Mengenal KH Ahmad Imam Mawardi, Peraih Santri of The Year

Senin, 05 November 2018 – 20:47 WIB
Kyai Imam saat menerima penghargaan Santri of The Year. FOTO : JPNN

jpnn.com, SURABAYA - Islam Nusantara Center (INC) bekerjasama dengan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya pekan lalu menggelar penganugerahan Santri of The Year. Acara itu sudah tiga kali dilakukan. Untuk tahun ini penghargaan diberikan kepada beberapa orang dan instansi yang dinilai berhasil membawa pengaruh baik pada pembangunan bangsa dan negara. Beberapa nama di antaranya adalah mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan, Gubernur Kepulauan Riau Nurdin Basirun, Almarhum KH Hasyim Muzadi hingga ulama kharismatik KH Ahmad Imam Mawardi. Nah, seperti apa sosok KH Ahmad Imam Mawardi sehingga dinobatkan menjadi Santri Inspiratif Bidang Dakwah? Berikut kisahnya

 

BACA JUGA: Santri Arak Bendera Raksasa

Panji Dwi Anggara

 

BACA JUGA: Jokowi Lepas 1 Juta Kirab Santri di Sidoarjo

Malam semakin larut. Bulan, satu-satunya sumber cahaya yang sangat diandalkan malam itu, hilang bersembunyi di balik pekatnya awan. Satu persatu penumpang perahu kecil itu larut dalam doa. Ada yang hanya menundukkan kepala sembari berkomat-kamit, tapi ada pula yang menengadahkan tangan sembari menangis.

”Tenang, kita serahkan semuanya pada Allah. Perbanyak shalawat dan berdoa,” ucap KH Ahmad Imam Mawardi yang akrab disapa Kyai Imam itu menenangkan penumpang.

BACA JUGA: Pembawa Bendera HTI di HSN Garut Diduga Alumni Aksi 212

Malam itu, perahu yang ditumpangi Kyai Imam dan beberapa kerabat serta jamaah memang sedang rusak di tengah lautan Sampang, dalam perjalanan menuju Gili Mandangin.

”Yang saya rasakan saat itu hanya pasrah sembari bermunajat pada Allah. Allah yang tahu mana yang terbaik bagi hambanya. Toh niat kami baik dalam perjalanan itu, yakni mau berdakwah,” ucap Kyai Imam setelah menerima penghargaan sebagai Santri of The Year.

Alhamdulillah, setelah terombang-ambing lebih dari 8 jam, perahu yang mereka tumpangi sampai juga di bibir pantai pada pukul 7 pagi.

Dan, kejadian mencekam di tengah lautan itu bukanlah yang pertama dan terakhir.

Dalam kegiatan dakwahnya di pulau-pulau kecil, Kyai Imam kerap menemui hambatan. Seperti saat kapalnya pecah dan hampir tenggelam di lautan saat menuju Kangean. ”Tapi segala tantangan itu jangan sampai menyurutkan semangat untuk menyebarkan kebaikan,” jelas dia.

Kyai Imam merupakan salah satu dai muda yang dimiliki Indonesia. Menempuh pendidikan strata satu  dan program doktoral di UINSA, Kyai Imam mendapatkan gelar master dari McGill University Montreal Canada. Sehari-hari, selain berdakwah, pria humoris itu juga menjadi dosen pascasarjana dan Wakil Koordinator Kopertais IV yang membawahi 194 Perguruan Tinggi Islam Swasta se Jawa Timur, Bali, NTB, dan NTT.

Dalam bidang keagamaan, putra almarhum KH Muhammad Hasyim itu mengasuh dua pondok pesantren sekaligus. Pertama, ponpes Bustanul Ulum yang berada di tempat asalnya di Lenteng, Sumenep. Di tempat itu, setiap kali dia mengadakan pengajian, tak kurang dari 6000 jamaah turut hadir.

Ponpes kedua yang dia kelola adalah Pondok Pesantren Kota Alif Laam Miim yang berada di Kebonsari Surabaya. Berdekatan dengan Masjid Nasional Al-Akbar.

Ide Kyai Imam mendirikan ponpes Kota ini tak lain untuk menjangkau kaum urban.

Saat ini, ujar dia, pondok membuka Mts Tahfidz yang fokus pada al-Qur’an dengan segala jenis keilmuannya. Pondok Pesantren ini juga memiliki program yang cocok untuk masyarakat urban, yaitu Pondok Weekend alias kajian akhir pekan.

Kajiannya umum dan bersentuhan langsung dengan kebutuhan masyarakat kota, seperti 20 Pintu Rezeki, Jalan Darat dan Jalan Langit Menuju Rezeki yang Tidak Disangka-sangka, Menjemput Kematian dengan Senyum, serta masih banyak tema lainnya.

Menurut Kyai Imam, salah satu cara agar dakwah bisa diterima adalah, kepandaian dalam melihat audience. ”Di kalangan kampus, tentu muatan teori dan referensi akademik selalu saya tonjolkan. Kalau di kalangan pengusaha dan perusahaan biasanya saya mengutip buku tentang bisnis sebagai bandingan dengan prinsip Islam. Nah, kalau di masyarakat awam biasanya saya menyelipkan banyak kisah atau cerita yang saya anggap bisa menjadi instrumen menyampaikan pesan.”

Prinsip dakwah menurutnya, mengajak menuju kebaikan dengan cinta, bukan dengan paksa. “Semua yang berubah karena cinta, akan bersifat abadi. Sementara yang berubah karena paksa, akan bersifat sementara dan berubah kembali,” imbuh dia.

Saat ditanya perasaannya tentang penghargaan ini, dengan diplomatis Kyai Imam menjawab, ”Sebenarnya kita tidak berharap penghargaan dari manusia, namun kita harus berterimakasih dan bahagia jika diperhatikan dan dihargai. Hal ini bisa menjadi tambahan stimulan bagi saya untuk terus berdakwah kemanapun,” katanya.

Lantas apa kuncinya menjadi santri sukses? Dia merincinya menjadi empat poin. Pertama, jaga ketaatan ibadah, jaga ketundukan pada guru, jaga kesantunan sosial dengan siapapun, dan terakhir jaga keistiqamahan mengaji.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Polda Jabar Temukan Pembawa Bendera HTI di HSN Garut


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler