Tinggal di negeri seperti Australia, Astanti Rachmatiah seorang warga Indonesia di Perth, mengajarkan putri kembar untuk memahami makna spiritual puasa seperti mengontrol emosi ataupun menahan diri selama Ramadan, selain juga berpuasa tidak makan dan minum.

Astanti yang biasa dipanggil Esty sudah tinggal di Perth sejak menikah dengan seorang pria Australia di tahun 2000. Mereka memiliki putri kembar, Annika dan Nabila yang sekarang berusia 12 tahun.

BACA JUGA: Pengalaman Istri Diplomat RI di Australia Dalam Buku

"Saya pertama kali mengunjungi Australia sebagai mahasiswa S2 di tahun 1994-1996. Saya dulu pernah bekerja di Edith Cowan University di Perth, namun sejak kelahiran anak-anak, saya memutuskan untuk fokus membesarkan anak dan total menjadi ibu rumah tangga." kata Esty kepada wartawan ABC Australia Plus Indonesia, L. Sastra Wijaya.

Menurut Astanti, walau sudah cukup lama menetap di Australia, namun setiap Ramadan tiba dia tetap merasakan kerinduan atas suasana Ramadan di tanah air.

BACA JUGA: Menikmati Sup Hangat Sambil Berderma bagi Tunawisma

"Terutama di saat berbuka puasa dan menjelang waktu sahur. Kerinduan akan suara adzan yang berkumandang menandakan waktu berbuka telah tiba."

"Kerinduan melihat ramainya anak-anak kecil berlarian menuju meja makan untuk berlomba-lomba membatalkan puasanya, serta kerinduan akan suara-suara para penjaga malam yang berkeliling membangunkan warga untuk sahur." kata Astanti.

BACA JUGA: Dokter Hewan Dipecat karena Ungkap Kondisi Ternak di Kapal

"Suasana tarawih pun sangat sulit didapatkan di sini. Terutama karena jarak rumah dan masjid yang tidak dekat dan aktivitas rutin sehari-hari tidak berubah." katanya menambahkan.

Oleh karena itu, guna mengatasi kerinduan tersebut, di keluarganya ketika Ramadhan tiba, Astanti akan memasak masakan yang sedikit berbeda dan lebih bernuansa Indonesia untuk berbuka.

"Namun umumnya hanya di minggu pertama saja, selanjutnya tetap kembali kepada menu yang lebih tepat dengan kondisi keseharian. Toh setelah seminggu anak-anak juga sudah terbiasa dengan suasana puasa dan sudah tidak menuntut masakan yang unik lagi." katanya.

Kegiatan lain adalah juga adalah kadang kala berbuka puasa dengan keluarga Indonesia lainnya di Perth.

"Menjelang tidur malam anak-anak pun biasanya mengganti acara baca buku sebelum tidurnya dengan belajar aqidah Islam yang sederhana dan mudah dicerna oleh mereka."

"Begitu pun di saat menunggu waktu subuh biasanya diselingi dengan mendengarkan kisah para nabi." katanya lagi.

Dalam pengalamannya berkenaan dengan anak-anak di sekolah, Astanti melihat ada beberapa pengalaman unik ketika anak-anaknya berada di sekolah dasar (Primary School).

"Sebagai seorang pendatang di negeri asing saya selalu berusaha menyesuaikan diri saya dengan kondisi setempat."

"Hal itu yang selalu saya tanamkan pada anak-anak saya sejak usia sangat dini. Sehingga menjadi minoritas tidak akan memiliki efek negatif dalam kehidupan mereka."

"Sebaliknya saya ingin anak-anak saya tumbuh menjadi orang yang bangga atas keunikan mereka sebagai minoritas tanpa merasa berbeda dari kebanyakan teman-teman mereka." kata Astanti.

Putri kembarnya, Annika dan Nabila yang sekarang berusia 12 tahun, sama seperti banyak anak-anak sekolah di Australia lainnya, aktif di sekolah mereka baik di bidang olahraga dan musik.

"Dalam bulan Ramadhan saya tetap mendorong anak-anak beraktifitas sebagaimana biasanya dan tidak mengurangi kegiatan olahraga dan musik di sekolah mereka.  Karena menurut saya, sebagai pendatang, untuk bisa diterima di dalam suatu lingkungan kita harus bisa masuk dan menjadi bagian dari lingkungan itu sendiri dulu. Tentunya kita tetap harus melakukan seleksi yang positif." kata Astanti.

Menurutnya, situasi lingkungan di Australia yang sangat berbeda dengan di Indonesia, tidak memungkinkannya untuk mengajarkan puasa dengan cara yang sama dengan yang dilakukan para orang tua umumnya di Indonesia.

"Untuk itu saya memperkenalkan manfaat dan menanamkan kesadaran untuk berpuasa dulu sejak usia dini, bukan kewajibannya kepada anak-anak. Misalnya dengan mengajarkan mereka untuk mengontrol emosi mereka, menahan diri dan menganjurkan mereka untuk puasa dimulai dengan setengah hari ketika mereka di Pre-primary." lanjut lulusan S1 Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta tersebut.

Menurut Astanti, dia berhafrap bahwa dengan berjalannya usia mereka, puasa akan menjadi suatu kebutuhan anak-anaknya dan bukan sekedar menjalankan kewajiban.

"Saya merasa bahwa tumbuh di dalam lingkungan yang notabene sebagin besar tidak mengenal apa itu Ramadhan, anak-anak lebih butuh untuk dibekali kekuatan iman dulu baru perlahan ritualnya." katanya lagi. Astanti mengajarkan anak-anaknya untuk lebih memahami makna puasa terlebih dahulu.

Foto: Istimewa

Cara pemikiran ini menurut Astanti sempat menarik perhatian beberapa guru maupun orang tua murid ketika anak-anaknya masih di sekolah dasar.

"Beberapa kali mereka bertanya tentang kewajiban Ramadhan terutama buat anak-anak yang masih duduk di junior class serta meminta pendapat tentang apa yang mereka dan sekolah bisa bantu untuk mendukung suasana Ramadhan. "

"Misalnya, ketika ada situasi dimana seorang murid yang masih duduk di kelas 2, tiba-tiba pingsan saat melakukan olahraga. Ternyata murid tersebut dalam keadaan berpuasa (tanpa sepengetahuan guru kelasnya), namun tetap ingin melakukan kegiatan lomba mewakili kelompoknya dan tetap bersikukuh tidak mau membatalkan puasa walaupun sudah dalam keadaan yang sangat lemah." tambahnya lagi.

Oleh karena itu belajar dari situasi tersebut, Astanti kemudian menekankan kepada anak-anaknya agar mereka tahu kapasitas diri mereka sendiri dan agar mereka paham betul bahwa puasa adalah kewajiban namun bukan paksaan.

"Sehingga dalam situasi tertentu mereka harus mampu melakukan pilihan mereka sendiri dan sadar akan konsekwensinya."

"Mudah-mudahan anak-anak saya mampu tumbuh di sini secara alami sebagai minoritas muslim, berbaur dengan lingkungannya tanpa menjadi “exclusive”."

"Sering menyentuh hati saya saat menguping pembicaraan anak-anak saya dengan teman-teman sekolahnya di dalam kendaraan. Dengan bahasa sederhanyanya mereka memperkenalkan dan mendidik teman-teman mereka tentang apa itu Ramadhan dan alasan mereka melakukannya dengan santainya dan tanpa terlihat tertekan atas pertanyaan-pertanyaan temannya yang kadang tidak mudah untuk dijawab." kata Astanti.

Secara umum, Astanti mengatakan dari tahun ke tahun, perkembangan dan pemahaman warga di Australia mengenai Islam sudah banyak berubah.

"Masyarakat di sini sudah jauh lebih terdidik tentang Ramadhan dan Islam secara keseluruhan. Peristiwa-peristiwa internasional yang sering membajak nama Islam dan menyudutkan kaum muslim tetap memberi hikmah yang positip."

"Di satu sisi mendorong masyarakat umum untuk memahami lebih jauh tentang Islam dan ritualnya, termasuk Ramadhan, sehingga lebih toleran. Di sisi lain sebagai muslim yang menjadi minoritas di negeri sini, lebih berusaha keras membaur dan mebuka diri terhadap lingkungannya, sehingga nilai-nilai baiknya dapat terlihat jelas dengan mudah." demikian pandangan Astanti Rachmatiah.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pria Ini Bawa Kamera di Sepatu Untuk Ngintip

Berita Terkait