jpnn.com, JAKARTA - Kebijakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) memakan korban. Itu setelah seorang siswa SMA tidak naik kelas lantaran tidak dibolehkan ikut ujian ulang.
"Kami mendapatkan aduan dari orang tua murid di SMA Negeri 2 Nganjuk, Jawa Timur. NS memiliki anak yang berinisial RVR, duduk di kelas X SMA Negeri 2 Nganjuk, Jawa Timur," kata Wakil Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim di Jakarta, Kamis (16/7).
BACA JUGA: Stafsus Wapres: Perguruan Tinggi Terbesar pun Salah Kaprah Terapkan PJJ
NS, lanjutnya, mengadukan perihal anaknya yang tidak naik kelas akibat proses PJJ.
Menurut dia, RVR tidak diberikan ujian PAT (Penilaian Akhir Tahun) susulan oleh gurunya. Alhasil, siswa malang tersebut memeroleh nilai 0 (kosong) untuk nilai PAT di lima mata pelajaran.
BACA JUGA: DPR Minta Kemendikbud Tinjau Semua Regulasi PJJ
"Akibatnya nilai akhir siswa di dalam rapor tidak mencapai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimum), sebagai prasyarat naik kelas. Adapun lima mata pelajaran tersebut adalah Pendidikan Agama; Pendidikan Jasmani; Seni Budaya; Sejarah Indonesia; dan Informatika," ungkap Satriwan.
Dia melanjutkan, dari informasi NS, anaknya tidak bisa mengikuti Ujian PAT kenaikan kelas sesuai dengan jadwal yang telah diatur pihak sekolah, karena persoalan laptop yang rusak.
BACA JUGA: Akui PJJ Kurang Efektif, Mendikbud Nadiem tak Akan Permanenkan
Ujian PAT dilaksanakan secara online (daring), sebab pembelajaran di SMA N 2 Nganjuk dilakukan secara online (PJJ daring) selama pandemi covid-19.
Ketika orang tua siswa mendatangi sekolah meminta PAT susulan bagi anaknya, pihak guru tidak memberikan. Menurut versi orang tua RVR, ketika mereka ingin sekali menghadap kepala sekolah, sang kepsek tidak mau bertemu.
"Bagi FSGI tindakan oknum guru dan kepala sekolah ini telah melanggar Pasal 5 huruf a, b, dan c Permendikbud No 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian. Sangat jelas tertulis jika prinsip penilaian oleh pendidik wajib dilakukan secara sahih, objektif, dan adil. Dalam kejadian ini oknum guru dan kepala sekolah telah berlaku tidak adil, diskriminatif, dan tak objektif," tegas Satriwan yang langsung menerima laporan dari orang tua korban.
Sekolah dalam hal ini guru dan kepala sekolah, sudah semestinya berlaku adil dan objektif, apalagi di tengah PJJ daring yang sudah lebih tiga bulan berjalan.
Banyak siswa yang mengalami kendala perangkat gawai dan laptop. Ada faktor kerusakan perangkat, keterbatasan kuota, masalah sinyal, dan hambatan teknis lainnya.
"Mestinya sekolah bersikap bijak, tidak berindak semaunya. Sebab sekolah adalah entitas pendidikan bukan perusahaan. Kepala Sekolah adalah guru yang seharusnya memberi teladan sebagai pemimpin, bukan pemilik perusahaan," tegas Satriwan. (esy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad