Menata Setara Nilai Kursi Parlemen

Oleh: H. M. Lukman Edy, M.Si *)

Senin, 01 Mei 2017 – 05:30 WIB
Lukman Edy. Foto: dok.JPNN

jpnn.com - Pada rapat kerja Pansus RUU Pemilu dengan pihak pemerintah beberapa waktu lalu telah disepakati beberapa isu pokok, meliputi: kebutuhan penambahan jumlah kursi DPR RI dan persebarannya di masing-masing dapil (realokasi dapil), Parliamentary Tresholad, metode konversi suara ke kursi, serta tentang Presidential Treshold. Dalam kesempatan ini, penulis akan fokus pada persoalan penambahan kursi parlemen, baik DPR maupun DPRD.


Pada prinsipnya tidak ada aturan baku dalam menentukan berapa jumlah kursi anggota parlemen di berbagai Negara di dunia, namun demikian Fraksi-fraksi di DPR berusaha untuk menentukan formula penetapan jumlah kursi setidaknya berdasarkan atas tiga hal; pertama, adanya kebutuhan faktual untuk melakukan penambahan karena lahirnya Daerah Otonomi Baru (DOB) seperti Kalimantan Utara; hal mana seperti diatur dalam Undang-undang pemilu sebelumnya bahwa masing-masing propinsi sebagai sebuah dapil minimal memperoleh alokasi 3 kursi.

BACA JUGA: Mekanisme Pemilihan Anggota DPD Bakal Diubah, Begini Tahapannya

Masalahnya, jika mengikuti logika kebutuhan ini semata, dengan memberikan penambahan 3 kursi untuk Kalimantan Utara, hal ini akan menyisakan dua masalah baru, yakni: 1) norma ini menyebabkan RUU Pemilu sekarang ini tidak berdimensi jangka panjang apabila terjadi pemekaran DOB lagi di kemudian hari.

Sebaliknya jika ditentukan ketentuan bahwa setiap terjadi pembentukan DOB baru akan secara otomatis memperoleh 3 kursi, maka dikhawatirkan akan terjadi pertambahan jumlah anggota DPR yang tidak terkontrol lantaran merebaknya gelombang pemekaran DOB.

BACA JUGA: Calon Senator Bakal Diseleksi Lewat Pansel Bentukan Gubernur

Di luar pertimbangan akan lahirnya DOB di banyak daerah muncul pula permintaan agar dapil luar negeri dipisahkan menjadi dapil tersendiri, mengingat jumlah penduduk Indonesia yang di luar negeri telah mencapai angka mendekati 3 juta.

Keberadaan warga Negara Indonesia di luar negeri dipandang telah memberikan sumbangsih yang besar kepada Negara, bukan saja dalam kerangka menghasilkan devisa namun juga sebagai “jendela Indonesia” bagi masyarakat dunia; karenanya layak memperoleh apresiasi dalam penyaluran hak-hak politiknya. Pilihan menjadikan penduduk Indonesia di luar negeri ini tentu saja akan membutuhkan alokasi kursi minimal sesuai yang ditetapkan dalam undang-undang ini nantinya.

BACA JUGA: Ini Tahapan Pemilu 2019, Pencoblosan Digelar 17 April

Kedua, penambahan kursi DPR didasarkan atas teori pemilu tentang rumusan hubungan sistematis antara jumlah anggota parlemen dengan jumlah penduduk dalam dalil matematika (cube law). Salah satu teori yang terkenal tentang hal ini dikemukakan oleh Rein Taagepera dan Matthew S Shugart yang menyatakanbahwa besar jumlah parlemen adalah akar pangkat 3 dari jumlah penduduk suatu Negara.

Di sini, Negara diibaratkan sebagai tubuh, dan parlemen adalah jantungnya; dimana volume jantung adalah akar pangkat tiga dari volume tubuh [Perludem 2011].

Usulan ini muncul dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa yang secara eksplisit menyebutkan pertambahan kursi DPR menjadi 619 (enam ratus sempilan belas) yang merupakan akar pangkat tiga dari jumlah penduduk Indonesia sesuai hasil sensus penduduk tahun 2010.

Ketiga, adanya pendapat sebagian Fraksi yang meminta agar penambahan kursi DPR dengan diberikan khusus untuk propinsi yang memiliki luas wilayah yang sangat luas. Alokasi penambahan kursi berdasarkan luas wilayah ini didasari oleh pemikiran kurang efektifnya peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam mewakili aspirasi daerah selama ini karena posisi dan kewenangannya yang tidak sejajar dengan DPR.

Mengingat bahwa cukup sulit jalan yang harus ditempuh untuk melakukan amandemen konstitusi UUD 1945 dalam rangka untuk memberikan kedudukan dan kewenangan kepada DPD sebagai “kamar kedua”, maka upaya menambah kursi khusus untuk daerah dengan wilayah luas ini dipandang menjadi solusi dalam rangka memberikan perhatian khusus untuk percepatan pembangunan di daerah tersebut.

Keempat, ada pertimbangan bahwa sudah seharusnya kursi DPR ditentukan jumlahnya berdasarkan banyaknya mitra strategis di eksekutif, agar tercipta keseimbangan dalam pelaksanaan pemerintahan.

Mitra strategis disini dapat dirumuskan sebagai kelembagaan Negara yang diatur oleh konstitusi UUD NRI 1945, disebut secara eksplisit dalam UUD NRI 1945, Kementrian-kementrian, serta Badan ataupun lembaga yang diatur dalam Undang-undang. Dengan demikian, sejak penentuan awalnya, sudah ditemukan adanya pasangan mitra strategis DPR. Hingga pada saatnya nanti jika mitra strategis DPR tersebut atas dasar Undang-undang maupun karena pertimbangan yang berkembang di dalam pemerintahan dihapus atau di-merger, maka akan berkurang juga jumlah kursi di DPR.

Pada prinsipnya, baik pemerintah maupun Fraksi-fraksi di DPR telah bersepakat memandang perlu dilakukan penambahan jumlah anggota DPR RI sebagaimana disepakati dalam raker beberapa waktu yang lalu; namun mengenai jumlahnya masih dikaji oleh pemerintah dan DPR untuk dicarikan formula yang tepat, dengan tetap menjaga dan memperhitungkan prinsip efisiensi dan efektifitas sehingga akan ketemu angka yang pas dalam rangka menjembatani aspirasi yang berkembang di tengah masyarakat di atas.

Berikutnya, dalam rangka menerjemahkan prinsip proporsional dan menjaga kesetaraan harga kursi, berbagai masukan dari masyarakat sipil untuk dilakukannya reformulasi dapil telah menjadi perhatian utama di dalam Pansus. Reformulasi penataan dapil secara nasional akan dilakukan dengan menghitung ulang kuota kursi DPR di masing-masing propinsi, maupun di masing-masing dapil di di dalam propinsi.

Pertimbangan utama dalam melakukan reformulasi dapil ini adalah jumlah penduduk, karena pemilu berkaitan dengan cacah jiwa; namun demikian berkembang juga pemikiran untuk mempertimbangkan luas wilayah, apabila gagasan penambahan kursi berdasarkan luar wilayah tidak diterima.

Pertimbangan lain yang sempat mengemuka adalah persentase PDRB masing-masing propinsi terhadap nasional dan tingkat ketertinggalan dan keterisolasian daerah; namun kedua pertimbangan ini tidak populer dan tidak banyak yang menjadikannya pilihan.

Secara umum penting dipahami bahwa dengan berkembang pesatnya jaringan telekomunikasi dan transportasi di berbagai daerah di seluruh negeri, maka menjadi tidak relevan lagi dikembangkan penataan sistem politik yang masih mengedepankan nilai-nilai primordialitas seperti “jawa-luar jawa” yang kemudian menuntut affirmative action yang semestinya tidak perlu.

Sebagai gambaran, pada pelaksanaan dua pemilu terakhir, harga kursi DPR RI di Kepulauan Riau jauh lebih mahal ketimbang di Jawa Barat. Padahal dilihat dari sisi kewilayahan, Kepulauan Riau dengan ciri kepulauannya memiliki medan yang lebih berat dari Jawa Barat; apalagi jika ditambah logika “jawa-luar jawa” seperti yang dikembangkan sebelumnya, maka semestinya harga kursi di Kepulauan Riau jauh lebih murah ketimbang di Jawa Barat.

Reformulasi dapil ini tentu tidak mudah karena akan menyebabkan beberapa propinsi terkurangi kuota kursinya, meskipun sebaliknya akan ada beberapa propinsi yang mengalami penambahan kuota kursi.

Hampir dipastikan gagasan ini akan memperoleh reaksidari propinsi-propinsi yang mengalami pengurangan kursi, namun demikian perlu dipahami bahwa sebenarnya yang terjadi bukanlah pengurangan atau penambahan, akan tetapi menata kembali kuota kursi sesuai haknya.

Kita berharap agar semua pihak memandang persoalan ini dengan kaca pandang yang sama untuk menata sistem perpolitikan nasional yang tidak hanya demokratis tetapi juga berkeadilan.

Perangkat lain dalam menata dapil selanjutnya adalah menentukan dapil magnitude. Besaran alokasi kursi per dapil ini menjadi penting ditata karena tidak hanya menjaga keadilan dan kesetaraan nilai kursi di masing-masing dapil, tetapi juga menghitung kemugkinan kemampuan partai-partai politik untuk dapat memperoleh hak memperebutkan kursi di suatu dapil.

Ada keinginan sebagian besar anggota Pansus untuk menyamakan ambang dapil magnitude ini antara DPR dan DPRD, yakni antara 3-6, 3-8, atau 3-10, dari yang sebelumnya 3-10 untuk dapil DPR RI dan 3-12 untuk DPRD Propinsi dan Kabupaten/ Kota. Secara umum, semakin besar batas atas, maka semakin merata potensi partai-partai untuk meraih kursi di parlemen.

Namundemikian, karena dasar penentuan dapil magnitude ini lebih dominan ditentukan oleh pilihan yang dipandang menguntungkan oleh masing-masing partai politik, maka kita berharap akan ketemu titik kompromi yang saling melegakan.

Seiring dengan agenda reformulasi kursi DPR, berkembang pula keinginan untuk melakukan reformulasi kursi DPRD Propinsi. Dasar reformulasinya juga sama, yakni menjaga proporsionalitas harga kursi di masing-masing propinsi; jikapun tidak dapat sama persis sama sekali, setidaknya kesenjangan harga kursi DPRD Propinsi antar propinsi tidak terpaut begitu jauh.

Sebagai gambaran, harga kursi DPRD Propinsi Jawa Barat pada pemilu 2014 yang lalu rata-rata 430.000 suara, sementara di Kalimantan Utara nantinya (sesuai rumusan draft RUU dari pemerintah) harga kursi DPRD Propinsi disana hanya kurang dari 18.000 suara.

Salah satu rumusan yang diajukan dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari Fraksi di DPR mengajukan perubahan terhadap klasifikasi kuota DPRD berdasarkan jumlah penduduk. Dalam rumusan yang diajukan adalah bagaimana nantinya nilai kursi tertinggi adalah 200.000an suara per kursi, atau turun 100% dari harga kursi sebelumnya; sedangkan nilai kursi terendah adalah 25.000 an suara, atau naik 40% dari harga kursi sebelumnya.

Tentu saja ini hanyalah gambaran umum perubahan yang sedang diajukan dan dibahas di dalam Pansus, namun demikian sudah semestinya menjadi perhatian bersama, utamanya Kemendagri dan kepala daerah-kepala daerah yang disinyalir akan bersinggungan dengan perubahan ini untuk melakukan koordinasi intensif dan mengkaji dari berbagai sisi agar memperoleh pemahaman yang utuh.

Ketidak setaraan harga kursi, baik di DPR RI maupun DPRD tidak boleh dibiarkan berlanjut dalam kerangka menciptakan pemilu yang mendukung demokratisasi berkelanjutan, agar ke depan tidak ada lagi tuntutan masyarakat kepada Negara atas nama ketidakadilan, dan hak-hak dasar politik warga Negara dapat tersalurkan dengan baik. Bukankah demikian?

*) Ketua Pansus RUU Pemilu.

BACA ARTIKEL LAINNYA... PKB Usung Lukman Edy di Pilgub Riau 2018


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler