jpnn.com - Silang sengkarut Partai Demokrat kini memulai babak baru.
Tidak puas atas keputusan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) yang menolak mengesahkan AD/ART Partai Demokrat versi Kongres Luar Biasa (KLB) Deli Serdang atau acap disebut juga Partai Demokrat versi Moeldoko, kini kubu tersebut kembali menempuh jalur hukum.
BACA JUGA: Demokrat Kubu Moeldoko: Semua Akan Diborong Oleh SBY
Empat mantan kader Partai Demokrat (mantan Ketua DPC Ngawi Muhammad Isnaini Widodo, mantan Ketua DPC Bantul Nur Rakhmat Juli Purwanto, mantan Ketua DPC Tegal Ayu Palaretin, dan mantan Ketua DPC Samosir Binsar Trisakti Sinaga) mengajukan permohonan uji materiel/judicial review AD/ART Partai Demokrat hasil Kongres 15 Maret 2020 di Jakarta ke Mahkamah Agung melalui kuasa hukumnya Prof. Yusril Ihza Mahendra.
Menarik memang mengikuti sepak terjang kubu KLB Demokrat ini yang tak pernah kehabisan akal dan napas untuk memperjuangkan haknya terlebih lagi dengan menggandeng Prof Yusril sebagai kuasa hukumnya, yang dikenal sebagai advokat dan ahli hukum tata negara terkenal.
BACA JUGA: Partai Demokrat Kubu Moeldoko Solid, Tepis Tudingan Anak Buah AHY
Subjek Dan Objek Uji Materiel Oleh Mahmakah Agung
Selain mengadili pada tingkat kasasi dan peninjauan kembali dalam sengketa dalam lingkup pengadilan di bawahnya, Mahkamah Agung juga berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Dalam hierarki peraturan perundang- undangan, peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang adalah Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
BACA JUGA: Anak Buah AHY Sadar Enggak, Meragukan Intelektualitas Yusril Sama dengan Menyerang SBY?
Tidak hanya itu saja, turunan baik ke bawah atau ke sampaing terhadap peraturan perundang-undangan baik karena perintah peraturan di atasnya atau karena kewenangannya juga merupakan peraturan seperti peraturan menteri, badan/lembaga dan lainnya (lihat Pasal 8 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pementukan Peraturan Perundang-undangan), sehingga dapat dijadikan objek uji materi Mahkamah Agung sepanjang peraturan perundangan-undangan tersebut di bawah Undang-Undang.
Berkaitan dengan subjek uji materi Pasal 1 ayat (4) PERMA No. 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiel (Perma HUM) menjelaskan subjek pemohon adalah berupa perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang, atau badan hukum publik atau badan hukum privat.
Sedangkan subjek termohon dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (5) Perma HUM adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan perundangan-undangan yang dipersoalkan, seperti presiden untuk Peraturan Presiden dan Peraturan Pemerintah, Kepala Daerah dan DPRD untuk PERDA, dan sebagainya.
Jika dilihat pada subjek pemohon, empat mantan kader Partai Demokrat memiliki legal standing sebagai pihak pemohon uji materiel karena merupakan warga negara Indonesia, kemudian dilihat dari subjek termohon dalam hal ini Kemenkumham yang juga merupakan salah satu subjek termohon sebagaimana dalam Pasal 1 ayat (5) Perma HUM.
Sehingga dari sisi subjek hukum permohonan uji materiel empat orang mantan kader Partai Demokrat terpenuhi.
Kemudian sebagaimana diketahui objek hukum yang dijadikan dasar permohonan uji materiel mantan Partai Demokrat adalah AD/ART Partai Demokrat, hal ini tentu harus dibahas lebih dalam. Pertanyaan hukumnya adalah apakah AD/ART merupakan produk hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan?
Dalam satu keterangannya di media, Prof. Yusril menyampaikan AD/ART dapat dipersamakan atau quasi dengan peraturan menteri atau dirjen karena diterbitkan atas perintah peraturan perundang-undagan di atasnya yang mana AD/ART yang juga sifatnya aturan yang berlaku bagi anggota Partai Demokrat (masyarakat) dan AD/ART juga perintah/delegasi dari Undang-Undang Partai Politik, maka dapat dikategorikan objek uji materi oleh Mahkamah Agung.
Ini logika yang menurut saya tidak tepat apabila dipandang dari sudut logika hukum. Menganalogikan peraturan menteri dan dirjen dengan aturan dalam AD/ART merupakan sesat pikir atau memaksakan kehendak. Dari sisi pembuatannya misalnya peraturan menteri atau dirjen dibuat oleh pejabat publik atau penyelenggara negara berbeda dengan AD/ART yang dibuat berdasarkan kesepakatan-kesepakatan anggotanya, dari sisi keberlakuannya peraturan Menteri dan dirjen berlaku umum kepada seluruh masyarakat, sedangkan AD/ART berlaku hanya kepada anggota saja.
Sesat logika itu juga apabila dipaksakan maka akan berimplikasi luas pada keberlakukan hukum privat di negeri ini, karena secara fundamental setiap kesepakatan-kesepakatan privat adalah pasti sifatnya mengatur bagi para pihak yang membuatnya, sehingga dapatlah dikatakan sebagai peraturan perundang-undangan juga dan memang sesuai Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Namun, apakah para pihak yang tidak setuju dari substansi dalam kesepakatan yang telah dituangkan dalam perjanjian tersebut menjadi objek uji materiel oleh Mahkamah Agung? Jawabnya tidak karena sebuah perjanjian atas suatu kesepakatan adalah ranah privat warga negara yang sengketa atas lahirnya perjanjian tersebut hanya dapat diadili oleh Pengadilan Negeri atau badan alternatif penyelesaian sengketa sesuai kesepakatan para pihak.
Kemudian berkaitan dengan SK yang diterbitkan oleh Kemenkumham apakah dapat disebut sebuah keputusan atau peraturan sebagaimana dimaksud Pasal 7 dan 8 UU Pembentutakan Peratutan Perundang-Undangan.
Dalam doktrin hukum tata negara dan administrasi negara suatu keputusan-keputusan dari organ negara dikenal dengan istilah beschikking dan regeling. Keputusan-keputusan yang bersifat bersifat individual dan konkret dapat merupakan keputusan yang bersifat atau berisi penetapan administratif disebut beschikking, sedangkan keputusan umum dan abstrak (general and abstract) biasanya bersifat mengatur disebut regeling.
Bila berkaca pada doktrin tersebut, maka jelas SK Menkumham yang isinya tidak ada satu pun hal-hal yang bersifat mengatur atau sekalipun ada hal yang mengatur hanya berlaku kepada Partai Demokrat sebagai badan hukum privat, dalam artian tidak berlaku luas bagi warga negara, bahkan SK tersebut juga tidak berlaku kepada individu-individu dari anggota Partai Demokrat itu sendiri.
Tanpa mendahului putusan hakim Mahkamah Agung atas pengujian materil AD/ART Partai Demokrat yang teregister dalam perkara Nomor 39 P/HUM/2021 tertanggal 14 September 2021 dan setiap sengketa dalam pengadilan tentu harus dihormati.
Namun, tak salah apabila dalam pandangan hukum saya berdasarkan kedudukan subjek dan objek hukum sebagaimana diuraikan di atas serta tanpa keberpihakan dari pihak mana pun saya menyatakan uji materi AD/ART Partai Demokrat oleh empat orang mantan kader Partai Demokrat yang diwakili oleh Prof. Yusril Ihza Mahendara tidak memenuhi syarat formal untuk diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Agung.
Penyelesaian Sengketa SK Kemenkumhan dan AD/ART Partai Demokrat
Tak berniat untuk menggurui, tetapi di akhir tulisan ini saya mencoba memberikan saran dan masukan kepada pihak-pihak yang terlibat atau anggota parpol lain yang mungkin juga akan mengalami hal serupa dengan Partai Demokrat.
Sebagai praktisi hukum menurut saya terdapat dua jalur penyelesaian sengketa yang paling mungkin dapat menyelesaikan kemelut Partai Demokrat berkaitan dengan keberatan anggota atau mantan anggota partai terhadap SK Kemenkmuham dan/atau AD/ART partai, yakni;
Pertama, apabila yang hendak dipermasalahkan adalah SK yang diterbitkan oleh Kemenkumham yang merupakan suatu keputusan yang bersifat individual dan konkret kepada partai politik, maka sesuai dengan doktrin beschikking harus diselesaikan melalui PTUN dan diketahui bahwa kubu KLB Partai Demokrat telah mengajukan gugatan tersebut di PTUN DKI Jakarta yang saat ini sedang dalam proses pemeriksaan.
Kedua apabila yang hendak diselesaikan adalah substansi dari AD/ART Demokrat, yang diketahui AD/ART Partai Demokrat dan partai lainnya merupakan produk dari kesepakatan-kesepakatan anggota partai pada saat musyawarah, maka bagi pihak-pihak yang menilai AD/ART bertentangan dengan Undang-Undang dan/atau pihak-pihak yang merasa dirugikan atas keberlakuan AD/ART dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri. (*)
Penulis adalah pemerhati kebijakan publik dan advokat pada kantor hukum Lazuardi Hasibuan & Partners
Redaktur & Reporter : Adek