jpnn.com, JAKARTA - Belakangan viral sebuah tulisan berupa transkip ceramah da’i muda NU, KH. Bahauddin Nur Salim atau Gus Baha’ (GB). Saya pribadi terkejut. Tidak lama kemudian, muncul tulisan penulis muda NU lain, KH. Imam Jazuli (KIJ), yang mengkritik pandangan GB. Tulisan terakhir yang sempat saya baca berjudul “Pengajian Akbar atau Pengajian Kitab?” oleh Yasir Alimi (YA), Wakil Ketua PWNU Jawa Tengah. Semua berlatar belakang NU.
Secara umum saya mengapresiasi semua pemikiran kiai-kiai muda itu, terlebih mereka yang mau menyisakan waktu untuk menulis di samping berceramah di podium. Menulis sedikit lebih berat dari pada berbicara, karena menulis melibatkan pemikiran atau gagasan yang terstruktur dibantu jari-jari untuk menerjemahkannya.
BACA JUGA: Ahmad Basarah Pamer Tokoh Silat NU Kader Baru PDI Perjuangan
Tiga pandangan kiai muda NU tersebut mencerminkan semangat ilmiah, di mana ilmu pengetahuan memang harus dikontrol. Caranya melalui kritik. Hanya dengan begitu dialektika sainstifik terus bertahan. Pernyataan demikian muncul dari salah satu ceramah GB, dan mungkin saja KIJ dan YA sedang menjalankan amanah GB itu sendiri.
GB selalu mengutip sebuah prinsip berpikir: idza zhaharail bida’u wal fitanu fa ‘alal ‘alimi ay uuzhhira ‘ilmahu, apabila bid’ah dan fitnah merajalela maka kewajiban orang berilmu memperlihatkan ilmunya. Saya rasa prinsip ini bukan semata seruan moral-religius melainkan kewajiban ilmiah yang sudah diamanahkan sejak lama oleh Hegel terkait dialektika historisnya.
BACA JUGA: Tokoh NU Dinilai Sukses Menangkan Jokowi di Jatim
GB, KIJ dan YA tampak berseberangan secara kasat mata. Tetapi, spirit mereka dalam kecintaan pada ilmu pengetahuan jauh lebih kentara. Saya pribadi tidak punya kapasitas lebih jauh berkomentar terkait tiga pemuda NU tersebut. Hanya saja, ingin rasanya menyampaikan suatu perkara yang sebenarnya sudah lawas, expired, di dunia akademik.
Salah satunya adalah tentang dakwah entertainment yang banyak dikiritik karena problematik. Sudah kenyataan bahwa 10 tahun terakhir, banyak sekali muballihg-mubaligh yang lebih menguasai panggung dari pada pendalaman pesan-pesan keagamaannya. Model dakwah yang mereka sajikan terkesan dangkal, dan lebih menekankan pada hiburan (entertainment).
BACA JUGA: Pesan Politikus Golkar Saat Bertemu Warga dan Tokoh NU
Sejak tahun 2010 yang lalu, manusia kampus sudah gelisah. Misalnya, Encep Dulwahab (2010) sudah mengatakan, dakwah di era konvergensi media sungguh ironis. Pesan-pesan keagamaannya tampak belum efektif. Karena terlalu dominan aspek entertainmentnya dari pada pesan keagamaannya.
Ropingi El Ishaq (2013) pun demikian, melihat fenomena dakwah entertainment sebagai bagian dari proyek industrialisasi. Para muballigh dituntut berceramah dengan gaya yang selaras pesanan. Tetapi, apakah banyak orang sadar, industrialisasi semacam ini adalah dampak dari pemerintah dan negara yang terlalu jauh mempersilahkan sistem kapitalisme?
Kegelisahan Ropingi masuk akal. Hari ini kita lihat banyak youtuber yang hanya mengejar kontens. Bisa saja terjadi, ceramah agama yang sangat berkualitas maupun tidak, di mata pencari kontens tidak penting sama sekali. GB mengeluhkan model dakwah entertainment ini sebagaimana kaum akademisi 10 tahun silah juga keluhkan. Tetapi, saya rasa, izhharul ‘ilmi berbeda dari “al-intiqash”, memperihatkan ilmu di jaman fitnah berbeda dengan merendahkan orang lain dan meninggikan diri sendiri.
Dalam jurnal Islam and Popular Culture in Indonesia and Malaysia, Rhoma Irama (2011) menulis artikel berjudul Music as a Medium for Communication, Unity, Educatioin, and Dakwah. Raja Dangdut itu menjadikan musik sebagai media dakwah, dengan konsep “Nada dan Dakwah”. Karenanya, banyak intelektual yang mengapresiasi pendapatnya. “Mengejek” penggunaan musik sebagai pelengkap dakwah itu tidak baik. Saya suka Kiai Kuswaedi Syafi’i, Pnegasuh Pondok Maulana Rumi, Pengajar Tasawuf Falsafi Ibnu Arabi, juga menggunakan musik dalam dakwahnya.
Kritik GB terhadap pola dakwah kontemporer memang menarik. Pada satu sisi saya sepakat, agar para santri dan keluarga pondok pesantren merawat naskah-naskah warisan leluhur mereka. Pengalaman saya pribadi dalam melakukan penelusuran pada naskah-naskah ini, kadang membuat saya miris. Salah satunya naskah-naskah milik Kiai dan Wali berada di rumah orang-orang non-muslim. Kenyataan ini jauh lebih “pahit” dari pada keluarga pesantren tidak punya karya leluhurnya sendiri.
Yang paling terakhir ini saya pribadi sampaikan, sungguh luar biasa GB, KIJ dan YA meramaikan jagad medsos ini dengan tulisan-tulisan yang saling melengkapi satu sama lain. Di masa yang akan datang, saya berharap “sahut-sahutan” seperti ini lebih semarak lagi. Sebab, bosan sekali rasanya perkara keagamaan ditarik ke ranah politik dan hukum. Padahal idealnya, kita selesaikan di ranah akademik dulu, setidaknya lewat artikel di media sosial.(***)
Redaktur & Reporter : Friederich