Ratusan anak pelaku terorisme di Indonesia menjalani deradikalisasi di sebuah sekolah yang dirahasiakan.
Dengan kotak pensil yang diatur rapi, seorang gadis berusia delapan tahun duduk di meja sekolahnya, dengan hati-hati mewarnai gambar binatang.
BACA JUGA: Remaja Cerebral Palsy Didepak Dari Penerbangan Virgin Australia
Tampak tersenyum dan mengobrol dengan teman-teman sekelasnya saat asyik menggambar, tidak ada indikasi Ayu, bukan nama sebenarnya, bermimpi untuk suatu hari menjadi pembom bunuh diri.
Pada bulan Mei, ibu dan ayahnya mendudukkan Ayu di sepeda motor mereka sebelum berangkat menuju ke Mabes Polri Surabaya dan meledakkan diri mereka sendiri.
BACA JUGA: Pemilihan Sela 28 Juli Tentukan Nasib Koalisi dan Oposisi Australia
Ayu selamat dari ledakan itu dan sekarang menghadiri sekolah rahasia untuk anak-anak terorisme Indonesia.
"[Ayu] bahagia sekarang. Dia anak yang pintar," kata pekerja sosialnya, Sri Musfiah.
BACA JUGA: Surat Kabar Adelaide Minta Maaf Soal Kartun Kebakaran Yunani
"Dia bergabung dalam banyak kegiatan, dia punya banyak teman dan dia menyapa staf kami setiap kali dia melihat mereka." Photo: Ayu selamat dari serangan bom bunuh diri yang dilakukan orang tuanya di mabes Polri Surabaya, Jawa Timur, Indonesia. (ABC News: Phil Hemingway)
Itu adalah perubahan dramatis dibandingkan ketika Ayu pertama kali tiba di sekolah tersebut, dimana dia datang masih dalam kondisi dirawat lengannya yang patah akibat pemboman dan menyimpan aspirasi radikal yang ditanamkan oleh orang tuanya.
Pada hari orang tuanya meninggal, mereka tidak memberikan tanda-tanda perbuatan yang mereka rencanakan. Orang tua Ayu hanya memberi tahu bahwa mereka semua akan pergi untuk mengantarkan nasi uduk.
Ayu belum mengerti orang tuanya ingin membunuhnya juga.
Bahkan, dia berpikir ayahnya telah menyelamatkan ia dari ledakan itu.
"Ketika itu terjadi dia merasa bahwa dia didorong oleh ayahnya. Itu sebabnya dia terlempar dari sepeda," kata Sri.Sekolah dirahasiakan
Ayu adalah satu dari 11 anak yang menjalani deradikalisasi di sekolah ini.
Salah satu teman sekelasnya, seorang bocah berusia tujuh tahun, kehilangan ayahnya dalam aksi tembak-menembak dengan polisi kontra-terorisme.
Tiga siswa lainnya menjadi yatim piatu ketika sebuah bom yang dirakit ayahnya secara tidak sengaja diledakkan di apartemen mereka di Surabaya, pada hari yang sama markas polisi kota itu menjadi sasaran. Photo: Siswa di sekolah terorisme Indonesia dianggap korban dan identitas mereka dirahasiakan, bahkan dari rekan sekelas mereka. (ABC News: Phil Hemingway)
Di ruang kelas yang lain, seorang pembuat bom berusia 16 tahun dan seorang yang ingin menjadi pelaku bom bunuh diri, juga berusia 16 tahun, duduk di kelas yang sama dengan petarung jalanan, pencuri, dan pelacur anak-anak.
Anak-anak radikal dianggap sebagai korban di sekolah. Identitas mereka dirahasiakan, bahkan dari teman sekelas mereka.
"Mereka akan dilihat oleh anak-anak lain sebagai anak yang bermasalah," kata kepala fasilitas Neneng Haryani.
"Ini untuk memastikan keselamatan mereka ... anak-anak ini harus tumbuh seperti anak-anak lain, tidak berbeda."'Membangun kepercayaan'
Lokasi sekolah ini dirahasiakan. Beberapa penjaga yang menyamar berpatroli diperbatasan sekolah, dan jumlah penjaga ini akan ditingkatkan hingga puluhan jika terjadi sebuah insiden.
Sejauh ini 102 anak-anak yang dianggap radikal telah menuntut ilmu di sekolah ini. Sebagian besar dari mereka kini telah kembali ke komunitas mereka, setelah menjalani rehabilitasi.
"Yang paling penting di sini adalah proses membangun kepercayaan dengan mereka," kata Neneng.
"Dengan kepercayaan ini, mereka mulai membuka diri, menuangkan hati mereka dan mengungkapkan masalah mereka kepada pekerja sosial." Photo: Sejauh ini sebanyak 102 anak telah berhasil lulus dari sekilah ini dan kebanyakan sudah kembali ke masyarakat. (ABC News: Phil Hemingway)
Setelah kepercayaan terbentuk, anak-anak didorong untuk mendengarkan musik, bermain game dan berteman, kegiatan yang sering ditolak oleh keluarga mereka.
"Kami mengajarkan mereka fakta tentang Indonesia, yang terdiri dari banyak suku, banyak agama ... [dan itu] kami harus mentoleransi orang lain meskipun agama mereka. Kami tidak bisa memaksakan kehendak kami kepada orang lain," kata Sri. Photo: Siswa diajarkan untuk menerima budaya lain didalam masyarakat Indonesia. (ABC News: Phil Hemingway)
Neneng percaya bahwa fakta kalau kebanyakan para guru di sekolah ini adalah wanita merupakan sebuah kebetulan yang menguntungkan, karena anak-anak melihat mereka sebagai figur keibuan.
"Kita harus menciptakan suasana yang hidup. [Ajarkan mereka] untuk mencintai kehidupan dan pergi ke surga tidak berarti Anda harus bunuh diri," katanya.
Hanya dalam waktu dua bulan, program ini tampaknya bekerja untuk Ayu kecil dari Surabaya.
"Ketika dia ditanya [apa yang diinginkannya] pertama kalinya, dia bilang dia ingin menjadi seorang martir (pembom bunuh diri)," kata Sri.
"[Sekarang] dia ingin menjadi seorang guru."
Simak beritanya dalam Bahasa Inggris disini.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Di Myanmar, Gajah Pengangguran Akan Direhabilitasi