Mengeluarkan Tisu, Ichsan Yasin Limpo Menyeka Air Matanya

Sabtu, 10 Februari 2018 – 00:18 WIB
Ichsan Yasin Limpo. Foto: ABE BANDOE/FAJAR/dok.JPNN.com

jpnn.com - Ichsan Yasin Limpo (IYL) tak mampu membendung air matanya. Dia mengeluarkan tisu di hadapan penguji.

Momen itu setelah mendengar pengujinya menyebut dia berhasil meraih gelar doktor ilmu hukum.

BACA JUGA: Turun ke Asmat, Unhas Dapat Rp 100 Juta dari Mensos

AGUNG PRAMONO, Unhas, Tamalanrea

Ichsan Yasin Limpo mempertahankan disertasinya setelah 12 hari meneliti di tujuh negara dan tiga jam berdiri di hadapan delapan penguji.

BACA JUGA: Hasil Survei Populi Center Sungguh Mengejutkan

Wajib belajar 12 tahun menjadi rekomendasi dalam disertasi yang berjudul "Politik Hukum Pendidikan Dasar Dalam Sistem Pendidikan Nasional".

Ketua Sidang sekaligus Ko-Promotor, Prof Dr Farida Patittingi memutuskan IYL lulus dengan IPK 3.98, dan pantas menyandang predikat lulusan terbaik Fakultas Hukum (FH) Unhas.

Keputusan itu langsung membuat mantan bupati Gowa dua periode itu bersyukur kepada Allah. Serentak membuat para undangan berdiri dan memberikan tepuk tangan.

Suara tepuk tangan itu menghilang, ketika IYL membuka kacamata dan mengeluarkan tisu.

"Gelar ini saya persembahkan untuk kedua orang tua saya," sebutnya dengan nada pelan, sembari menyeka air mata.

Keluarga, kerabat, serta sahabatnya juga dibuat menangis di Auditorium Prof Amiruddin Fakultas Kedokteran (FK) Unhas, Kamis, 8 Februari. Termasuk anaknya, Adnan Purichta Ichsan yang juga bupati Gowa.

Dia ingat pesan ayahnya, HM Yasin Limpo yang suatu ketika menyebutnya akan menjadi doktor dan bahkan profesor, kelak. "Saat itu saya masih kelas 2 SD, dia bilang begitu," katanya.

Sidang promosi doktor yang berlangsung mulai pukul 09.20 Wita hingga pukul 12.35 Wita menunjukkan diskusi yang menarik antara penguji dan promovendus atau kandidat doktor.

Apalagi, saat membahas polemik sistem pendidikan dasar. Berdiri selama tiga jam di hadapan penguji, Prof Dr Abdul Razak, Prof Dr A Pangerang Moenta, Prof Dr Irwansyah, dan Dr Anshori Ilyas, serta penguji eksternal, Dr Hamdan Zoelva.

Ko-Promotor, Prof Dr Farida Patittingi, Prof Dr Aminuddin Ilmar, dan Promotor Prof Dr Syamsul Bachri. Masing-masing penguji memberikan sanggahan terkait judul disertasinya.

Penguji banyak mendiskusikan disertasi IYL, bahkan ada yang memuji keseriusan IYL dalam meneliti di tujuh negara seperti Finlandia, Jepang, Singapura, Korea Selatan, Belanda, Australia, dan Indonesia.

Saat Hamdan Zoelva melayangkan pertanyaan terkait perbandingan kebijakan pendidikan sejak Indonesia merdeka sampai sekarang, Ichsan menjawab, banyak hal yang perlu menjadi kajian untuk melakukan perubahan. Sistem pendidikan sekarang sudah benar, tetapi belum tepat.

Komite sekolah dikritiknya. Alasannya, komite sekolah hanya menjadi legitimasi kepala sekolah melakukan pungutan.

"Sudah mengambil uang dari negara, mengambil juga dari orang tua siswa, sehingga ini yang harus diluruskan," jawabnya.

Hamdan Zoleva yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), kembali bertanya. Dia menanyakan ihwal siswa yang mengalami distress (tekanan) akademik. Secara umum siswa kebanyakan berorientasi kelulusan saja, bukan orientasi proses.

Ichsan kembali menjawab, distress akademik karena adanya banyak tekanan, ditambah lagi banyaknya pelajaran.

"Perintah sebenarnya adalah pedagogi, anak-anak datang ke sekolah karena memang membutuhkan, bukan keterpaksaan. Dan itu harusnya dilakukan tanpa adanya beban," bebernya.

Suami dari Hj Novita Madonza Amu ini mengatakan, bukan hanya untuk Sulsel, melainkan rekomendasi itu untuk tingkat nasional.

Berkaca dari hasil penelitian, ternyata mata pelajaran yang paling banyak di Jepang yakni sembilan, di Finlandia hanya enam. Sementara di Indonesia ada 16 mata pelajaran.

"Makanya, kita perbandingkan sistem pendidikan, pembelajaran bagaimana evaluasinya, berapa beban mata pelajaran," ucap lelaki kelahiran Ujung Pandang, 9 Maret 1961 itu.

Rekomendasi wajib belajar 12 tahun mulai dari kelas 1 sampai kelas 12 bagi IYL, harus satu kesatuan untuk menuntaskan semua mata pelajaran.

"Bukannya banyaknya seragam yang penting dalam pendidikan. Harus ada kebebasan, mau pakai sandal atau sepatu tidak masalah. Karena yang mau belajar bukan seragam, tetapi otak," tegas ayah empat anak itu.

Usai melewati semua pertanyaan dari promotor, ko-promotor, penguji, dan penguji eksternal, Ichsan sempat mengeluarkan curahan hatinya selama menjadi mahasiswa S3 Unhas.

Menurutnya, menjadi mahasiswa itu sangatlah nikmat sekali. "Menjadi mahasiswa saya baru merasakan ada kemerdekaan saat berada di kantin, karena sebelumnya selama 17 tahun saya terus disiapkan oleh protokoler," ucapnya yang membuat undangan tertawa.

Bahkan, dia juga sempat menceritakan jenis-jenis mahasiswa semasa kuliah di FH Unhas. Ada perbedaan tersendiri bagi mahasiswa S1, S2, dan S3.

"Wanita badannya lurus, selalu gembira, ketawa, itu S1. Kalau sedikit gemuk, kadang cemberut, senyum sedikit-sedikit itu S2, dan kalau S3 sangat kentara cemberut terus," kelakarnya.

"Makanya, selain melakukan penelitian di tujuh negara untuk mendapat gelar doktor, penelitian saya termasuk juga di kantin," sambungnya sambil melirik sang istri. (*/rif-zuk)


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler