Angka penularan virus corona belum berhenti di dunia, termasuk di Indonesia dan Australia. Kini mulai diketahui sejumlah orang bisa menyebarkan virus ke lebih banyak orang dibandingkan yang lain.
Mereka ini disebut sebagai 'superspreader' dan bisa menciptakan klaster wabah yang besar.
BACA JUGA: Survei Membuktikan: Makin Banyak Publik Pengin PSBB Dihentikan
Contoh yang banyak disebut di Australia adalah saat seorang pria asal Melbourne yang mengunjungi Crossroads Hotel di Sydney, kemudian menyebarkan virus ke 40 orang lainnya.
Seorang karyawan di rumah perawatan lansia Newmarch House di Sydney juga menjadi contoh lainnya, setelah membuat tempat tersebut menjadi klaster baru dan 19 penghuninya meninggal.
BACA JUGA: Jangan Percaya Narasi Anji, Covid-19 Sudah Renggut Kerabat Sandi
'Lockdown' Melbourne babak kedua: Pasang surut bisnis warga Indonesia di Melbourne saat 'lockdown' kedua diberlakukan Warga Melbourne disarankan menggunakan masker bila keluar rumah dan jika tak bisa jaga jarak Muslim di Melbourne: naiknya penularan COVID-19 tidak ada kaitannya dengan agama
Sampai sekarang masih belum jelas mengapa 'superspreader' bisa menularkan dalam jumlah lebih besar, namun kemana mereka pergi dan apa yang mereka lakukan bisa berdampak penting.
BACA JUGA: Begini Kondisi Warga Indonesia di Melbourne Menjalani Lockdown Kedua
Menurut Professor Mary-Louise McLaws, salah seorang penasehat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kemungkinan besar ada berbagai faktor yang menyebabkan hal ini terjadi.
Menurutnya, lingkungan tempat penyebaran menurut lebih punya peran penting ketimbang keberadaan orang yang menularkan.
Jadi bisa wabah terjadi tanpa ada orang yang sudah terpapar virus yang melakukan kesalahan, seperti melanggar aturan jaga jarak. Kami menjawab pertanyaan seputar virus corona: Apakah Australia siap dengan gelombang kedua virus corona? Apa penjelasan di balik angka kematian di Indonesia? Siapa pasien pertama COVID-19 yang mengubah kehidupan dunia?
Bisakah kita jadi 'superspreader'?
Menurut Prof Mary-Louise McLaws, istilah 'superspreader' sebenarnya tidaklah terlalu tepat, karena hanya merujuk hanya pada satu orang yang bermasalah.
Menurutnya, siapa saja bisa menjadi 'superspreader' bila kita menjadi orang pertama yang membawa virus ke tempat di mana virus corona mampu mudah menyebar, seperti di ruangan dengan ventilasi buruk dan penuh orang.
Beberapa orang sudah mendapat ancaman dan dianiaya secara fisik karena dianggap sebagai 'superspreader'.
Ada kekhawatiran serangan serupa membuat beberapa orang tidak mau melakukan tes, jika mereka pernah melakukan kontak dengan orang banyak atau dengan orang yang kemungkinan sudah mengidap virus.
Dengan alasan itu, banyak pakar sekarang menggunakan istilah 'superspreading events' yang lebih mengacu pada waktu penyebara, bukan pada orangnya. Inovasi anak bangsa di tengah pandemi COVID-19
Sejumlah ilmuwan serta beberapa warga Indonesia telah menghasilkan penemuan berbasis teknologi untuk membantu tenaga kesehatan dalam menangani penularan virus corona.
Berapa banyak virus yang kita miliki?
Menurut Professor Peter Colignon, pakar penyakit menular dari Rumah Sakit Canberra di Australia, jumlah virus yang dimiliki seseorang ketika dia menyebarkan dapat membuat penyebaran yang sangat besar.
"Dalam banyak kasus penyakit, semakin banyak dosis virus yang masuk ke tubuh kita, semakin parah keadaan yang kita alami," katanya.
Dengan itu, kalau kita sakit, maka batuk dan bersin akan lebih sering dibandingkan mereka yang sakitnya ringan.
Jadi bila anda duduk di sebelah mereka yang memiliki virus corona yang kemudian batuk-batuk atau bersin, maka kemungkinan anda akan tertpapar virus lebih banyak, dibandigkan jika memegang permukaan yang terkontaminasi virus, seperti pegangan pintu. Photo: Seorang pria asal Melbourne menyebarkan COVID-19 kepada 40 orang lainnya di Crossroads Hotel di Sydney. (AAP: James Gourley)
Faktor kekebalan tubuh
Faktor genetik atau faktor biologis bisa menjadi faktor mengapa seseorang bisa menjadi penyebar virus ke lebih banyak orang.
"Kalau anda memiliki sistem kekebalan tubuh yang rendah, sel kekebalan atau antibodi yang tidak bekerja dengan baik, maka anda bisa menjadi penyebar virus lebih banyak," kata Professor Colignon.
Sistem kekebalan tubuh yang lebih lemah disebabkan karena kurang tidur, stress, atau kondisi kesehatan lain, kurang fit, serta efek penggunaan obat.
Di sisi lain, sistem kekebalan tubuh yang lebih kuat juga bisa mejadi masalah, menurut sejumlah pakar kesehatan.
Bila kekebalan tubuh tersebut menekan virus sampai tidak menimbulkan gejala, maka mereka yang sudah terpapar virus bisa secara tidak sadar menyebarkan ke yang lain.
Di China, seorang perempuan yang tidak memiliki gejala dan melakukan karantina mandiri setelah tiba dari Amerika Serikat, misalnya, dilaporkan menyebarkan virus ke 71 orang lainnya ketika dia menggunakan lift di komplek apartemennya. Pandemi virus corona
Ikuti laporan terkini terkait virus corona dari Australia dalam Bahasa Indonesia.
Resiko penyebaran mereka yang tak punya gejala
Masih belum jelas seberapa banyak penularan yang berasal dari mereka yang tidak punya gejala, namun diperkirakan angkanya sangat kecil dibandingkan mereka yang memang sudah memiliki gejala.
Menurut Profesor McLaws, penularan bisa terjadi sebelum seseorang memiliki gejala, dengan bukti yang menunjukkan 15 persen mereka yang mengidap virus tidak menunjukkan gejala sama sekali.
Cara penyebaran COVID-19 yang paling umum adalah melalui partikel air liur saat sesorang batuk atau bersin.
Cairan yang berisi virus juga akan keluar dari mulut ketika berbicara, khususnya bisa kita sedang berteriak atau menyanyi.
"Seorang yang disebut superspreader adalah orang yang memproduksi lebih banyak cairan," kata Professor Collignon.
"Atau faktor yang terkait dengan penyebaran cairan tersebut. Jadi mungkin ada partikel yang lebih kecil yang terbang lebih jauh atau lebih banyak." Kemana arah COVID-19 di Indonesia?
Sejumlah ilmuwan Indonesia memproyeksikan angka kasus virus corona untuk bisa mengantisipasi situasi ke depan.
Satu orang, dua kuman
Hal yang mengkhwatirkan Profesor McLaws adalah penyebaran besar bisa terjadi karena seseorang selain terkena virus corona, juga mengidap kuman lain, misalnya bakteri yang mengganggu pernapasan atau pencernaan.
Kekhawatirannya adalah mereka yang memiliki flu akan lebih banyak menyebarkan karena mereka lebih sering batuk atau bersin, atau kalau memiliki masalah pencernaan lewat kotoran.
Flu, pilek dan diare lebih sering menyebar di musim dingin, sehingga saat ini di Australia adalah masa yang beresiko tinggi.
"Kita khawatir musim dingin karena ini adalah musim batuk-batuk," kata Prof McLaws. Cara pencegahan terbaik
Profesor Collignon dari Rumah Sakit Canberra mengatakan tindakan seperti mencuci tangan, menjaga jarak dengan orang lain, menjalani tes dan karantina, bila memiliki gejala, sudah membuktikan bisa mencegah penyebaran virus.
Hal-hal itulah yang harus menjadi prioritas utama untuk dilakukan setiap orang.
"Kita bisa belajar dari beberapa peristiwa penyebaran besar, yang bisa kita lakukan adalah mengontrol tempat penyebaran, sseperti ruangan yang tertutup, dibandingkan mencari orang yang menyebarkannya."
Profesor McLaws setuju dengan pendekatan itu.
"Jadi persoalannya adalah adanya kesempatan yang memungkinkan virus menyebar, ini yang paling penting."
"Kita tidak boleh memberikan kesempatan apapun kepada virus ini."
Lihat artikelnya dalam bahasa Inggris di sini
BACA ARTIKEL LAINNYA... Raja Ampat Berstatus Zona Kuning Covid-19