Mendampingi suami yang bertugas sebagai diplomat di negara tujuan adalah bagian dari perjalanan hidup Myra Junor dan Syifa Fahmi. Dua mantan perempuan karir ini paham betul ritual adaptasi yang harus mereka hadapi setiap menginjakkan kaki di tempat baru, termasuk Australia. Tapi ada saja momen-momen tak terlupakan yang mereka kenang dan kini, dibukukan dalam kumpulan cerita ‘Di Balik Gerbang’.

Myra Junor dan Syifa Fahmi adalah para istri diplomat Indonesia yang pernah bertugas di Australia. Bersama kelima rekan mereka (Andis Faizsyah, Angela Widowati, Lona Hutapea, Tyas Santoso, dan Utami Witjaksono), sesama istri diplomat, mereka menerbitkan buku berjudul ‘Di Balik Gerbang’.

BACA JUGA: Menikmati Sup Hangat Sambil Berderma bagi Tunawisma

Kumpulan cerita ini berisi pengalaman mereka dan keluarga selama mendampingi suami bertugas di negeri orang. Lewat buku yang baru diterbitkan (21/6) lalu di Jakarta, ke-7 perempuan ini ingin menyampaikan pesan bahwa diplomasi tak mutlak milik diplomat. Istri dan anak-anak adalah bagian tak terpisahkan dari dunia diplomasi yang digawangi para suami.

Myra dan Syifa, dua di antara 7 pendamping diplomat tersebut, turut menuturkan kisah mereka selama tinggal di Canberrra dan Sydney. Beberapa kejadian tak terduga sempat mereka alami saat awal-awal menetap di negara tetangga Indonesia ini.

BACA JUGA: Dokter Hewan Dipecat karena Ungkap Kondisi Ternak di Kapal

Myra Junor berpose di depan Ilama saat ia mendampingi suami bertugas di Australia.

Supplied

Cerita krisis air di Canberra

BACA JUGA: Pria Ini Bawa Kamera di Sepatu Untuk Ngintip

“Jadi ceritanya waktu kami mendarat, ya kami kan tidak tahu apa-apa tentang Canberra ya, tahunya ini negara maju, everything’s fine. Jadi ketika baru akan mendarat, ternyata dari atas nggak terlihat hijau, kami kaget,” kenang mantan Jurnalis TV swasta ini.

“Padahal katanya penuh hutan ya, harusnya hijau dong, karena kami juga nggak tahu cuacanya seperti apa di sana. Eh ternyata semua pada kering sekali, rumput-rumput warnanya kecoklatan semua. Saya lantas membatin ‘Ini kok seperti kekeringan ya?’. Itu kesan pertama saya,” sambung Myra, istri mantan diplomat Indonesia di Canberra, Eko Junor.

Saat itu Myra betul-betul tak tahu apa yang terjadi sampai ia menerima tagihan listrik pertama yang nominalnya mengejutkan.

“Kami santai saja mandi dua kali sehari selama musim panas Desember 2009 itu. Tapi waktu tagihan keluar, kami sontak kaget ‘Wah gila..gede banget nih tagihannya’. Rupanya, di sana itu ada water restriction(pembatasan air), karena selama 15-20 tahun itu, dari 2009 mundur, Canberra mengalami kekeringan,” ungkap perempuan yang mengaku memiliki hasrat menulis yang cukup besar ini.

Diceritakan Myra, Canberra -saat ia pertama datang –jarang sekali hujan sampai waduk dan air tanahnya minus. Salah satu cara untuk mengatasi itu, yang Myra ingat, pemerintah setempat menerapkan aturan unik seperti tidak boleh mencuci mobil, dan hanya boleh dilap.

“Intinya kita nggak boleh menghambur-hamburkan air, itu nggak boleh,” katanya kepada Australia Plus di acara peluncuran ‘Di Balik Gerbang’, Jakarta.

Bahkan, lanjut Myra, warga setempat memanfaatkan air bekas untuk menyiram tanaman. Misalnya, air bekas cuci baju, air itu bisa dipakai untuk tanaman atau untuk mencuci peralatan rumah lainnya. “Terus kalau kita punya taman yang besar, kita tuh nggak boleh menyalakan air dengan deras, jadi sistemnya tetes demi tetes gitu, tapi tanaman tetap tumbuh kok,” sambungnya. Lima istri diplomat Indonesia membagikan pengalaman mereka saat peluncuran buku 'Di Balik Gerbang', Jakarta (21/6).

ABC; Nurina Savitri

Saat Myra dan keluarga telah terbiasa dengan pembatasan itu, tiba-tiba di tahun 2010, curah hujan di Canberra begitu deras dan akhirnya waduk setempat menjadi surplus.

“Dan lantas semua jadi hijau, sebelumnya pemandangan Canberra itu penuh kekeringan,” aku pendamping diplomat berambut pendek ini kepaa Nurina Savitri dari ABC.

Ketika ditanya bagaimana ia menghadapi istri diplomat asing lain ketika hubungan Indonesia-Australia menegang, Myra menjawab “Seperti misalnya saat kasus Chapelle Corby, terus akhirnya dia dihukum, nah itu saya di perkumpulan ibu-ibu internasional di sana ada yang bertanya kepada saya ‘Oh where are you from?’, saya jawab ‘Indonesia’, lalu dia membalas ‘Oh i think you should really let go Chapelle Corby, i mean you know i can’t even imagine she’s being in prison in Indonesian prison’ .”

Kalau sudah begitu, tutur alumnus Universitas Padjajaran Bandung ini, istri diplomat harus bisa menjawab dan tak menyalahi kaidah politik antar negara.

“Kita jelaskan bahwa hukum kita seperti itu dan kita berusaha menjalankan hukum negara, nah itulah prosesnya...tapi mudah-mudahan dia bisa lepas secepatnya,” terang Myra.

Dalam buku ini, Myra tak hanya menceritakan pengalaman hidupnya sebagai istri diplomat di Canberra, ia juga berbagi kisah mengenai masa tinggalnya di Pyongyang selama suaminya bertugas di sana. Syifa Fahmi bermain angklung di Sydney.

Supplied

Awalnya susah pahami ungkapan bahasa penduduk lokal

Tak berbeda dengan Myra, Syifa-pun juga mengalami beberapa kejadian tak terduga, salah satunya soal bahasa.

“Orang Australia suka menggunakan kata yang dikonotasikan denga binatang. Waktu itu, saya menunggu anak saya pulang sekolah, saya lihat sekumpulan ibu-ibu Aborijin sedang bercanda di bawah pohon. Ketika saya turun dan lewat, mereka tersenyum dan menyapa saya ‘Hello...little possum’. Saya sih sempat membalas ‘Hello’ walau dalam hati bertanya-tanya...’apa konotasinya ya?’,” kisah Syifa seperti tertuang dalam buku ‘Di Balik Gerbang’.

Perempuan berjilbab ini lantas melanjutkan, “Beberapa hari kemudian saya kembali menemui mereka dan kembali disapa ‘Morning little possum’. Saking penasarannya, saya akhirnya bertanya kepada tetangga yang memang paham sejarah Aborijin. Ternyata dari dia saya tahu bahwa itu adalah ungkapan sayang.”

“Sejak saat itu saya menyukai panggilan ‘little possum’,” aku pendamping diplomat yang sedari kecil gemar menulis buku harian ini.

Syifa lantas menuturkan, keterlibatannya dalam proyek buku ini bermula dari tawaran rekannya, Lona Hutapea, untuk menulis, karena saat ditempatkan di Tokyo dan kemudian berlanjut di Sydney, ia banyak terlibat dengan pembuatan newsletter dari ibu-ibu darma wanita setempat.

“Mbak Lona membuat saya sadar bahwa ‘Oh ini loh..kreatifitas saya bisa dibukukan’,” ucapnya. 'Di Balik Gerbang' karya 7 pendamping diplomat Indonesia.

Supplied

Baik Syifa dan Myra berharap, buku ini tak hanya sekedar menjadi ajang berbagi tapi mampu mengungkap sisi lain kehidupan keluarga diplomat yang selama ini sering dipandang ‘wah’.

“Mudah-mudahan masyarakat, tak hanya keluarga dan teman-teman kami, tahu bahwa selama ini kegiatan kami di luar itu seperti apa, apa saja yang kami lakukan dan suka dukanya,” tutur Syifa.

Myra-pun menimpali, “Ya sama seperti harapan teman-teman, semoga kisah ini bermanfaat dan bisa memberi inspirasi kepada pendamping calon diplomat yang akan bertugas di luar negeri.”

Diterbitkan dan diperbarui: 23:00 WIB 22/06/2016 oleh Nurina Savitri.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kapal Pencari Suaka Vietnam Dipulangkan

Berita Terkait