jpnn.com - Pada 2003, saya melalui perantara seorang teman mengajar di Universitas Bung Karno (UBK). Lokasinya di Jalan Diponegoro, tidak jauh dari RSCM.
Saat itu saya diminta memimpin Bagian Penelitian dan Pengembangan (Litbang) UBK, di samping mengampu tiga mata kuliah. Litbang UBK itu lebih fokus pada penelitian dan penyempurnaan isi mata kuliah Ajaran Bung Karno.
BACA JUGA: Presiden Jokowi Berdukacita atas Wafatnya Rachmawati Soekarnoputri
UBK adalah universitas di bawah asuhan Yayasan Pendidikan Soekarno yang diketuai Ibu Rachmawati Soekarnoputri, putri ketiga pasangan Bung Karno – Ibu Fatmawati. Kantor Yayasan Pendidikan Bung Karno terletak di Jalan Proklamasi, dekat bioskop Megaria, tidak jauh dari kampus UBK.
Mendengar nama Bu Rachma di UBK, saya sontak kepingin bertemu dengan beliau. Melalui perantara Rektor UBK waktu itu -seorang pensiunan polisi berpangkat inspektur jenderal yang pernah menjadi Kapolda di salah satu provinsi di Sumatera- saya pun diterima oleh Bu Rachma. Saya masih ingat waktu itu Bu Rachma didampingi suaminya, Benny Soemarno.
BACA JUGA: Kenangan Rizal Ramli tentang Sosok Rachmawati Soekarnoputri
Di luar dugaan saya, Bu Rachma senang bertemu saya. Suasana perbincangan sangat akrab, penuh tawa dan senyum dari Bu Rachma.
Sebagian besar yang dibicarakan tentang masalah politik, karena beliau mengaku cukup sering membaca tulisan-tulisan saya di media cetak. Soal kampus UBK, beliau hanya titip supaya saya membantu memajukan UBK, terutama materi mata kuliah Ajaran Bung Karno yang wajib diambil oleh semua mahasiswa selama 2 semester.
BACA JUGA: Megawati Soekarnoputri Sangat Berduka
Pertemuan itu berlangsung sekitar 1,5 jam lebih. Bu Rachma menyinggung banyak hal tentang kepemimpinan kakaknya, Presiden Megawati Soekarnoputri.
Melihat suasana bincang-bincang yang begitu cordial dan “cair”, saya pun memberanikan diri meluncurkan satu pertanyaan sensitif: “Maaf Ibu Rachma, perseteruan Ibu dan Bu Megawati yang sering diekspos media massa sebenarnya sungguhan atau cuma sandiwara?”
Bu Rachma yang duduk di kursi roda tampak terkejut dan agak “cemberut” mendengar pertanyaan itu. Namun, belia segera menjawab dengan suara lantang: “Masa sandiwara sih ?!! Ya, sungguhan...”
Syahdan, pertemuan pertama saya dengan Ibu Rachmawati didominasi pembicaraan tentang kritik tajam beliau terhadap pemerintahan Megawati. Tentu, saya tidak bisa buka konten perbincangan kami itu dalam tulisan ini.
Namun, secara garis besar ada beberapa hal yang bisa saya ungkap di sini:
a. Terdapat perbedaan tajam antara Bu Rachma dengan visi-misi Presiden Megawati soal pengelolaan pemerintahan.
b. Bu Rachma kecewa karena Pancasila dan ajaran Trisakti Bung Karno tidak dijalankan secara konsisten oleh pemerintah.
c. Harapan kuat Bu Rachma ialah agar UUD 1945 bisa dikembalikan ke naskah aslinya. Di mata Bu Rachma, UUD 1945 hasil amendemen telah merusak Indonesia, dan menggiring negara dan bangsa kita menyimpang dari cita-cita perjuangan para founding fathers, terutama Soekarno.
Bu Rachma jelas sangat obsesif terhadap pelaksanaan ideologi Pancasila. Beliau menginginkan Pancasila sunguh-sungguh dilaksanakan, tidak hanya lip service.
Beliau amat sangat sedih, bahkan sempat meneteskan air mata di depan saya ketika menyinggung Pancasila yang tidak dilaksanakan secara konsisten oleh Orde Baru ataupun pada masa reformasi. Secara implisit beliau menyebut Ibu Mega –dalam posisi sebagai Presiden RI- punya peluang emas untuk melaksanakan Pancasila secara konsisten.
Diskusi kemudian berbelok ke hubungan antara Pancasila dengan UUD 1945. Menurut Bu Rachma, Pancasila makin “dipinggirkan” sejak UUD 1945 diamendemen mulai 1998 hingga 2002.
Ketika itu Bu Rachma sudah menyuarakan desakan supaya UUD 1945 diluruskan lagi: kembali ke naskah asli. Setelah Bu Rachma mengetahui saya duduk di Komisi Konstitusi MPR 2003-2004, beliau pun memberondong saya dengan satu pertanyaan tajam: bagaimana pelaksanaan UUD 1945 setelah diamendemen?
“Sudah jauh menyimpang, Bu !” jawab saya. “Nah, tugas Anda dan kawan-kawan yang masih memiliki idealisme untuk mengembalikan UUD 1945 ke naskah aslinya," kata beliau.
Lalu saya singgung pertemuan saya (bersama Alm. Jenderal Rudini, Mayor Jenderal TNI Soemargono, Kolonel Udara Sudjai, peneliti Lembaga Pengkajian Strategis Internasional dan seorang guru besar ekonomi) dengan Presiden Megawati di kantor DPP PDIP, Jalan Lenteng Agung, pada tahun 2003.
Pak Rudini ketika itu menyarankan agar Presiden Megawati mengembalikan UUD 1945 hasil amendemen ke naskahnya yang asli. Anehnya, Bu Mega malah menyuruh saya menulis artikel di koran-koran tentang masalah itu.
Pertemuan kedua saya dengan Bu Rachma lebih singkat, sekitar 1 (satu) jam. Fokus pembicaraan 100 persen tentang politik, terutama situasi bangsa dan negara terkini.
Kritik beliau terhadap pemerintahan Megawati makin keras. Yang diungkit-ungkit tidak berubah: Pancasila dan UUD 1945.
Beliau percaya kakaknya bisa memainkan peran besar untuk mengembalikan UUD 1945 ke naskahnya yang asli, sekaligus menjalankan Pancasila secara konsisten.
Setelah itu, lama saya tidak berjumpa lagi dengan Bu Rachma. Pertemuan terakhir kami pada 12 Agustus 2019 saat acara “Indonesia Bersatu” yang digelar Kementerian Pertahanan. Sekitar 500 peserta memadati ruang besar di lantai 2 (dua) Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta.
Bu Rachma diberikan kesempatan untuk menyampaikan pernyataannya. Dibantu oleh ajudan dan staf Kemenhan, Bu Rachma yang duduk di kursi roda didorong ke panggung.
“Saya memberikan satu pesan harapan agar Pancasila dapat tegak di republik ini, harus digandeng kembali dengan UUD 45. Artinya saya mengharapkan, Pak Menhan dan Pak Try, kembali. Kita harus kembali ke UUD 45!" kata Rachmawati dengan suara serak dan wajah syahdu. Air mata menetes di kedua pipinya.
Rachmawati mengutip pernyataan Bung Karno tentang hubungan Pancasila dan UUD 1945 yang asli sebagai loro-loroning atunggal. "Artinya, Pancasila dan UUD 45 ini tidak bisa dipisah-pisahkan," katanya penuh semangat.
Pak Try Soetrisno, mantan Wakil Presiden RI pun amat setuju dengan ide Bu Rachma, bahkan sudah memperjuangkan kembalinya UUD 1945 ke naskah yang asli. Namun upaya itu tidak berhasil.
Dalam berbagai kesempatan “diskusi kecil” dengan saya, Pak Try mengaku sudah dua kali menyampaikan aspirasi tersebut kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pak Try dalam kedudukannya sebagai Wakil Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) juga sudah menyampaikan itu kepada Presiden Jokowi.
Rupanya, makin lama upaya mengembalikan UUD 1945 ke naskah asli makin sulit, karena kelompok yang menentang kian banyak dan bersikap keras pula. Maka, jadilah bangsa dan negara kita seperti sekarang, dengan wajah kapitalistis, keadilan yang bopeng, dan demokrasi yang sebetulnya bukan demokrasi karena yang ada kongkalikong antara eksekutif dengan legislatif.
Sejumlah tokoh sudah berupaya keras untuk melaksanakan Pancasila dan mengembalikan UUD 1945 ke naskah asli, toh juga tidak berhasil!
Yang jelas, Ibu Rachmawati Soekarnoputri telah menunjukkan jati dirinya yang konsisten terus-menerus berjuang untuk tegaknya Pancasila dan UUD 1945 asli. Rest in peace, Ibu. Amin.(***)
*Penulis adalah mantan dosen Universitas Bung Karno
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bung Karno dan Proyek âMustika Rasaâ, Cita-cita Kuliner Indonesia Sejajar dengan Hidangan Eropa
Redaktur & Reporter : Antoni