Gembalaku”.

Sehubungan dengan pengakuan atas kepakaran di dalam teologi politik inilah, acara pengukuhan dihadiri oleh para tokoh yang berlatar belakang politik dan teologi, seperti Basuki Tjahaja Purnama, Panda Nababan, Putra Nababan, Laksamana TNI (purn.) Marsetio, Manahan Sitompul dan Cahya Harefa. Selain itu, Dr. (HC). KH. Yaqut Cholil Qoumas (Menteri Agama), Prof. Dr. Muhammad Ali Ramdhani (Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama), Dr. Jeane Marie Tulung, S.Th., M.Pd (Dirjen Bimas Kristen Kementerian Agama RI), serta tidak ketinggalan Pimpinan Sinode GRII Pdt. Dr. (HC) Stephen Tong memberikan sambutan hangat dan harapan ke depan.


Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler