jpnn.com, JAKARTA - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengkhawatirkan dampak pembelajaran jarak jauh (PJJ) saat pandemi Covid-19 terhadap mental anak-anak.
Menurut Komisioner Bidang Pendidikan KPAI Retno Listyarti, anak-anak yang terisolasi dan harus mengikuti PJJ belajar dari rumah selama berbulan-bulan karena pandemi Covid-19 menghadapi risiko mental.
BACA JUGA: PJJ Memakan Korban: Laptop Rusak, Siswa SMA Tak Naik Kelas
Dampak yang muncul antara lain mengalami kejenuhan, penurunan minat belajar, terpapar konten negatif akibat aktivitas penggunaan internet yang sangat tinggi, serta naiknya risiko kesehatan anak akibat kegiatan yang minim.
"Pertama, anak rentan mengalami kecanduan gadget, internet serta eksploitasi seksual," ucap Retno dalam siaran persnya, Minggu (26/7).
BACA JUGA: Orang Tua Peduli Anak, Belajar dari Rumah jadi Menyenangkan
Selama PJJ, tutur Retno, anak-anak menghabiskan lebih banyak waktu di depan layar gadget untuk mengerjakan tugas dan mengakses internet. Menurutnya, teknologi informasi ibarat pisau bermata dua.
Teknologi informasi di satu sisi memudahkan komunikasi dan menghilangkan jarak. Damun di sisi lain kehadiran teknologi komunikasi juga memiliki ruang-ruang gelap yang menjadi tempat predator seksual, industri hoaks, dan pornografi.
BACA JUGA: Akui PJJ Kurang Efektif, Mendikbud Nadiem tak Akan Permanenkan
"Seiring dengan pemberlakuan pembatasan sosial akibat pandemi, ruang publik anak-anak nyaris tersedot habis ke dalam rimba raya virtual," kata Retno.
Lebih lanjut Retno mengatakan, dunia digital merupakan ruang publik yang bisa saja tidak aman dan tidak ramah bagi anak-anak. Sementara pada masa pandemi, anak-anak kerap memegang gadget untuk mengisi waktu luang setelah PJJ.
Oleh karena itu Retno menegaskan, anak-anak harus dijaga dari kemungkinan kejahatan di dunia maya seperti perundungan siber, kejahatan seksual dan penipuan. Perundungan yang biasa dilakukan di lingkungan sekolah pun kini berpindah ke dunia maya.
"Selama pandemi, KPAI menerima beberapa pengaduan cyberbullying oleh teman sekolah korban," ungkap mantan kepala SMAN 3 Jakarta itu.
Dampak berikutnya adalah anak rentan mengalami gangguan kesehatan karena penggunaan peralatan daring baik handphone, laptop maupun komputer pribadi (PC) yang berlebihan. Penyebab lainnya adalah kurangnya waktu istirahat demi mengerjakan tugas.
Retno juga mengkhawatirkan anak-anak rentan putus sekolah pada masa pandemi Covid-19. Menurut catatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), pada 2019 saja ada 157.166 anak putus sekolah di jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Nah, PJJ secara daring berpotensi membuat anak-anak miskin yang tidak bisa mengikuti pembelajaran daring terancam putus sekolah. “Anak-anak dari keluarga ekonomi menengah ke bawah tidak terlayani dalam PJJ karena kelompok ini tidak memiliki segala hal yang dibutuhkan," tukas Retno.
KPAI juga mengkhawatirkan efek lainnya adalah anak-anak menjadi rentan mengalami eksploitasi. Ketika anak-anak memilih berhenti sekolah akibat tidak memiliki akses untuk pembelajaran daring, maka banyak dari mereka yang akhirnya diminta orang tuanya bekerja atau menikah, sehingga angka pekerja anak dan perkawinan anak berpotensi meningkat.
"Menurut survei sosial ekonomi nasional tahun 2018, kondisi ekonomi menjadi alasan utama 50,1 persen anak tak melanjutkan pendidikan. Sebagian besar dari mereka harus bekerja guna membantu orang tua," jelasnya.
Dampak terakhir adalah anak menjadi rentan mengalami berbagai kekerasan. Retno menuturkan, anak yang orang tuanya kehilangan pekerjaan akibat krisis juga berisiko mengalami kekerasan.
Sebab, orang tua yang kehilangan pekerjaan akan mengalami kesulitan ekonomi, kecemasan dan emosi yang tidak stabil. Akibatnya, anak kerap kali menjadi sasaran pelampiasan ketertekanan orang tua.
"Para orang tua yang sedang mengalami tekanan psikologis akibat ekonomi keluarga berpotensi kuat tidak sabar dalam mendampingi anak-anaknya belajar dari rumah, sehingga anak-anak rentan mengalami kekerasan ketika PJJ," tambahnya.(fat/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam