MENCEKAM...Dalam Suasana Seperti ini Sumpah Pemuda Dilahirkan

Rabu, 28 Oktober 2015 – 07:02 WIB
Sebagian peserta Kongres Pemuda II, 27-28 Oktober 1928 pose bersama di Indonesische Studigebouw, Kramat 106 (sekarang Museum Sumpah Pemuda). Foto: Dok. Leimena Institut. Sumber: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

jpnn.com - BUTUH keberanian yang teramat sangat menggelar Kongres Pemuda Indonesia II, 27-28 Oktober 1928. Mengingat Gubernur Jenderal Jhr. Mr. A.C.D. de Graeff baru saja mengamuk menyusul pemberontakan PKI 1926-1927. 

=======

BACA JUGA: Niat Meliput Kongres, WR Supratman Malah Jadi Bintang Sumpah Pemuda

Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network

=======

BACA JUGA: Bahan Pengawet Jasad Firaun Ternyata dari Sumatera

12 November 1926. Waktu pemberontakan PKI meletus, "para wartawan termasuk Wage Rudolf Supratman sangat sibuk selama berhari-hari berusaha merekam peristiwa huru-hara itu," tulis Bambang Sularto dalam buku bertajuk Wage Rudolf Supratman.

Berikut ini penggambaran suasana pada saat itu, berdasarkan kisah Wage Rudolf Supratman...

BACA JUGA: Dokumen Penting! Inilah Undangan Menghadiri Rapat yang Melahirkan Sumpah Pemuda

Hari itu terjadi hura-hara di pelabuhan Tanjung Priok dan di daerah-daerah pinggiran Betawi. 

Di Banten, barisan rakyat bermodalkan senjata pusakanya masing-masing menyerang siapa pun yang dianggap antek kolonial. 

Tuan Gubernur Jenderal pun murka. Para serdadunya dikerahkan sekuat-kuat kemampuan yang dia punya. 

Maka, bentrok! Korban berjatuhan. 

…huru-hara di daerah pelabuhan dan pinggiran kota Betawi dapat ditindas dengan kejam, dilakukanlah penggeledahan dari rumah ke rumah dan penangkapan terhadap ratusan orang.

...kantor-kantor PKI, Serikat Rakyat, Serikat Pekerja Buruh Pelabuhan di Betawi, Tanjung Priok, diduduki tentara dan polisi. 

Perhatian Wage Rudolf Supratman yang sedang asyik-asyiknya memantau dan menulis perkembangan gerakan pemuda paska Kongres Pemuda I awal 1926 pun tercuri. 

Dia sibuk berburu dan meramu berita pemberontakan PKI. Dalam sejarahnya, inilah pemberontakan pertama terhadap kolonialisme Belanda yang menuntut kemerdekaan Indonesia. 

Meski tak terlalu dapat banyak berita, karena Pemerintah Hindia Belanda berusaha keras agar kekejamannya jangan sampaikan disiarkan pers secara luas, WR Supratman mendulang pendapat dari para tokoh pergerakan tentang peristiwa tersebut untuk ditulis di koran tempatnya bekerja, Sin Po.

Para tokoh pergerakan itu secara objektif menilai peristiwa huru-hara bulan Nopember 1926 sebagai: Perlawanan terhadap kekuasaan kaum penjajah. 

Pemerintah memutuskan, PKI dan semua organisasi massa yang bernaung di bawahnya, terlarang. Keluar pula aturan wartawan tidak boleh masuk ke Banten, terkecuali pers putih dan mereka yang memihak pemerintah kolonial.  

Sikap pemerintah terhadap semua pergerakan politik, pergerakan pemuda dan mahasiswa pun semakin keras. Mereka memberi wewenang kepada PID-- semacam agen rahasianya kumpeni--menghadiri semua pertemuan untuk mengawasi secara ketat.

Dalam perkembangannya, yang boleh bergerak hanyalah gerakan pendidikan, kesenian dan kepanduan. 

WR Supratman pun tak lagi meliput berita riuh rendah politik. Sin Po, koran tempatnya bekerja cari aman. Dari pada kena bredel, mending tiarap. 

Dan sang penggubah lagu Indonesia Raya hanya menulis berita-berita kehidupan sosial yang human interest. Dia juga rajin meliput gerakan kepanduan.

Menjelang Sumpah Pemuda 

Awal Februari 1927, Supratman yang mondok di Kwitang, melihat sudah ada sejumlah anak muda di Gedung Kramat 106. Di antaranya mahasiswa Perguruan Tinggi Kedokteran.

Karena sudah saling kenal, mereka bertegur sapa. Supratman sang wartawan disambut dengan wajah cerah.

Rupanya pemerintah baru saja menarik para soldaten yang sudah dua bulan penuh menduduki gedung Indonesesiche Club, markas Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) tersebut. Begitu kabar yang disampaikan para pemuda itu kepada WR Supratman. 

Gedung yang ditinggalkan sejak meletus pemberontakan PKI itu kembali didatangi penghuninya.  

Meski suasana masih mencekam karena pemerintah masih giat-giatnya melumpuhkan gerakan rakyat, PPPI bersama gerakan pemuda lainnya melakukan gerakan bawah tanah mengkonsolidasikan kembali persatuan rakyat.

Tentu butuh keberanian. Dan, buah dari keberanian para anak muda yang berwajah kemerah-merahan ini, terjadilah Kongres Pemuda II, 27-28 Oktober 1928. 

Panitia kongres dipimpin Sugondo Joyopuspito dari PPPI sebagai ketua. 

Dalam struktur kepanitiaan tersebut nama Joko Marsaid (Jong Java), Muhammad Yamin (Jong Sumatranen Bond), Amir Syarifuddin (Jong Bataks Bond), Johan Moh. Cai (Jong Islamieten Bond), Kocongsungkono (Pemuda Indonesia), Senduk (Jong Celebes), J. Leimena (Jong Ambon) dan Rohyani (Pemuda Kaum Betawi). 

Perjuangan memang tak ada yang sia-sia. Kongres ini melahirkan ikrar satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Indonesia!

Saat kongres ini pula Wage Rudolf Supratman, wartawan koran Sin Po, menyenandungkan Indonesia Raya dengan gesekan biolanya untuk pertamakali di muka umum. 

Jangan sekali-kali membayangkan para peserta kongres menyanyikan lagu kebangsaan itu dengan sorak-sorai seperti saat nonton bola di stadion. 

Suasana masih mencekam, kawan. Agen PID mengawasi. Demi alasan taktis, hari itu tak ada nyanyian, yang ada hanya instrumentalia…(wow/jpnn)

(baca: Niat Meliput Kongres, WR Supratman Malah Jadi Bintang Sumpah Pemuda)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pustaha Laklak, Rahasia Pengobatan Batak


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler