Mengharukan, Warga Dayak dan Madura Menangis

Senin, 08 Agustus 2016 – 05:55 WIB
Pentas musik etnis dan tarian tradisional di Taman Budaya Jogjakarta beberapa waktu lalu. Foto: TARARA FOR JPRM/JPNN.com

jpnn.com - KALANGAN seniman itu punya cara sendiri dalam menutup rapat konflik. Seperti bekas luka akibat permusuhan Suku Madura dan Suku Dayak di Sampit, Kalimantan Tengah, pada 2001 silam.

GHINAN SALMAN, Bangkalan

BACA JUGA: Kiat Indonesia Siapkan SDM Hadapi Era MEA

TRAGEDI berdarah 15 tahun silam seakan tidak pernah terjadi dan tidak akan ada lagi. Suku Madura dan Suku Dayak dapat bersatu. 

Mereka melantunkan musik tradisional bersamaan dalam satu panggung. Begitulah suasana perdamaian dua suku dalam Jogja Sounds of Archipelago di Jogjakarta beberapa waktu lalu.

BACA JUGA: Auman Harimau Sumatera Tidak Lagi Menakutkan

Pelaku musik khas Madura tampil berkolaborasi dengan pemusik tradisional khas Suku Dayak. Gabungan dua seni musik tersebut (Madura dan Dayak) mampu menghadirkan pertunjukan antik dan fenomenal. 

Meski berbeda, perpaduan musik tersebut bisa berbunyi kompak dan indah. Dari saking padunya, seperti menegaskan sebuah janji bahwa Suku Madura dan Suku Dayak tidak akan pernah ada rasa permusuhan lagi.

BACA JUGA: Merinding! Cerita Pembuat Batu Nisan saat di Kuburan Preman yang Mati Terbunuh

Kekompakan dan kebersamaan dua suku lewat seni itulah yang mampu menghipnotis penonton. Bahkan, perpaduan musik tongtong, saronen dengan musik khas Dayak, membuat warga Dayak dan Madura terharu dan menangis.

”Saat kami tampil, semua penonton meneteskan air mata karena terenyuh. Sebab, melihat dua etnis bisa bersatu dalam musik yang mirip,” tutur Ketua Sanggar Tarara Bangkalan Sudarsono, Sabtu (6/8).

Dia menuturkan, pihaknya sudah dua kali tampil bersama seniman Suku dayak. Pertama, tampil pada 2001 bersama kepala Suku Dayak. Kedua, tampil dalam acara Jogja Sounds of Archipelago, Kamis (28/7) di Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta.

Di balik perpaduan musik dua suku tersebut, terselip tujuan yang ingin dicapai kaum seniman. Yakni, perdamaian. 

Pesan yang ingin disampaikan adalah konflik yang pernah terjadi antara Suku Dayak dan Madura tidak akan terulang lagi. Sehingga, Madura dan Dayak kembali bersatu seperti dulu kala. Damai, indah, sebagai warga sebangsa setanah air.

”Kata orang-orang setelah menyaksikan pementasan kami, mendoakan semoga bisa mempersatukan kembali Suku Dayak dan Madura,” jelasnya.

Dia juga berharap, konflik yang pernah menjadi catatan pahit tersebut bisa tenggelam dengan adanya seni dan budaya. Seperti slogan Bhineka Tunggal Ika, meski berbeda, tetapi tetap satu: bangsa Indonesia.

”Persatuan itu bisa terjadi karena budaya. Saya selalu yakin itu,” ujar Sudarsono.

Sementara itu, penggagas kolaborasi budaya dan seni musik antaretnis ini juga putra Madura. Dia adalah Memet Choirul Slamet, warga Rong Dhalem, Kecamatan Kota Bangkalan.

Kepada Jawa Pos Radar Madura (JPRM) pria yang jadi dosen musik etnis ISI Jogjakarta itu mengaku, sengaja menggabungkan seni Madura dan Dayak. Selain untuk melihat indahnya keragaman budaya, juga bertujuan menutup rapat luka lama akibat konflik dua suku tersebut.

”Kami berupaya menghapus dendam dua suku itu,” katanya.

Bahkan, Memet menambahkan, ke depan pihaknya ingin mengangkat dan menyatukan seni dan kebudayaan daerah, tidak hanya Madura dan Suku Dayak. Daerah-daerah lain yang pernah berkonflik, akan dicoba untuk dipersatukan dalam suatu kebudayaan di Jogja.

”Kami akan melakukan pementasan serupa. Terutama yang pernah berbau konflik di daerah,” pungkasnya. (*/zul/sam/jpnn) 

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bidan Tangguh Itu Naik Turun Gunung Demi Pasien


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler