Mengenang Pahlawan KKO Anumerta Usman Harun Pasca-Pengukuhan KRI

Berharap Ada Tetenger Pengingat Masa Perjuangan

Senin, 08 Desember 2014 – 20:52 WIB
AHLI WARIS: M. Salim (dua kanan), keponakan Harun bin Said, bersama Siti Rodiah (tiga kanan), kakak Usman Janatin, di samping lambung KRI Usman-Harun yang bersandar di Dermaga Madura. Foto: Suryo Eko P/Jawa Pos

jpnn.com - Sersan KKO (sekarang Korps Marinir) (Anumerta) Usman Janatin dan Kopral KKO (Anumerta) Harun bin Said menjadi buah bibir lagi. Keduanya diabadikan sebagai nama Kapal Perang RI (KRI) pada 4 Desember lalu di Mako Armatim, Surabaya.

Laporan Suryo Eko Prasetyo, Surabaya

BACA JUGA: Uang Selalu Habis Diamalkan, Harta Milik Hanya Motor Bekas

SUASANA khidmat menyelubungi Dermaga Madura, Ujung, Markas Komando Armada RI Kawasan Timur (Armatim), Kamis pagi (4/12). Ratusan prajurit TNI-AL dari Satuan Kapal Eskorta Koarmatim berbaris mengikuti rangkaian upacara militer dan acara adat.

Kegiatan itu berlangsung sehari menjelang puncak Hari Armada yang diperingati setiap 5 Desember. Di seberang tenda undangan, dua KRI teranyar tengah sandar di dermaga. KRI Usman Harun berada di seberang utara tenda. Di depannya tampak KRI Bung Tomo.

BACA JUGA: Pasutri Asal Tiongkok Cindy Li dan MJ Bersepeda Keliling Dunia

Dua kapal perang jenis multi role light frigate (MRLF) yang diseberangkan dari Inggris menjelang HUT TNI Oktober lalu itu dihiasi berbagai ornamen dan bendera warna-warni.

Dua nama kapal perang itu memang lekat dengan masyarakat Jawa Timur. Bung Tomo, arek Suroboyo kelahiran Blauran, Kecamatan Bubutan, merupakan salah seorang aktor pertempuran Surabaya, 10 November 1945. Hingga kini peristiwa tersebut diperingati sebagai Hari Pahlawan. Bahkan, Kota Surabaya pun dikenal dengan sebutan Kota Pahlawan.

BACA JUGA: Bikin Iklan Kecap Perlu Riset Daging Sapi

Sementara itu, Usman kelahiran Purbalingga dan Harun asal Pulau Bawean, Gresik. Keduanya adalah pahlawan nasional era Dwikora pada 1962–1968. Yakni, ketika Indonesia berkonfrontasi dengan Singapura selaku ”boneka Inggris”.

Dua pahlawan baret ungu itu menjadi nama pahlawan dwitunggal pertama di Indonesia yang diabadikan sebagai KRI. Bahkan, dwitunggal proklamator Soekarno-Hatta hingga kini belum menjadi nama KRI.

Satu MRLF lainnya yang juga dikukuhkan adalah KRI John Lie. Itu diambil dari nama seorang pahlawan asal Sulawesi Utara. Pengukuhan dijadwalkan medio Desember nanti.

’’Pahlawan-pahlawan tersebut menjadi spirit penyemangat kami,’’ ujar KSAL Laksamana TNI Marsetio seusai acara adat pemecahan kendi di lambung kiri KRI Usman Harun. Tampak hadir dalam acara tersebut sejumlah ahli waris tiga pahlawan dari dua KRI itu.

Nama KRI Usman Harun pernah menjadi perbincangan di level internasional. Sempat muncul resistensi dari pemerintah Singapura. Salah satu negeri jiran itu memprotes keputusan TNI-AL karena Usman dan Harun dianggap pelaku kriminal. Aksi teror mereka mengebom MacDonald House di kawasan Orchard Road, 10 Maret 1965, membuat tiga warga tewas.

Gagal meloloskan diri, Usman dan Harun tertangkap dan diadili selama tiga tahun lebih. Mereka dihukum gantung oleh pemerintah Singapura pada 17 Oktober 1968. ’’Peristiwa gugurnya Harun di tiang gantungan menjadi tetenger kegiatan peringatan tahunan keluarga,’’ ungkap Mohamad Salim, seorang keponakan Harun yang hadir mewakili ahli waris keluarga. Dia datang dengan ditemani anaknya, Endra Ratri.

Harun adalah anak ketiga di antara lima bersaudara pasangan Mandar dan Aswiyani. Salim yang juga kepala Desa Diponggo, Kecamatan Tambak, Gresik, merupakan anak Asiah, adik kandung keempat Harun.

Sejak ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden RI Soeharto pada 17 Oktober 1968, perhatian pemerintah kepada keluarga ahli waris Harun terhitung minim. Sebelum diabadikan menjadi KRI, Desa Diponggo sebagai asal Harun tidak terlalu dikenal.

Justru yang dikenal dari Bawean, terang Salim, banyak penduduk pulau itu yang merantau ke Singapura. Tidak sedikit tetangga di desanya bermigrasi dan menjadi warga Negeri Singa tersebut.

Bahkan, ketika masih belia, Harun diriwayatkan pernah merantau ke salah satu distrik di kawasan pelabuhan ibu kota Singapura. Dia menjadi anak angkat warga setempat bernama Said.

Dengan wajah mirip peranakan etnis Tionghoa, Harun dengan mudah bergaul di tengah masyarakat Singapura yang mayoritas beretnis Tionghoa. Namun, jiwa dan semangat nasionalis Harus tidak luntur meski sempat bermukim di Singapura.

Sejak masuk dunia militer, dia mendapat tugas khusus bersama Usman dan seorang prajurit Marinir bernama Gani. Dalam misi tugasnya, hanya Gani yang berhasil kembali ke Indonesia.

’’Jangankan museum seperti Museum Usman Janatin bantuan pemerintah Purbalingga. Monumen untuk mengenang perjuangan Harun saja belum ada,’’ keluh Salim.

Tetenger untuk Harun bisa dibilang tidak sebanyak pahlawan nasional lainnya. Sebut saja Bung Tomo yang sudah menjadi nama jalan di berbagai kota dan nama stadion di kawasan Surabaya Barat. Nama Bung Tomo selalu dikenang setiap peringatan Hari Pahlawan.

Sebaliknya Harun. Selama ini perhatian terbanyak hanya dari jajaran Korps Marinir. Peringatan Hari Nusantara 2014 yang melibatkan pasukan yang identik dengan pendaratan amfibi itu sempat mengangkat nama pamannya. ’’Pakde Karwo dan Gus Ipul (gubernur dan wakil gubernur Jatim, Red) saja, seingat saya, belum menginjakkan kakinya di Bawean,’’ kritik Kades yang baru dilantik Februari lalu itu.

Salim yang mewakili ahli waris keluarga merasa iri terhadap apresiasi yang diberikan kepada Usman selaku rekan seperjuangan Harun.

Meski secara kepangkatan di militer Kopral Harun lebih rendah daripada Sersan Usman, sebagai dwitunggal, idealnya mereka mendapat perlakuan sama. ’’Mudah-mudahan dengan menjadi nama kapal perang, setidaknya bisa mengangkat nilai-nilai perjuangan yang belakangan meluntur,’’ harapnya.

Pemandangan berbeda ditunjukkan ahli waris Usman. Mereka datang beramai-ramai. Sedikitnya lima orang hadir mewakili keluarga mendiang anak ketujuh di antara delapan bersaudara itu.

Mereka adalah Siti Rodiah (anak kelima), Siti Turiyah (anak bungsu), Artoyo (suami Turiyah), Nurkholis, dan Akhyanto (keponakan). Ada seorang keponakan Usman yang kebetulan juga bertugas di Armatim.

’’Alhamdulillah, kepedulian pemerintah dan warga Purbalingga membuat nama Usman Janatin terus dikenang sampai kini,’’ ujar Akhyanto, mewakili ahli waris keluarga.

Di kampung halamannya, nama Usman diabadikan sebagai taman hiburan keluarga. Yakni, Usman Janatin City Park atau Taman Kota Usman Janatin yang dibangun pada 2010. Taman hiburan itu dibangun pemerintah di bekas Pasar Kota Purbalingga. Letaknya hanya 2 kilometer dari Alun-Alun Purbalingga.

Selain itu, terang dia, sekitar 10 km dari taman hiburan, terdapat Museum Usman Janatin. Dalam waktu dekat, Pemkab Purbalingga akan mengabadikan Usman sebagai nama bendungan. ’’Progres museum sekitar 80 persen. Dapat dukungan dari Lanal (Pangkalan Angkatan Laut) Cilacap,’’ tutur Akhyanto. (c6/ib)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pembuktian Diri Mahasiswi Indonesia Kuliah di Belanda


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler