Menahan Lapar, Tidur di Trotoar Depan Istana

Jumat, 20 Juni 2014 – 09:23 WIB
Para mahasiswa asal Karo yang melakukan aksi plester mulut di trotoar seberang Istana Negara, Kamis (19/6). Foto: Ken Girsang/JPNN.com

jpnn.com - PLESTER berwarna hitam sepanjang sepuluh sentimeter, masih menutup mulut tiga mahasiswa asal Tanah Karo, Sumut,  yang melakukan aksi unjukrasa mogok makan di depan Istana Negara.

 

Teriknya sinar matahari dan menggumpalnya asap knalpot dari ribuan kendaraan yang berlalu lalang di depan Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, seakan tak mampu membendung keinginan mereka. Memohon agar Presiden dapat segera menerbitkan surat Keputusan Presiden (Keppres) terkait pemberhentian Kena Ukur Karo Jambi dari jabatan Bupati Karo.
------------
Ken Girsang-Jakarta
------------
Padahal tubuh Desmonda Bangun, Budianta Sembiring dan Hilban Bangun, sudah terlihat begitu lemah, lusuh dan seakan tidak berdaya. Karena aksi unjukrasa mogok makan telah mereka lakoni sejak Selasa (17/6).

BACA JUGA: Dijemput Mobil, Bawa Baju Sisa yang Kering

Namun kuatnya keinginan, membuat ketiganya tetap bertahan hingga Kamis (19/6) petang, meski kini mereka hanya berbaring lemah, meringkuk di atas trotoar jalanan, beralaskan terpal seadanya.

BACA JUGA: Merasakan Malam Terakhir Lokalisasi Dolly sebelum Ditutup Selamanya

Sesekali seorang dari ketiganya mencoba bangun dan duduk. Dari balik kacamatanya, Budianta sesekali menatap nanar ke arah Istana bercat putih dengan seorang tentara berseragam lengkap, terlihat tegak berdiri di dalam pos penjagaan, persis di luar pagar Istana sebelah kiri gedung.

Namun baru duduk lima menit, ia sudah kembali merebahkan tubuh. Sembari mengusapkan kain khas tradisional Karo 'Beka Buluh' yang terkalung di lehernya, berkali-kali ke sekujur wajah.

BACA JUGA: Delpas Band, Bukti Bebasnya Kreativitas Para Penghuni Penjara

Berbeda dengan Budianta, Desmonda bahkan tampak tak bangun-bangun. Mahasiswa yang pada Rabu (18/6) kemarin sempat dilarikan ke rumah sakit karena mengalami pingsan dan kejang-kejang, terlihat tertelungkup.

Ia menyelimutkan kain “Uis Gara” di atas tubuhnya, sebagai simbol perjuangan. Padahal menurut Ketua Gerakan Peduli Sesama, Pagit Tarigan, dalam adat Karo, Uis Gara digunakan untuk menutup bungkus orang yang telah meninggal dunia.

“Mereka merupakan adik-adik kita korban letusan Gunung Sinabung yang ingin berjuang tanpa mengenal pamrih. Mereka mahasiswa yang punya tekad, karena melihat ketidakadilan bagi Tanah Karo. Orangtua, adik-adik, saudara-saudara mereka dan ribuan masyarakat Karo korban letusan kini terancam kelaparan. Jadi mereka bertekad tidak akan kembali ke kampung halaman, kalau tidak ada solusi,” ujar Pagit yang begitu setia menemani para pengunjukrasa.

Pagit mengaku terenyuh atas sikap dan kekonsitenan ketiga mahasiswa ini. Karena mereka memerjuangkan sesuatu yang sesungguhnya benar. Apalagi pemakzulan Bupati Karo sudah melewati semua prosedur yang dibutuhkan. Termasuk keputusan dari Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan permohonan DPRD Kabupaten Karo.

Namun anehnya, Presiden hingga saat ini belum juga menerbitkan Keppres. Padahal jika dihitung dari jangka waktu diserahkan, sudah melewati batas waktu 30 hari sebagaimana diatur dalam pasal 123 ayat 4 huruf (e) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 tahun 2005.

“Inilah potret penegakan hukum di negeri ini. Namun kami tetap mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Karena Dinas Kesehatan telah siap membantu meluncur ke lapangan manakala ada kondisi yang tidak kita inginkan. Dan semua itu gratis,” katanya.

Saat ditanya sampai kapan mereka akan menggelar aksi mogok makan, Pagit kembali menegaskan komitmen para pengunjukrasa, bahwa mereka akan terus bertahan hingga Presiden bermurah hati. Bahkan meski nyawa menjadi taruhan, karena tidak makan-makan.

“Jadi sekali lagi kepada pak Presiden, tolong lihat nasib kami masyarakat Karo. Janganlah kami dianaktirikan. Kepada masyarakat Karo, marilah kita bersama-sama bersatu menyuarakan tuntutan ini. Enda sangana ngandong. Ijah teman ngandong? Ngkai la reh ku jenda? Adi erkeyboard saja kena reh, kai antendu'e. (Ini saatnya kita menangis. Kemana kawan untuk menangis, kenapa tidak datang kemari. Kalau pesta saja baru datang, apa maksud kalian itu),” ujarnya.

Ketiga mahasiswa ini telah melakoni aksi mogok makan sejak Selasa. Namun hingga hari ketiga, belum terlihat adanya tanda-tanda Presiden akan memenuhi tuntutan mereka. Padahal Rabu kemarin, seorang mahasiswa terpaksa harus dilarikan ke rumah sakit, karena mengalami kejang-kejang dan pingsan akibat tidak kuat menahan lapar dan haus.

“Tiba-tiba saja tadi siang (Rabu,red), sekitar Pukul 12.30 WIB, seorang teman kita mengalami kejang-kejang. Karena khawatir, kita coba mendudukkan yang bersangkutan. Kita ajak bicara-bicara, tapi dia tetap diam melanjutkan aksi tutup mulut,” ujar salah seorang pengujukrasa dari Gerakan Penyelamatan Tanah Karo Simalem (GPTKS), Julianus Sembiring, kemarin di Jakarta.

Desmonda menjalani perawatan intensif di rumah sakit selama empat jam lebih. Namun bukannya beristirahat, pria ini tetap ngotot melanjutkan aksi mogok makan karena baginya perjuangan tidak hanya bicara kata-kata, tapi perbuatan nyata.(gir/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Orang Tua Tidak Mau Daffa Berprofesi Artis


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler