jpnn.com, JAKARTA - Hingga saat ini para pakar dan pengamat masih memperdebatkan tinggi rendahnya Nilai Tukar Petani (NTP) sebagai cermin tingkat kesejahteraan petani. Pada tanggal 1 Agustus 2017, Badan Pusat Statistik (BPS) kembali merilis data NTP dan Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP).
NTP bulan Juli 2017 sebesar 100,65 atau meningkat 0,12 persen dibandingkan Juni 2017. Sdangkan NTUP Juli 2017 adalah 109,75 atau meningkat 0,15 persen dari bulan Juni 2017.
BACA JUGA: Muhaimin: Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman Kerjanya Bagus
Anggota Masyarakat Agribisnis dan Agroindustri Indonesia (MAI) Sidi Asmono menjelaskan, NTP di atas 100 berarti petani lebih sejahtera karena ada surplus dari rasio indeks harga yang diterima petani (IT) lebih tinggi dari indeks harga yang dibayarkan(IB). Demikian pula sebaliknya. Parameter NTP sebenarnya hanya menggambarkan kemampuan daya beli petani dan tidak menggambarkan kesejahteraan petani.
"Sampai saat ini masih ada anggapan kurang tepat bahwa apabila angka NTP bulan ini lebih tinggi dari bulan sebelumnya, berarti petani bulan ini lebih sejahtera dari sebelumnya. Padahal diketahui pertanian bersifat musiman, sehingga seiring perubahan antar waktu akan terjadi fluktuasi IB dan IT sebagai fenomena bulanan saja, artinya sulit memastikan kesejahteraan petani yang berubah sesuai angka NTP bulanan tersebut," ujarnya di Jakarta, Minggu (6/8/2017).
BACA JUGA: Tenang, Stok Beras di Musim Paceklik, Aman
Sidi menegaskan, mengukur kesejahteraan petani itu tidak bisa disederhanakan dengan mengacu parameter NTP. Sebab, NTP merupakan rasio IB dengan IT.
Karena itu, NTP lebih tepat untuk mengukur kemampuan daya beli petani dari perubahan perilaku indeks harga. "Semakin tinggi nilai NTP, dapat dikatakan daya beli petani semakin baik, namun belum tentu menggambarkan sejahtera. Hal ini karena NTP hanya membandingkan indeks dengan kondisi tahun dasar. Secara periodek lima tahunan, dilakukan penyesuaian tahun dasar NTP sama dengan 100," tegasnya.
BACA JUGA: Panen Raya Di Ciparay, Mentan Juga Serahkan Bantuan Alsintan
Perlu diketahui, perilaku NTP tidak lepas dari faktor penyusunnya yaitu pergerakan nilai dari komponen IT dan IB. Untuk menggambarkan IB dapat dilihat dari laju pertumbuhan tertinggi untuk konsumsi rumah tangga pada Januari-Juni 2017 berasal dari pengeluaran perumahan sebesar 0,7 persen dibandingkan periode sama 2016 dan pengeluaran sandang 0,5 persen, pengeluaran makanan jadi 0,66 persen dan biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal (BPPBM).
"Laju kenaikan upah buruh tani merupakan yang tertinggi yaitu mencapai 0,37 persen setiap bulannya," sebut Sidi.
Menurut Sidi, ada satu keunggulan NTP, yaitu angka IB sebenarnya menggambarkan perubahan indeks harga seluruh pengeluaran petani baik untuk keperluan belanja faktor produksi, pangan, sandang, papan dan lainnya sehingga dijadikan sebagai ukuran inflasi di pedesaan.
Selanjutnya apabila angka IB dipersempit hanya untuk pengeluaran faktor produksi untuk bertani, maka rasio IT dengan IB disebut NTUP. Yaitu rasio indeks harga yang diterima petani dibandingkan dengan indek harga yang dibayarkan petani untuk proses produksinya.
"Hal inilah yang menyebabkan walaupun NTP nasional sejak Januari hingga Juni 2017 selalu di atas 100, namun NTP tanaman pangan masih di bawah 100. Hal ini karena indeks harga yang dibayarkan petani tanaman pangan untuk seluruh pengeluaran rumah tangganya lebih tinggi dari pada indeks harga yang diterima dari usaha taninya," paparnya.
Sidi menilai terjadinya hal itu disebabkan inflasi terutama di pedesaan yang berdampak kepada daya beli ke petani tanaman pangan. Namun demikian, bila dilihat kemampuan usahatani petani tanaman pangan, terbukti feasible dan masih surplus nilai NTUP di atas 100.
Skor NTUP tanaman pangan selama enam bulan terakhir rerata 103,54, dan NTUP bulan Juni 2017 sebesar 104,38 lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya dan lebih tinggi dari rerata enam bulan terakhir.
"NTUP baik untuk tanaman pangan, hortikultura, perkebunan rakyat dan peternakan selalu di atas 100 artinya surplus yaitu indek harga yang diterima petani lebih tinggi dibandingkan indek harga yang dibayarkan petani untuk usahataninya," terangnya.
Sementara peneliti di Suropati Syndicate Alhe Laitte berpendapat, terdapat kelemahan parameter NTP untuk mengukur tingkat kesejahteraan. Beberapa hasil kajian menyatakan penggunaan asumsi tingkat produksi yang tetap (indeks Laspeyres) dalam NTP dinilai kurang relevan.
Pasalnya, dengan kuantitas tetap menunjukkan NTP belum mempertimbangkan kemajuan produktivitas pertanian, kemajuan teknologi dan pembangunan. "NTP lebih tepat untuk mengukur daya beli petani, sedangkan ukuran kesejahteraan petani, tidak hanya terbatas daya petani, melainkan mencakup aspek lain yang lebih luas," sebutnya.
Alhe mengungkapkan, ada satu fenomena menarik untuk disimak. Menurutnya, melihat struktur tata niaga pangan saat ini, ternyata kenaikan harga di petani tidak identik dengan peningkatan pendapatan petani secara langsung.
Posisi tawar petani yang lemah sebagai price taker, kalaupun ada kenaikan harga biasanya tidak serta-merta mereka nikmati. Bisa juga kenaikan harga terjadi akibat kurang pasokan atau akibat struktur dan perilaku pasar tidak bersaing sempurna.
"Dalam hal ini peningkatan NTP identik dengan kenaikan harga produsen dengan proporsi yang lebih tinggi dari harga konsumen. Pada kondisi demikian maka NTP yang konstan dinilai lebih baik, karena pada NTP yang konstan berarti perubahan IT secara proporsional sama dengan perubahan IB," jelasnya.
Alhe menegaskan, karena kelemahan NTP tersebut maka untuk melihat kemampuan usaha tani agar menggunakan parameter NTUP. Parameter NTP perlu disempurnakan sehingga dapat lebih mendekati ukuran kesejahteraan, misal melalui menghitung Indeks Produksi dan Harga.
Yaitu dengan memasukkan unsur kuantitas dalam penghitungan NTP, sehingga NTP merupakan rasio antara nilai pendapatan terhadap nilai pengeluaran. Dengan memasukkan unsur kuantitas maka perhitungan NTP menjadi lebih kompleks.
"Dengan cara baru ini, maka indeks NTP baru merupakan rasio antara nilai penerimaan petani terhadap nilai pengeluarannya," ujar Alhe.
Bila metode NTP Baru belum siap disajikan, maka solusinya adalah melalui parameter yang telah ada selama ini. Mengingat sebagian besar petani berada di pedesaan dan sebaliknya mata pencaharian penduduk di desa adalah petani, maka disarankan menggunakan parameter Tingkat Kemiskinan dan Gini Rasio di perdesaan saja.
Kelebihan kedua parameter ini adalah definisi dan metodologinya sudah baku dan diterima para pihak. Masyarakat juga sudah familier dan paham dengan metode itu.
Bahkan, datanya sudah tersedia lengkap. "Jadi apabila data kemiskinan menunjukkan turun, berarti terjadi peningkatan kesejahteraannya, demikian juga sebaliknya," pungkas Alhe.(adv/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mentan Amran Sulaiman Bakal Saksikan Panen Raya di Ciparay
Redaktur & Reporter : Antoni