jpnn.com - Presiden Joko Widodo telah mengundangkan Perppu Nomor 1 tahun 2020, meskipun belum ada persetujuan DPR, peraturan itu tetap berlaku.
Makin kuat kedudukan hukumnya bila DPR memberikan persetujuan. Lain ceritanya bila DPR tidak menyetujui, maka otomatis peraturan tersebut tidak berlaku lagi.
BACA JUGA: Pemerintah Terbitkan Surat Utang, Hergun: Jangan Berlindung di Balik Corona
Poin penting dalam Perppu Nomor 1 tahun 2020 yakni melebarkan defisit APBN lebih dari 3 persen Produk Domestik Bruto (PDB) hingga tahun 2022.
Semula, melalui Penjelasan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003, ditentukan defisit APBN tidak melebihi 3 persen (PDB).
BACA JUGA: Keras, Amien Rais Kritik Pemerintahan Jokowi, Kali Ini soal Utang
Pelebaran defisit APBN yang dibuat pemerintah sebagai jurus untuk mengatasi beberapa hal, di antaranya menurunnya penerimaan negara akibat kegiatan ekonomi global slowing down, dan kebutuhan belanja penanganan covid 19 dan dampak sosial ekonominya yang tinggi.
Menkeu telah menjelaskan dalam teleconference dengan Badan Anggaran DPR RI bahwa proyeksi defisit APBN 2020 sebesar 5,07 persen PDB atau setara Rp 853 triliun, dengan asumsi penerimaan negara turun dari semula di patok Rp 2.233,2 triliun menjadi Rp 1.760,9 triliun dan belanja negara semula Rp 2.540,4 triliun menjadi Rp 2.613,8 triliun.
BACA JUGA: Pengakuan Pasien Positif Corona Pertama di NTT, Ternyata Sempat Singgah di Jakarta dan Bali
Belanja negara makin membesar dari kondisi normal, sebab selain untuk mitigasi dan pembiayaan yang besar, skenario belanja pemeritah tersebut digunakan untuk menopang pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah telah membuat skenario pertumbuhan PDB sebesar 2,3 persen pada tahun 2020. Belanja pemerintah sebesar Rp 2.613 triliun diharapkan menopang pertumbuhan PDB, dengan kontribusi 6,8 persen, dengan asumsi worst scenario pertumbuhan ekspor-impor minus hingga dua digit, ekspor minus 11,7 persen dan impor minus 13,7 persen.
Balik soal defisit, jika dibandingkan rencana awal, defisit APBN dipatok 1,76 persen PDB setara Rp 307,2 triliun PDB, berarti pemerintah membutuhkan tambahan pembiayaan Rp 545,8 triliun.
Bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga, defisit APBN kita jauh lebih rendah. Pada tahun 2018, defisit anggaran Malaysia 7 persen, Filipina 6 persen, dan Vietnam 5 persen dari PDB mereka masing-masing.
Namun lonjakan defisit kita dengan tambahan pembiayaan Rp 545,8 triliun tentang sangat besar dan memang tidak mudah memenuhinya dalam situasi seluruh negara butuh pembiayaan, termasuk pelaku pelaku bisnis.
Lantas bagaimana pemerintah bisa memenuhi target pembiayaan itu?
Menteri Keuangan telah menjelaskan kepada DPR, beberapa kebijakan untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan. Pembiayaan akan dipenuhi dari program pinjaman (utang) melalui penjualan Surat Berharga Negara (SBN) dan program non utang dengan menggunakan beberapa anggaran “endowment fund", Sisa Anggaran Lebih (SAL), sumber-sumber dana yang dikelola oleh Badan Layanan Umum (BLU) dan pengurangan penyertaan modal negara pada BUMN.
IMF, No Way
Dalam situasi sulit ini memang tidak terhindarkan bagi pemerintah untuk tidak utang sebagai usaha menambal pembiayaan. Dan, saya sangat memahami, kebijakan ini mudah sekali digoreng menjadi isu politik.
Padahal urusannya sederhana, sepanjang utangnya termitigasi dengan baik, memberikan napas panjang bagi pemerintah dan risiko rendah, apalagi untuk menopang keberlanjutan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi tentu tidak menjadi soal.
Kenapa isu utang ini bisa menjadi gorengan politik? Sebagian kita tentu masih inggat 22 tahun silam, saat Michel Camdessus, Direktur IMF menyilangkan tangan berdiri congkak di depan Presiden Soeharto yang menunduk menandatangani Letter of Intens (LoI) dengan IMF pada 15 Januari 1998.
Dan sejak saat itu Indonesia masuk perangkap pemulihan ekonomi dalam skenario IMF, sebab pinjaman 43 miliar USD tidak cuma-cuma, tak ada makan siang gratis, pinjaman disertai dengan berbagai syarat yang mengatur kedaulatan ekonomi negara.
Ada banyak investasi dan laporan media, melalui skenario IMF inilah justru membawa kehancuran ekonomi Indonesia lebih dalam.
Salah satunya laporan New York Times berjudul 'American with Cure All Enlivens Jakarta Crisis' yang ditulis Seth Mydans mengungkapkan pusaran krisis ekonomi Indonesia bukan diawali tumpukan utang pemerintah dan pihak swasta, tetapi justru saat kehadiran IMF.
“Kami menciptakan kondisi yang mengharuskan Presiden Soeharto untuk meninggalkan kekuasaannya,” ungkap Camdessus dalam laporan tersebut.
Pengalaman berurusan dengan IMF menjadi pil pahit bagi Indonesia, harganya sangat mahal. Hingga kini kita masih mengangsur Surat Utang melalui Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp 70 triliun.
BLBI ini sebagai konsekuensi pemerintah menuruti IMF untuk menutup 16 bank tanpa persiapan, akibatnya terjadi rush dana publik. IMF merekomendasikan pengucuran Rp 147 triliun (kala itu) kepada 48 bank berupa bailout. Celakanya, oleh sebagian pemilik bank, dana itu di rampok.
Saya sangat berharap pemerintah lebih berhati-hati, tidak mengulangi berbagai skema pinjaman luar negeri dengan berbagai risiko yang membuat kondisi bangsa dan negara makin sulit.
Bulan lalu saya sudah mendengar bahwa pemerintah telah menerima kucuran pinjaman dari Bank Dunia sebesar 300 juta USD setara Rp 4,5 triliun untuk sektor keuangan. Semoga pinjaman itu tidak disertai berbagai syarat yang mengatur-atur kebijakan negara yang berdaulat.
Mitigasi Utang
Data Kementerian Keuangan pada Februari 2020 utang pemerintah naik. Utang pemerintah naik Rp 130,63 triliun atau menjadi Rp 4.948,18 triliun per Februari 2020 dari bulan sebelumnya yang sebesar Rp 4.817,55 triliun atau setara 30,4 persen PDB.
Sesuai ketentuan Undang-Undang No 17 tahun 2003 tentang keuangan negara, ketentuan maksimal utang pemerintah sebesar 60 persen dari PDB. Maka, kondisi terkini, rasio utang pemerintah masih pada level aman jika semata melihat pertimbangan kuantitas.
Jika dibandingkan dengan negara negara di ASEAN, rasio utang Indonesia relatif lebih rendah. Pada tahun 2018, rasio utang Malaysia terhadap PDB nya sebesar 55,6 persen, Singapura 113,6 persen, Filipina sebesar 38,9 persen, negara negara emerging market dan developing economies rata rata 50,6 persen dan negara ekonomi maju rata rata sebesar 102 persen.
Akibat kebutuhan pembiayaan utang pada tahun 2020, pemerintah setidaknya harus memperoleh dari penjualan SBN sebesar Rp 436,8 triliun, dengan asumsi program non utang mendapat alokasi Rp 108,9 triliun.
Jikalaupun memakai skenario pemerintah yang akan menargetkan hasil dari utang mendapatkan dana sebesar Rp 654,5 triliun, maka sepanjang tahun 2020 utang kita akan naik menjadi Rp 5.526,05 triliun, dengan asumsi data utang per Januari 2020 atau setara 34,97 persen PDB.
Tingginya target penambahan utang oleh pemerintah tidak mudah untuk dijalankan. Dalam situasi ekonomi slowing down pemerintah harus memperhitungkan daya serap pasar, khususnya pasar keuangan dalam negeri.
Risikonya SBN harus dikonversi dalam bentuk valas agar bisa mengambil market internasional. Padahal situasi ke depan proyeksinya nilai tukar masih dalam keadaan volatile. Mitigasinya pemerintah harus punya stok valas yang besar dari hasil nilai tukar yang murah pada saat pembayaran. Untuk itu, pemerintah harus melakukan kebijakan penyelarasan dengan Bank Indonesia.
Terakhir, pemerintah harus memastikan berbagai mitigasi risiko tata kelola utang secara komprehensif. Meski secara kuantitas jumlah utang pemerintah masih jauh dari batas ketentuan perundang-undangan, namun risiko sekecil apapun harus terkelola dengan baik, khususnya saat SBN mayoritas dikuasai oleh investor luar negeri.(***)
Redaktur & Reporter : Friederich