Mengurai Tiga Isu Utama Disabilitas

Oleh: Kikin Purnawirawan Tarigan Sibero

Senin, 01 Februari 2021 – 20:35 WIB
Wakil Ketua DPP Serikat Rakyat Indonesia (SERINDO) sekaligus Mantan Ketua Presidium Pengurus Pusat PMKRI, Kikin Purnawirawan Tarigan Sibero. Foto: Dokpri

jpnn.com - Pemberitaan seputar momen Peringatan Hari Disabilitas tahun 2019 dan tahun 2020 di dua media online patut mendapat perhatian.

Pemberitaan tersebut hampir senada. Pertama, berita berjudul “3 Isu yang Harus Jadi Perhatian di Hari Disabilitas Internasional 2009“ yang mengutip pernyataan Gufroni Sakaril, Ketua Umum Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (dimuat 3 Desember 2009).

BACA JUGA: Covid-19 Mengamuk di Panti Anak-anak Penyandang Disabilitas Jakbar

Kedua, berita dengan judul “Hari Disabilitas Internasional: 3 Isu Disabilitas Paling Utama di Indonesia“. Berita ini mengutip pernyataan Lestari Moerdijat, Wakil Ketua MPR RI (dimuat pada 23 Desember 2020).

Kedua berita dan tokoh nasional tersebut, menyampaikan 3 (tiga) isu utama Disabilitas di Indonesia. Pertama persoalan pendataan, Kedua, persoalan stigma dan diskriminasi dan Ketiga menyoal kelayakan pendidikan dan lapangan pekerjaan.

BACA JUGA: Kemensos Perluas Akses Penyandang Disabilitas terhadap Dunia Kerja Lewat Program Penjangkauan

Tanpa bermaksud mengkritisi kedua berita tersebut, namun setidaknya terpapar secara jelas ketiga permasalahan ini adalah masalah akut yang belum terselesaikan. Namun setidaknya uraian-uraian berikut akan menunjukkan tantangan besar di depan mata yang harus dihadapi bersama.

Data Base Penyandang Disabilitas

BACA JUGA: Kemensos Berupaya Tingkatkan Partisipasi Kerja Penyandang Disabilitas di Sektor Formal

Pembangunan Data Nasional Penyandang Disabilitas, diamanatkan oleh UU No 8 Tahun 2016 dalam Pasal 22 dan Pasal 117 – 121.

Dalam Pasal 22 diuraikan Hak Pendataan Penyandang Disabilitas yang meliputi hak didata sebagai penduduk dengan disabilitas dalam kegiatan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil, hak mendapatkan dokumen dan hak mendapatkan Kartu Penyandang Disabilitas. Sedang di dalam Pasal 117 – 121, diurai tegas bagaimana Pendataan dilakukan terhadap penyandang disabilitas.

UU No 23 Tahun 2006 (sebagaimana diubah dalam UU 24 Tahun 2013) telah mengatur secara khusus tentang single identity, yang berbasis pada NIK (Nomor Induk Kependudukan).

NIK merupakan data dasar kependudukan yang diatur dalam Formulir F-1.01 (Formulir Biodata Penduduk) sebagai sumber dasar pendataan. Selanjutnya formulir ini wajib dilakukan perubahan jika terjadi peristiwa kependudukan (datang, pindah perubahan setiap status dalam data kependudukan) dan peristiwa pencatatan sipil (lahir, mati, nikah, cerai, dll) serta yang terkait lain di dalamnya.

Formulir ini merupakan data dasar dibentuknya data kependudukan. Dalam lampirannya, pada kolom 28 dan kolom 29 memberikan ruang pencatatan tentang disabilatas, yakni pertanyaan kelainan fisik dan mental serta penyandang cacat. Ini merupakan data dasar dan pertama dalam pencatatan tentang penduduk.

Dengan menerapkan stelsel aktif, diharapkan penduduk mau memberikan keterangan sebenar-benarnya data keluarga serta data pribadi kependudukan dan pencatatan sipil serta data vital lainnya.

Jadi sebenarnya, kita memiliki kesempatan pertama melakukan input data apa saja. Secara khusus data disabilitas saat dilakukan pengisian Formulir F1.01, atau manakala terjadi perubahan peristiwa kependudukan dan pencatatan sipil lainnya.

Persoalannya, tidak semua hal terkait disabilitas teridentifikasi secara dini, bisa saja disabilitas terjadi pada waktu-waktu berikutnya. Misalnya, disabilitas yang diakibatkan peristiwa kecelakaan atau peristiwa medis lainnya.

Untuk itu, perlu adanya sinkronisasi dan keterpaduan data (khususnya data disabilitas), antar kementerian/lembaga terkait, secara khusus Kementerian Sosial, Badan Pusat Statistik serta Kementerian Dalam Negeri juga Kementerian Kesehatan mempunyai harus duduk bersama mengatasi persoalan database Penyandang Disabilitas.

Mengingat kita menganut pada sistem data tunggal yang berbasis pada NIK, maka diperlukan koneksi sistem antar lembaga yang bisa melakukan pemutakhiran data sewaktu-waktu, tanpa mengurangi prinsip kerahasiaan data serta kewenangan dari masing-masing Kementerian/Lembaga.

Sehingga hal yang pernah disoroti, Menteri Sosial RI, Tri Rismaharini juga menyoroti program data pembangunan di segala lini kehidupan akan menjadi tepat guna, tepat sasaran, akuntabel dan transparan dapat terwujud.

Pada saat yang sama terbangunnya Data Nasional Penyandang Disabilitas ini akan sangat menentukan kualitas dalam penghormatan, perlindungan serta pemenuhan hak disabilitas itu sendiri.

Cegah Stigma dan Diskriminasi

Permasalahan kedua yang sering disoroti adalah, adanya stigma dan diskriminasi yang dialami penyandang disabilitas.

Jika merujuk angka penyandang disabilitas sebesar 21 juta atau 8,56% dari total penduduk, tetapi sebenarnya ini hanya puncak dari bongkah gunung es. Dari segi terdampaknya maka angka ini bisa menjadi lebih dari beberapa kali lipat.

Pihak pertama yang mengalami stigma sudah tentu adalah kedua orang tuanya, secara langsung. Tidak jarang justru kaum perempuan mendapatkan tekanan yang lebih besar, baik dari keluarga terdekat maupun  masyarakat sekitarnya.

Advokasi yang terlambat kepada pihak pertama ini sudah tentu mempengaruhi mindset dan cara penanganan yang tepat sejak dini. Penghargaan yang berupa penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak disabilitas pertama kali harus dirasakan oleh keluarga pendamping.

Keluarga yang dapat menerima kondisi ini dengan terbuka dan optimis atas segala situasinya lah yang mampu memberikan terapi psikologis kepada penyandang disabilitas, bahkan mampu melihatnya dari sisi yang lain, bahwa penyandang disabilitas adalah orang yang dianugerahi  kemampuan berbeda (difable).

Negara dan masyarakat pertama kali harus mampu memberikan penghargaan yang tinggi kepada keluarga penyandang disabilitas.

Selain penghargaan, pemahaman tentang adanya fakta disabilitas, hendaknya dimulai sejak terbangunnya basis keluarga.

Sebagai contoh dalam masyarakat Katolik, pemahaman ini harus ditanamkan saat dilaksanakan kursus perkawinan. Pelbagai situasi dan kondisi ini harus dipahami oleh setiap pasangan yang akan menikah agar memiliki pemahaman dan persepsi yang terbuka dan optimis melihat disabilitas.

Tentu hal ini dapat dilakukan pada kelompok masyarakat apa saja. Bahkan sedini mungkin pandangan yang tepat atas disabilitas dapat ditanamkan sejak pendidikan dasar di sekolah.

Diharapkan hal ini makin memberikan pandangan dan pengharagaan yang semestinya kepada penyandang disabilitas.

Setelah kedua orang tua dan keluarga inti, pada kenyataannya masyarakat juga bisa menjadi terdampak langsung dari situasi ini. Alokasi ruang, anggaran, fasilitas dan partisipasi yang beririsan dengan kepentingan masyarakat yang juga belum memadai sejatinya diselaraskan berdampingan sebagai kebutuhan bersama.

Pemahaman dan persepsi yang tepat atas penyandang disabilitas sebagai keberagaman umat manusia, akan menjadi batu penjuru yang tepat dalam penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas.

Selain itu, pada tingkatan paling awal aksesbilitas yang terbatas dan tidak memadai, sangat berdampak pada keluarga pendamping disabilitas.

Diketahui bersama, pada tingkat awal baik penyandang maupun keluarganya sedang memulai suatu pola baru kehidupan, untuk itu ketersediaan yang memadai sangat membantu berlangsungnya setiap kegiatan secara baik dan tepat.

Penghargaan yang tepat kepada keluarga penyandang disabilitas, sangat mempengaruhi pemasukan dan pemutakhiran data disablitas yang akurat agar dapat dijadikan data pembangunan (sektoral disabilitas) yang terencana, tepat guna dan tepat sasaran.

Dorong Akses yang Inklusif

Dalam kemampuan yang berbeda, para penyandang disabilitas justru memiliki ketajaman yang khas yang kerap tidak dimiliki non disabilitas. 

Pengarahan ketajaman sejak dini adalah cara paling tepat yang harus diikuti dengan berbagai perlakuan khusus meski tanpa harus dieksklusifkan. Layaknya peminatan, pengembangan ketajaman khusus ini adalah bagian dari sistem pendidikan yang umum.

Tentu dalam beberapa keragaman disabilitas tidak dengan mudah memberikan pengarahan secara khusus, apalagi jika terjadi dalam persekolahan umum, namun memandang hal ini sebagai hak dan kewajiban para pihak maka cara pandangnya harus diarahkan pada pemenuhan kebutuhan bersama.

Pengarahan sejak dini serta pemahaman sejak dini pada setiap peserta didik diharapkan membangun cara pandang yang tepat terhadap disabilitas. Baik kepada penyandang disabilitas maupun nondisabilitas, pada saat sekarang dan kelak di masa mendatang.

Pada situasi ini nantinya, maka masalah akses ketenagakerjaan penyandang disabilitas dengan sendirinya tersalurkan secara alami seturut ketajaman dan keahliannya yang khas.

Komisi Nasional Disabilitas Memulai dari yang Ada

Tiga hal di atas adalah tantangan nyata yang secara nyata dipaparkan di depan mata, layaknya kaledioskop yang tidak ter-update, seolah tidak ada perkembangan yang dilakukan para pihak.

Padahal sudah pasti para pihak melakukan sepenuh hati dan semaksimal daya upaya. Kehadiran Komisi Nasional Disabilitas adalah suplemen baru agar para pihak semakin menyadari pentingnya masalah ini diselesaikan.

Jika kita tarik fondasinya mulai dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, maka fakta disablitas adalah kewajaran yang perlu mendapat penghormatan, perlindungan dan pemenuhan sebagai pengakuan atas martabat manusia yang sama dan tidak boleh dicabut.

Selanjutnya seturut dengan hal tersebut berbagai ketentuan internasional lainnya yang terkait baik secara langsung sebagai turunan maupun ketentuan khsusus yang termaktub dalam Convention on the rights of Person with Disabilities (CRPD), yang telah diratifikasi, hingga kemudian melahirkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016.

Selanjutnya menurunkan PP Nomor 68 Tahun 2020, maka upaya serius Negara dan para pihak lainnya layak diapresiasi. Perjuangan keras ini memberikan sinyal yang kuat keinginan mewujudkan ekosistem yang memadai bagi penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas.

Lebih jauh, dalam operasionalnya mengingat tugas pemantauan, advokasi dan evaluasi melingkupi lintas kementerian/lembaga, baik tingkat pusat hingga ke kabupaten/kota, maka tata kelola organisasinya perlu secara terbuka menerima berbagai masukan yang berkembang baik untuk diterapkan pada saatnya nanti, maupun sebagai sebuah gagasan perubahan ke arah yang lebih baik.

Kemitraan KND dengan Pemerintah serta Pemerintah Daerah sangat perlu diperkuat oleh sistem yang mampu bekerja secara maksimal.

Relasi yang baik dengan para pengambil kebijakan terkait tugas KND, perlu dibangun secara kritis dan harmonis.  Demikian pula, relasi dengan pelbagai jejaring non government yang terlibat di isu disabilitas, perlu diakomodasi dan dicermati dalam kerangka strategis menuju perbaikan yang lebih memadai.

Tidak kalah penting, adalah pelibatan masyarakat secara umum dan khususnya keluarga penyandang disabilitas adalah pintu masuk yang paling penting didengar.

Pelibatan keluarga secara khas dalam tugas pemantauan, advokasi dan evaluasi dalam penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas akan menjadi starting point yang baik dalam tugas bersama sebagai umat manusia yang sederajat dan bermartabat.

Semuanya ini, semoga mampu mengurai Tiga Isu Utama Disabilitas, sehingga dalam akhir tahun mendatang, kita sudah mendengar hal terbaik dari perkembangan isu ini. Kehadiran Komisi Nasional Disabilitas, diharapkan mampu ikut serta di dalam mengurai Tiga Isu Utama tadi.(***)

Penulis adalah Wakil Ketua DPP Serikat Rakyat Indonesia (SERINDO) sekaligus Mantan Ketua Presidium Pengurus Pusat PMKRI.


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler