Menikah dengan Teroris atau Dapat Misi Bunuh Diri?

Minggu, 05 November 2017 – 09:54 WIB
Ilustrasi. Foto: from bbc

jpnn.com, ABUJA - Konflik selalu melahirkan penderitaan. Dan, perempuan sering menjadi yang paling merana. Entah itu berhadapan dengan Boko Haram di Nigeria, ISIS di Irak, atau militer arogan di Myanmar.

’’Nama saya Romina Lozano. Saya mewakili Provinsi Callaomy dan ukuran saya, sekitar 3.114 perempuan menjadi korban penyelundupan manusia hingga 2014,” kata Lozano saat memperkenalkan dirinya sebagai kontestan Miss Peru di hadapan dewan juri Minggu (29/10) lalu.

BACA JUGA: Baku Tembak di Gunung, 2 Teroris Diterjang Peluru Densus 88

Kontestan yang lain pun memperkenalkan diri mereka dengan cara sama. Saat seharusnya menyebutkan ukuran dada dan pinggang pada sesi perkenalan, mereka justru melaporkan angka kekerasan terhadap perempuan. Jenis kekerasannya berbeda-beda. Angkanya juga bervariasi. Sebagian sudah familier dengan publik. Di antaranya, kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan seksual.

Bukan tanpa alasan jika penyelenggara Miss Peru menyelipkan misi mulia itu. Jessica Newton, salah seorang panitia, menyatakan bahwa tema Miss Peru kali ini memang peduli kepada penderitaan perempuan. Padahal, fenomena tersebut sangat nyata dan bisa dengan mudah ditemui di lingkungan tempat tinggal para kontestan.

BACA JUGA: Densus Bekuk Teroris yang Ingin Bunuh Gubernur Yasin Limpo

’’Banyak yang masih belum tahu dan tidak peduli kepada hal tersebut. Saya rasa, kontes kecantikan ini menjadi panggung yang tepat untuk menggugah kesadaran masyarakat,’’ ujar Newton.

Tidak hanya di Peru, menurut dia, kekerasan terhadap perempuan juga marak terjadi di belahan bumi yang lain. Di negara lain yang berjarak sekitar 9.479 kilometer dari Peru, Aisha dan rekan-rekannya yang masih remaja menjadi contoh nyata penderitaan yang disebut Lozano dan para kontestan lainnya di panggung.

BACA JUGA: Teroris Las Vegas Keturunan Bandit Psikopat

Bocah perempuan 15 tahun itu sedang kabur dari kekacauan yang terjadi di rumahnya di Nigeria saat Boko Haram menangkapnya. Bersama sang ayah dan adik lelakinya, Aisha disandera. ’’Mereka langsung menembak mati ayah saya. Saat itu juga mereka memasangkan bom pada tubuh adik saya yang berumur sepuluh tahun,’’ ujarnya.

Sang adik dibawa oleh dua orang militan Boko Haram dengan menggunakan sepeda motor. Tidak lama, dua orang tersebut kembali tanpa adik Aisha. Mereka tertawa lebar sambil mengatakan bahwa misi pengeboman mereka sukses.

Tubuh Aisha bergetar. Nyalinya langsung ciut. Dia tahu, gilirannya segera tiba. Tetapi, tidak hari itu. Dia masih diberi kesempatan untuk hidup. Dia tinggal sebagai sandera Boko Haram di kamp milisi. Tidak lama memang. Sebab, bagi seorang gadis seperti Aisha, Boko Haram punya aturan baku.

Dikawini atau hidupnya diakhiri. Caranya, dikirim ke area musuh sebagai pelaku bom bunuh diri. ’’Mereka menanyai saya, ’Kamu memilih untuk kami tiduri atau menjalankan misi dari kami?’’’ kata Aisha.

Remaja yang minta agar nama aslinya dirahasiakan itu jelas tidak mau begitu saja menyerahkan kehormatannya kepada Boko Haram. Karena itu, meskipun tahu pilihannya tidak tepat, dia tetap memilih menjalankan misi sebagai pelaku bom bunuh diri. Menjadi budak seks Boko Haram, bagi Aisha, lebih hina jika dibandingkan dengan mati.

Saat harinya tiba, Aisha tidak bisa menyembunyikan rasa takutnya. Ketika Boko Haram memasangkan sabuk bom bunuh diri di pinggang kecilnya dan lantas menutupi peledak itu dengan menggunakan hijab panjang, wajah Aisha langsung pucat. Aisha diminta untuk berbaur di keramaian, kemudian menekan alat pemicu.

Aisha tidak mau menjadi pencabut nyawa orang-orang yang tidak berdosa hanya karena Boko Haram memerintahkannya. Dia pun lantas mengubah rute. Semula dia terpikir untuk berjalan ke tempat sepi dan meledakkan diri agar tidak ada orang lain yang tewas bersamanya. Saat hendak menjalankan misi pribadinya itu, Aisha melihat ada beberapa tentara di sekitarnya. Dia lantas mendekati mereka.

’’Adik saya meledakkan diri di tempat ini dan membuat teman-teman kalian terbunuh. Dia hanya menjalankan perintah. Dia tidak tahu apa-apa. Tetapi, saya tidak mau seperti itu. Tolonglah, saya. Lepaskan bom dari tubuh saya ini,’’ katanya.

Sambil memohon, Aisha menangis. Dia berusaha meyakinkan para serdadu itu bahwa dirinya bukan pembunuh dan juga tidak mau meledakkan diri di sana. Dia ketakutan.

Entah air mata, suara, atau ketulusan hati Aisha yang membuat para tentara itu akhirnya luluh. Mereka mendekati Aisha dan dengan sangat hati-hati melepaskan peledak dari tubuh bocah perempuan tersebut. Setelah itu, Aisha diamankan di barak militer sebelum dikirim ke Unicef untuk mengusir trauma.

Dia beruntung. Sebab, biasanya serdadu-serdadu Nigeria itu akan langsung menembak gadis berkerudung panjang seperti Aisha. Sebab, gadis muda berkerudung panjang identik dengan pelaku bom bunuh diri. (newyorktimes/theguardian/hep/c4/any)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tampak Tajir dan Ramah, Ternyata Teroris Brutal


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler