jpnn.com - Media internasional Haaretz belum lama ini membuat laporan tentang komunitas Yahudi di Indonesia. Koran yang bermarkas di Tel Aviv, Israel, itu menurunkan laporan bertitel Inside the Secret World of Indonesia’s Jewish Community.
Haaretz mendedahkan kisah tentang Yahudi di Indonesia yang kini menjadi komunitas tersembunyi. Para penganut Yudaisme sebagai kalangan minoritas di Indonesia harus menyembunyikan identitas keimanan mereka.
BACA JUGA: Yahudi
Artikel yang terbit pada 22 April 2019 itu membeber sejarah Yahudi di Indonesia. Umat Yahudi bisa dibilang sudah eksis di Nusantara selama berabad-abad.
Dr Ayala Klemperer-Markman dari Universitas Haifa, Israel, pernah meneliti asal mula Yahudi di Nusantara dalam rangka disertasi doktoralnya. Penelitiannya menunjukkan adanya penganut Yahudi yang masuk ke Nusantara pada abad ke-17.
BACA JUGA: Kisah Tersembunyi Komunitas Yahudi di Indonesia
Kala itu, penganut Yudaisme bekerja sebagai klerek maupun pedagang Dutch East India Company yang lebih dikenal dengan sebutan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Ayala merujuk pada tulisan Jacob Halevy Saphir (1822-1886).
Saphir merupakan utusan kerabian dari Yerussalem. “Tiba di Nusantara pada 1861,” ujar Ayala menguraikan tentang Saphir. Baca juga: UUD Baru yang Sangat Yahudi
BACA JUGA: Israel Patut Waspada, Proporsi Warga Yahudi Turun Signifikan
Laporan Saphir menjadi rujukan tentang awal keberadaan Yahudi di wilayah Nusantara. Saphir dalam tulisannya melaporkan tentang sekitar 20 keluarga Yahudi Askenazi dari Belanda di Batavia (sekarang Jakarta), Surabaya, dan Semarang.
Tulisan itu menunjukkan ekspresi kekhawatiran Saphir terhadap masa depan Yahudi di Nusantara. “Mereka tidak menjalankan tradisi Yahudi dan banyak yang menikah dengan perempuan non-Yahudi,” tutur Ayala mengutip laporan Saphir.
Ayala dalam sebuah tulisan menceritakan laporan Saphir membuat komunitas Yahudi di Amsterdam mengirim rabi ke Nusantara untuk mengatur kehidupan komunitas pengikut Yudaisme di Batavia dan Semarang. Namun, rabi itu meninggal dunia sebelum menyelesaikan tugasnya.
Di luar itu ada sekelompok Yahudi dari Irak -terutama Baghdad dan Basra- serta Aden yang menetap di Nusantara. Hanya saja, dari sudut pandang agama, gelombang migrasi Yahudi dari Irak dan Aden tidak berdampak signifikan.
Pada 1921, seorang utusan lain bernama Israel Cohen tiba di Jawa. Berdasar catatan Cohen kala itu, jumlah umat Yahudi di Jawa diperkirakan sekitar 2.000.
Cohen yang notabene seorang zionis juga berpendapat seperti laporan Saphir bahwa komunitas Yahudi tidak taat memegang tradisi.
Ikhtiar Cohen di Nusantara meninggalkan jejak dengan terbitnya surat kabar Eretz Israel pada periode 1926 hingga 1939 di Padang, Sumatera Barat.
Selama era 1930 hingga 1940, komunitas Yahudi di Indonesia terus berkembang. Hal tersebut tak terlepas dari kondisi di Eropa kala itu.
Holocaust saat Nazi merajalela membuat banyak Yahudi Eropa mencari perlindungan ke wilayah lain. Sebagian dari mereka menggungsi ke wilayah-wilayah jajahan Belanda, termasuk Indonesia.
Sebagian besar dari mereka adalah warga Belanda maupun negara lain di Eropa. Menjelang masa penjajahan Jepang pada 1942, jumlah Yahudi di Indonesia sekitar 3.000 orang.
Namun, saat Indonesia di bawah pendudukan Jepang pada 1942, kaum Yahudi di Nusantara dikirim ke kamp interniran. Prof Rotem Kowner, ahli tentang sejarah Jepang di Universitas Haifa, punya catatan soal itu.
Menurutnya, tekanan Jerman terhadap penguasa Jepang selama era Perang Dunia II memaksa populasi Yahudi mengasingkan diri.
“Kemudian diperkuat tendensi anti-Semitisme di antara penduduk lokal dan anti-Semitisme di antara kelompok-kelompok warga Jepang yang menjadi bagian pasukan pendudukan di Indonesia,” ujarnya.
Kini, umat Yahudi di Indonesia masih menghadapi kondisi yang tak mudah. “Anda harus memahami sejarah di balik kebencian terhadap Yahudi,” ujar Rabi Benjamin Meijer Verbrugge yang biasa memimpin peribadatan pengikut Yudaisme di pinggiran Jakarta.
Baca juga: Kisah Tersembunyi Komunitas Yahudi di Indonesia
Rabi Benjamin dan beberapa Yahudi lain di Indonesia adalah keturunan Belanda. Dia harus menghadapi rasa benci masyarakat karena kakeknya menjajah Indonesia.
Di sisi lain, Rabi Benjamin juga harus menghadapi kebencian karena sebagai Yahudi. “Jadi, kami menghadapi dua jenis masalah: satu adalah warisan Belanda kami, lainnya adalah sentimen anti-Yahudi,” katanya.(haaretz/ara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Antoni