jpnn.com - DALAM negara hukum, kedudukan penguasa dengan rakyat di mata hukum adalah sama dan sederajat (equality before the law).
Yang membedakan hanyalah fungsinya. Pemerintah atau penguasa berfungsi mengatur, sedangkan rakyat adalah pihak yang diatur. Baik yang mengatur maupun yang diatur memiliki satu pedoman yang sama, yaitu peraturan perundang-undangan.
BACA JUGA: Politisi PSI Dwi Joko Sebut Pemprov DKI Tak Bergigi dalam Inovasi & Penegakan Hukum
Sayangnya, sistem peradilan pidana di Indonesia ditengarai telah lama menjadi industri hukum.
Hal itu sebagaimana diungkapkan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dalam Forum ILC pada 11 Februari 2020 lalu.
BACA JUGA: Didatangi KPK, Kemnaker Pastikan Kooperatif Terhadap Penegakan Hukum di Indonesia
Dalam kenyataannya, masih ditemukan praktik penyimpangan dalam penegakan hukum.
Padahal telah ada lembaga penegak hukum, dari KPK sebagai badan antikorupsi, di samping Kejaksaan Agung dan Bareskrim Mabes Polri.
BACA JUGA: Koalisi Masyarakat Sipil Soroti Penegakan Hukum di Kasus Mayor Dedi Hasibuan
Belajar dari negara maju yang indeks korupsinya sangat rendah, dapat dicatat, Negara Denmark selain Inggris yang patut diteladani dalam hal penegakan hukum.
Denmark, menurut laporan Global Transparency International tahun 2021, menduduki peringkat pertama dalam pemberantasan korupsi dengan nilai indeks 88 dari nilai acuan 100.
Di Denmark, lembaga antikorupsi tidak dipimpin polisi atau pejabat antikorupsi melainkan lembaga Ombudsman dan oditur negara yang terintegrasi langsung dengan pemerintah.
Ombudsman tidak bisa berjalan dengan baik dan optimal bila penegak hukumnya juga tidak baik.
Ombudsman Denmark didirikan pada tahun 1955 sebagai lembaga independen, yang merupakan sarana kepentingan publik yang berporos pada pemerhati transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi pemerintahan serta memiliki tanggung jawab sebagai pengawas, penasihat, dan penyidik terhadap pejabat yang melakukan penyalahgunaan kekuasaan.
Kebijakan transparansi di bawah skema keterbukaan yang dilakukan sejak tahun 2009 menjadi upaya pengawasan efektif dalam memantau perilaku para pejabat.
Politisi di Denmark menjadi panutan masyarakat dengan gaya hidup sederhana seperti bekerja dengan mengendarai sepeda ontel dan jas dengan harga murah.
Parlemen Denmark mempunyai komitmen tinggi dalam pemberantasan korupsi. Bandingkan dengan Indonesia!
Demikian juga Inggris, dengan sistem hukum yang kuat dengan peraturan yang sangat ketat dan mekanisme penegakan hukum yang efektif sangat berperan dalam pencegahan dan penindakan korupsi.
Inggris, serupa Denmark, mempunyai (1) lembaga pengawasan independen dalam penindakan dan pencegahan, (2) lembaga tersebut berwenang memeriksa pelanggaran etika pejabat pemerintah.
Kemudian (3) adanya budaya antikorupsi dimana digalakkan pentingnya akuntabilitas dan integritas. Budaya ini dapat mengurangi toleransi dalam perbuatan korupsi.
Dan, (4) media yang bebas dan independen yang dapat menjadi pengawas serta dinamisator dan stabilisator dalam transparansi dan akuntabilitas.
Kedua negara tersebut memiliki sistem yang kuat, tranparan dan akuntabel, ditangani oleh pihak yang benar benar independen.
Bagaimana dengan Indonesia, yang sudah memiliki lembaga Ombudsman, KPK, Kejaksaan Agung dan Bareskrim Polri, tetapi struktur hukum tersebut belum bisa menekan korupsi?
Malah tidak jarang terjadi peradilan yang aneh, perdata dijadikan pidana, kepentingan politik dibawa ke ranah hukum, mengaminkan ucapan Menko Polhukam di atas.
Apabila saat ini penegak hukum lebih berorientasi pada kepentingan untung rugi (dagang), keadaan ini mirip dengan tontonan atas peradilan di Amerika, sebagaimana dikatakan William T. Pizzi, pakar hukum Amerika dalam pembelaannya yang sangat fenomenal: Trial Without Trust (peradilan sesat).
Dengan kondisi saat ini, ada beberapa hal menjadi pemicu kondisi tersebut antara lain karena Sistem.
Indonesia mempunyai sistem yang sangat menunjang terjadinya korupsi. Salah satunya adalah sistem pemilu langsung untuk pemilihan kepala daerah baik gubernur, walikota/bupati, maupun presiden.
Sistem Pemilu Langsung dengan biaya/cost yang begitu tinggi sehingga antara modal dengan pendapatan sangat tidak berimbang, meskipun ada upaya untuk melakukan pencegahan korupsi.
Hal ini seperti lingkaran setan yang tidak mungkin dicegah oleh penegak hukum, maka tidak heran banyak kasus kepala daerah terjerat korupsi.
Kedua, budaya. Korupsi sulit diubah karena kondisi ekonomi yang diakibatkan sistem yang membuat kesejahteraan tidak merata, sehingga yang kaya makin kaya, yang miskin tetap saja miskin.
Fakta ini bertentangan dengan cita-cita Proklamasi dan esensi Kontitusi kita.
Ketiga, Peraturan perundang-undangan yang kadang ambivalen/tidak tegas, baik tujuan pencegahan maupun dalam penindakan. Contohnya Pasal 4 UU Tipikor yang berbunyi: "Pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara tidak menghapus dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan 3."
Konsekuensi bunyi pasal tersebut membuat para tindak pidana korupsi cenderung memilih pasang badan ketimbang menyerahkan kerugian baik berupa gratifikasi maupun hasil korupsinya.
Hal ini merintangai upaya pengembalian kerugian negara. Lain halnya apabila pasal tersebut berbunyi, “Apabila pelaku tindak pidana korupsi telah mengembalikan kerugian negara atau perekonomian negara, maka dapat dipertimbangkan dan/atau tidak akan dituntut pidana.”
Begitu pula sebaliknya, “Apabila ternyata terbukti tidak mau mengembalikan kerugian negara dan atau perekonomian negara, pelaku akan dijatuhi pidana maksimal beserta denda disertai perampasan seluruh aset yang ada."
Maka, perlu kemauan bersama untuk memperbaiki baik dari segi sistem, mental maupun politik, dari pemegang kebijakan, baik pemerintah, DPR, maupun para penegak hukum.
Dengan rendahnya tingkat korupsi tentu akan bermanfaat bagi seluruh masyarakat dan negara untuk kesejahteraan bersama.(antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari