jpnn.com - WAJAH para wisatawan yang semula ceria mendadak tegang begitu pesawat Air Koryo mendarat di landasan Pyongyang International Airport. Rasa waswas itu muncul.
BACA JUGA: Cinta Beda Agama tak Direstui, Dokter Cantik Kabur dari Rumah
Laporan Wartawan Jawa Pos
TOMY C. GUTOMO dari Pyongyang
BACA JUGA: Ketahuilah, Lompat Batu Ada Ritualnya
-----------------------------------------
Pesawat Air Koryo JS-152 mendarat tepat waktu di Pyongyang Sunan International Airport setelah menempuh perjalanan dua jam (8/4).
BACA JUGA: Merasakan Tinggal di Korea Utara, Negeri Tertutup Sahabat Indonesia
Waktu setempat menunjukkan pukul 14.30. Setengah jam lebih cepat daripada Tiongkok. Waktu Korea Utara (Korut) dan Korea Selatan (Korsel) juga tidak sama.
Korsel satu jam lebih cepat daripada Tiongkok. Awalnya, waktu Korsel dan Korut sama. Baru tahun lalu pemerintah DPRK (Democratic People’s Republic of Korea, sebutan resmi Korut) melambatkan waktu setengah jam.
Antrean di konter imigrasi tidak terlalu panjang. Sebab, hanya pesawat yang saya tumpangi yang landing saat itu. Pengecekan paspor dan visa berjalan lancar. Tidak ada pertanyaan dari petugas. Tidak sampai satu menit, saya sudah mendapatkan stempel di visa.
Saya lihat dua warga Amerika Serikat, Charlie McCoy Jr dan istrinya, Gloria McCoy, yang perlu waktu lebih. Tapi juga tidak lebih dari tiga menit.
Setelah mengambil bagasi, barulah para wisatawan melewati pemeriksaan yang sesungguhnya. ”Santai saja, ini biasa di Korea Utara,” kata Josh Green, tour leader dari biro travel yang membawa saya.
Ada dua formulir yang harus diisi oleh turis. Pertama, formulir tentang kesehatan. Itu biasa di semua negara. Turis harus memberitahukan apakah sedang sakit atau memiliki penyakit tertentu.
Formulir berikutnya lebih detail. Turis harus mengisikan jumlah uang dan mata uang yang dibawa. Di halaman berikutnya, turis harus menuliskan barang-barang elektronik dan buku atau majalah yang dibawa.
Ada empat pintu pemeriksaan barang. Di tiap pintu pemeriksaan, terdapat interpreter yang akan membantu petugas untuk berkomunikasi dengan turis. Saat mengantre, kami sudah diminta untuk mengeluarkan semua peralatan elektronik dan buku.
Jangan coba-coba menyembunyikan peralatan elektronik dan buku dari petugas. Kalau ketahuan, justru diri sendiri dan rombongan akan kesulitan. Lebih baik semuanya diberitahukan.
Setelah 1,5 jam mengantre, tiba giliran saya di depan mesin X-ray. Petugas yang berpakaian militer dengan ramah meminta HP dan paspor saya. Lalu, dia meminta saya untuk memperlihatkan foto-foto di HP tersebut. Pemeriksaan pertama lolos. Namun, HP belum dikembalikan kepada saya.
Berikutnya, saya menyerahkan kamera, laptop, power bank, flash disk, dan novel Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan. Petugas mencocokkan dengan formulir yang saya isi sebelumnya dan mencatat ulang. Saya kemudian diminta untuk memasukkan koper dan ransel ke mesin X-ray.
Setelah melewati metal detector, petugas perempuan meminta saya untuk menyerahkan dompet dan jam yang saya kenakan. ”Apakah ini memiliki GPS?” kata petugas itu sambil menunjukkan jam Garmin Fenix 3 Sapphire milik saya.
Aturannya, memang turis tidak boleh membawa GPS. Itu yang repot. Sebab, turis yang datang hari itu rata-rata pelari. Mereka menggunakan sportwatch yang dilengkapi GPS. Alhasil, untuk sementara, jam saya tertahan. Petugas itu mengatakan akan melaporkan dulu sport watch saya kepada atasannya.
Berikutnya, saya dipanggil petugas lain serta diminta ke tempat pemeriksaan kamera, laptop, dan buku. Di tempat itu, petugas memeriksa foto di kamera dan isi laptop. ”Ini foto di mana?” tanya petugas dengan menunjuk foto-foto teman saya saat peliputan di Suriname.
Setelah saya jelaskan, petugas itu manggut-manggut. Saya berhasil melewati pemeriksaan barang elektronik dan buku. Jam tangan saya juga akhirnya dikembalikan.
Tidak ada anggota rombongan tur kami yang tertahan di pemeriksaan. Semuanya lolos. (*/c11/kim)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Inilah Penjara Khusus Pelaku Hohohihi...Maluuuuu
Redaktur : Tim Redaksi