Seorang ahli gizi di Sydney, May Zaki, mengaku telah menerima belasan telepon dari orang-orang yang mengalami masalah pola makan berlebihan selama lockdown.
May yang tinggal di daerah Birrong, bagian barat Sydney, menyebutkan berbagai keluhan yang diterimanya, mulai dari urusan anak-anak sekolah dari rumah, membayar tagihan dan memenuhi kebutuhan dasar.
BACA JUGA: Sejumlah Orang yang Sudah Divaksinasi Dua Dosis di Sydney Meninggal, Ini Penjelasannya
Birrong merupakan salah satu pusat penularan Covid-19 di kota itu, sehingga mengalami lockdown lebih ketat daripada daerah lainnya.
"Mereka sangat stres karena lockdown. Jadi satu-satunya sumber kegembiraan adalah makanan," katanya.
BACA JUGA: Melbourne Mencatat Angka Penularan COVID Tertinggi, Layanan Kesehatan Kewalahan
Ia menambahkan bahwa masalah ini bukan hanya dialami oleh yang bersangkutan tapi juga suami dan anak-anak mereka yang mengalami kenaikan berat badan.
May berusaha membantu mereka melalui lokakarya online, berbagi tips berdasarkan pengalamannya sendiri yang pernah mengalami gangguan pola makan sehingga berat badan bertambah 20 kilogram.
BACA JUGA: Australia Mencapai 70 Persen Vaksinasi Penuh COVID-19
"Berat badan saya naik dan saya tidak bisa menghentikan dorongan untuk selalu makan. Jujur saja, ini juga terkait dengan rasa malu," ujarnya.
Banyak di antara mereka yang menghubungi May mengatakan kepadanya bahwa mereka juga mengalami perasaan "memalukan".
"Ketika saya makan banyak, saya tidak ingin orang lain di keluargaku tahu bahwa saya makan sebanyak itu. Jadi saya menyembunyikannya di tempat sampah,” katanya.
Beberapa layanan dukungan kesehatan mental mencatat lonjakan permintaan terkait dengan gangguan pola makan selama lockdown, dan mereka yang tinggal di pedalaman lebih sulit mendapatkan bantuan. Mengapa orang lari ke makanan saat sedih?
Mona Mattar, seorang psikoterapis dari Lighthouse Therapeutic, menjelaskan bahwa sangat biasa orang menggunakan makanan untuk menciptakan rasa nyaman saat menghadapi ketidakpastian seperti lockdown.
"Bagi kebanyakan orang, ketidakpastian menciptakan kecemasan, dan bagi sebagian orang hal ini dapat menyebabkan depresi," katanya.
"Ketika kecemasan dan stres tinggi seperti saat lockdown, tubuh akan melepaskan hormon stres yang disebut kortisol. Horman kortisol memicu keinginan mengonsumsi makanan dengan kandungan gula, lemak dan garam yang tinggi,” jelasnya.
Menurut May Zaki, kita suka makanan karena sudah terikat secara emosional sejak masih kecil, suka diberi hadiah permen dan es krim yang "lembut, manis dan beraneka warna".
Dia menyarankan untuk membangun kembali "hubungan yang sehat" dengan makanan, berlatih untuk bersyukur setidaknya selama lima menit sehari.
"Saat Anda mulai membiasakan bersyukur terhadap tubuh dan kesehatan, hubungan Anda dengan makanan akan berubah," katanya.
Mona Mattar menambahkan upaya menumbuhkan rasa syukur dan mengakui nilai seseorang atau sesuatu - baik berwujud atau tidak berwujud - sangat penting dalam kehidupan kita.
Menurut dia, orang bisa mempertimbangkan hal-hal yang mereka syukuri setiap hari, seperti masih tersedianya makanan dan minuman. Cara lain menemukan kegembiraan selama lockdown
May mengaku telah mendengarkan banyak cerita yang mengatakan makan junk food membuat mereka merasa lebih baik.
Hal ini, katanya, terkait dengan perasaan "memberi hadiah diri sendiri" yang tertanam sejak kita masih kanak-kanak.
Selama mengalami masalah gangguan makan, May mengaku selalu berusaha menghentikan dorongan makan dengan menyalurkan energi dan emosinya ke kegiatan lain seperti berjalan kaki.
"Saya suka berjalan kaki dan bisa melakukannya berjam-jam. Ketika kita berolahraga secara tepat, suasana hati dan hormon-hormon yang baik akan meningkat," ujarnya.
Langkah lainnya, katanya, adalah berusaha menemukan bentuk "hadiah" lainnya, seperti menelepon keluarga atau kerabat.
"Menelepon orang yang kita sayangimeski hanya 10 menit sehari, bisa menimbulkan rasa yang sama seperti setelah makan kue," jelasnya.
Mona menambahkan ada alasan psikologis untuk hal ini.
"Makan kue akan melepaskan hormon perasaan gembira dalam sistem menyenangkan tubuh, yang disebut sebagai hormon dopamin," jelasnya.
"Bersosialisasi dengan orang lain juga akan melepaskan hormon perasaan gembira. Kita tahu bahwa manusia membutuhkan hubungan dan telah diprogram secara biologis untuk selalu mencari hubungan dengan orang lain," katanya.
Dia menyebut banyak cara lain untuk mengaktifkan hormon dopamin dan serotonin atau "hormon perasaan gembira".
Mona menyarankan untuk menghabiskan waktu menikmati pemandangan alam, berolahraga, melatih kesadaran dan rasa syukur serta " melakukan aktivitas yang membuat Anda bahagia". Pentingnya menyadari emosi
Menurut Mona, pola makan kita mungkin juga berubah dalam lockdown karena "perasaan intensif" yang berasal dari kebosanan, kekosongan, kesedihan, ketidakpastian, dan emosi tidak nyaman lainnya.
Emosi ini kemudian mendorong potensi untuk mencari pelampiasan seperti makan berlebihan atau ngemil.
"Sejumlah orang menggunakan makanan untuk mengalihkan perhatian dari emosinya. Dalam jangka pendek, makanan memang berfungsi menekan emosi," katanya.
"Cara efektif untuk menangani emosi adalah pertama-tama mengenali emosi itu sendiri, kemudian memperhatikannya dan akhirnya penting untuk menyadarinya.
“Dengan menyadari adanya emosi, kita bisa mengurangi intensitasnya," ucapnya.
May Zaki menambahkan bahwa saat dia marah atau stres dan ingin makan sesuatu, dia berusaha menemukan akar penyebab emosinya, mencoba untuk memecahkan atau menghadapinya.
Itu juga memberinya kekuatan untuk menahan godaan keinginan makan saat merasa sedih.
"Sekarang, saya merasa lebih baik tentang diri saya dengan atau tanpa makan," katanya.
Salah satu nasihat yang dia berikan sebagai ahli gizi agar mengelola emosi adalah juga melatih kesadaran saat menikmati makanan.
"Fokus pada bau, tekstur dan bagaimana rasa makanan itu sebenarnya," kata May.
Dia juga menyarankan untuk membuat jurnal supaya bisa mempelajari pola makan kita, dan mencatat emosi yang terjadi setelah mengkonsumsi makanan tertentu.
"Ini akan membantu kita menemukan pemicunya dan bisa mulai mengatasi akar penyebab pola makan berlebihan," katanya.
"Terkadang kita makan tapi bukan karena tubuh kita membutuhkannya. Jadi masalahnya ada di pikiran, bukan tubuh kita," paparnya.
Artikel ini hanya berisi informasi umum. Silakan menghubungi pekerja profesional kesehatan untuk meminta nasihat terkait dengan keadaan Anda.
Diproduksi oleh Maria Papadopoulos dari artikel ABC News.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Berita Terkini Soal Korban Pelecehan dan Perundungan di KPI Pusat