BACA JUGA: Cerita di Balik Sweater Biru
Di sana, ada sekelompok PKL (pedagang kaki lima) yang menjual barang-barang "bermerek" dengan harga miringLaporan KURNIAWAN MUHAMMAD, Johannesburg
KOTA Johannesburg bisa dibagi menjadi dua
BACA JUGA: Fans Samurai yang Tak Kompak
Johannesburg CBD adalah kota lamaBACA JUGA: Diiringi Waving Flag dan Waka Waka
Ada yang mengatakan, jika ingin menyaksikan yang indah-indah serta yang megah-megah, datanglah ke SandtonJika ingin menyaksikan pemandangan yang kumuh, datang saja ke Johannnesburg CBD.Pendapat ini memang terkesan berlebihanTapi, tak sepenuhnya salahSebab, kawasan yang terlihat kumuh itu memang berada di Johannesburg CBD, tepatnya di kawasan Noord.
Senin siang (5/7) lalu, Jawa Pos diajak berkeliling ke kawasan kumuh itu oleh Noah, seorang warga lokal berkulit hitamAwalnya, dia mengatakan kepada Jawa Pos, bahwa ada tempat khusus di Joburg (Johannesburg) yang menjual barang-barang dengan harga murah"Anda ingin membeli kaus, jaket, sepatu, bisa datang ke sana," katanya.
Nah, tapi mengapa harganya bisa murah? "Kata orang-orang, karena di sana banyak dijual barang-barang hasil curian," ujar pemuda berusia 24 tahun ini.
Karena penasaran dengan cerita Noah, Jawa Pos pun ingin tahu lebih dekat kebenaran dari cerita NoahMaka siang itu, kami pun berangkat ke sanaAgar bisa lincah bergerak kemana-mana, mobil yang kami tumpangi diparkir di sebuah tempat, selanjutnya kami berjalan kaki.
Selama berjalan kaki menyusuri jalan-jalan sempit, Jawa Pos sempat khawatir dengan tindak kejahatan, seperti copet maupun perampasanTapi, Noah meyakinkan kami, bahwa selama dengan dia, tak akan terjadi apa-apa"Jangan khawatirSaya awasi Anda dari belakang," katanya.
Saat berjalan-jalan itulah, Jawa Pos melihat sudut-sudut kota yang sangat berbeda jika dibandingkan dengan SandtonTimbunan sampah terlihat di beberapa titik, sehingga menimbulkan bau tak sedapCat bangunan dari gedung-gedung yang berdiri di pinggir jalan, terlihat banyak yang mengelupas.
Ketika Jawa Pos melintas di depan Park Central Taxi Terminal, yakni tempat mangkalnya angkutan umum (masyarakat di sana menyebutnya taxi), tampak lalu-lintasnya macet dan semrawutSelain itu, para penumpangnya terlihat antre mengular hingga panjangnya mencapai lebih dari 50 meter.
Ketika Noah ditanya, mengapa antrinya bisa sepanjang itu, dia mengatakan, bagi warga Afrika Selatan kelas bawah, angkutan umum di tempat itu adalah satu-satunya alat transportasi untuk bepergian"Yang naik banyak, tapi jumlah kendaraannya masih sangat terbatas," katanya.
Dari terminal itulah, warga bisa bepergian ke mana pun dengan tarif sangat murahPaling dekat bisa ke Midrand, tapi juga bisa ke Durban, bahkan ke Cape TownMisalnya, jika pergi ke Durban dengan menggunakan Greyhound (semacam bus Patas-nya di Afsel), tarifnya 260 Rand per orangTapi dengan angkutan taksi ini, cukup dengan uang 85 Rand jika ingin ke DurbanBisa jadi karena murah, sehingga alat transportasi itu menjadi favorit warga kelas bawah.
Dari pengamatan Jawa Pos, semua yang antri itu adalah warga kulit hitamSiang itu, mereka sangat tertib mengantriJika mobil yang di Indonesia bentuknya seperti L 300 itu datang, satu per satu penumpang masuk dengan tertibnyaTak ada yang berebut.
Jika di dalam mobil sudah tak muat, yang belum dapat giliran masuk harus bersabarAda di antara penumpang itu yang sampai harus menunggu hingga satu jam"Saya sudah biasaIni baru satu jamBiasanya sampai dua jam," kata seorang ibu yang siang itu menggendong anaknya di belakang(Bersambung)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kuarto Diego Andalan Uruguay
Redaktur : Tim Redaksi