Menimbang Belt and Road Initiative: Proyek Progresif atau Beban Ekonomi?

Oleh Putri Rakhmadhani Nur Rimbawati*

Jumat, 12 Juli 2024 – 06:00 WIB
Research fellow di ASEAN Studies Center, Universitas Gadjah Mada (UGM) Putri Rakhmadhani Nur Rimbawati. Foto: dokumentasi pribadi. Ilustrator: Sultan Amanda/JPNN.com

jpnn.com - Ketika Belt and Road Initiative atau BRI yang diprakarsai Tiongkok menjadi sorotan global, banyak perdebatan dan kontroversi mengenai dampak sebenarnya dari program ambisius tersebut.

Buku The Reality and Myth of BRI’s Debt Trap, Evidences from Asia and Africa yang disunting oleh Nian Peng dan Ming Yu Cheng dan diterbitkan oleh Springer Nature pada tahun 2024 pun menjadi upaya penting untuk menyibak tabir beragam narasi yang melingkupi BRI, terutama terkait dengan hal yang disebut sebagai "jebakan utang".

BACA JUGA: Kebijakan Satu Peta Memberikan Manfaat yang Baik untuk Sektor Ekonomi

Menariknya, bagi Indonesia, buku itu menawarkan wawasan berharga untuk merespons dinamika yang terus berkembang dalam politik domestik dan posisi internasionalnya.

Pendekatan Menyeluruh Melalui Studi Kasus

BACA JUGA: Dongkrak Ekonomi Lokal, LPPM Universitas Terbuka Berdayakan Masyarakat Desa Muara

Buku tersebut disusun dengan hati-hati, menggabungkan berbagai studi kasus dari Asia dan Afrika, yang menjadi wilayah utama penerima proyek BRI.

Dengan pendekatan akademis yang mendalam, buku itu mencoba memberikan gambaran komprehensif mengenai dampak BRI terhadap negara-negara penerima.

BACA JUGA: Sekjen Kemnaker Anwar Sanusi Tertarik Pelajari Pengelolaan SDM di Tiongkok

Setiap bab ditulis oleh pakar yang memiliki kredensial akademik dan pengalaman lapangan, menawarkan analisis yang tajam dan berbasis data.

Salah satu kekuatan buku itu adalah diversitas perspektif yang ditawarkan oleh para kontributornya.

Alih-alih hanya mengandalkan analisis makroekonomi dari sudut pandang Tiongkok atau negara-negara Barat, buku itu juga mengangkat suara-suara dari negara yang terlibat secara langsung dalam program ini.

Narasi yang mungkin tak terjangkau oleh media mainstream serta kebijakan formal pemerintah berusaha dihadirkan di sini dengan tujuan memberikan pemahaman yang lebih objektif.

Mengurai Jebakan atau Peluang?

Salah satu bagian paling menarik dari buku itu adalah analisis kritis terhadap tuduhan bahwa BRI menciptakan jebakan utang bagi negara-negara penerima.

buku itu mematahkan beberapa klaim ini dengan memaparkan data empiris yang menunjukkan bahwa tidak semua negara yang terlibat dalam proyek ini mengalami krisis utang.

Beberapa bab memberikan contoh konkret bagaimana negara-negara seperti Pakistan dan Kenya dapat meraih manfaat besar dari proyek infrastruktur yang dibiayai oleh BRI, meningkatkan konektivitas dan memanfaatkan modal asing untuk mempercepat pembangunan domestik.

Namun, penulis juga tidak mengesampingkan fakta bahwa ada risiko signifikan yang terlibat.

Melalui analisis yang teliti, buku itu menunjukkan kondisi keuangan beberapa negara yang memang memburuk setelah menerima dana besar dari BRI.

Hal ini membuka diskusi mengenai tanggung jawab kedua belah pihak – pemberi dan penerima pinjaman – dalam mengelola proyek-proyek besar dengan cermat dan transparan.

Propaganda atau Realitas Kebijakan Geopolitik?

Selain aspek ekonomi, buku itu juga menarik dalam mengupas agenda geopolitik yang mungkin tersembunyi di balik BRI.

Beberapa esai di dalamnya mengkaji apakah BRI adalah alat Tiongkok untuk memperluas pengaruh geopolitik dan ekonomi di Asia dan Afrika.

Analisis ini membahas implikasi strategis seperti permintaan Tiongkok untuk kendali atas infrastruktur penting, yang bisa menimbulkan kekhawatiran mengenai kedaulatan negara-negara yang berpartisipasi.

Meski begitu, buku itu tidak jatuh dalam jebakan simplifikasi yang sering terjadi dalam perdebatan geopolitik.

Melalui argumentasi yang terstruktur baik, pengedit menyajikan pandangan bahwa BRI juga bisa dilihat sebagai upaya Tiongkok untuk membuka jalur perdagangan baru yang akan memberikan keuntungan bagi seluruh pihak yang terlibat, bukan hanya Tiongkok.

BRI dan Infrastruktur Indonesia: Peluang atau Jebakan?

Indonesia adalah salah satu negara yang mendapat perhatian besar dalam inisiatif BRI. Dengan posisi strategisnya di Asia Tenggara dan kebutuhan mendesak akan pembangunan infrastruktur, Indonesia telah menjadi mitra penting bagi Tiongkok.

Proyek-proyek besar seperti Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang dibiayai oleh BRI adalah contoh nyata dari keterlibatan Indonesia dalam program ini.

Buku "The Reality and Myth of BRI’s Debt Trap" memberikan perspektif penting mengenai dampak ekonomi dari proyek-proyek semacam ini.

Melalui studi kasus di Asia dan Afrika, buku itu mengeksplorasi bagaimana beberapa negara telah berhasil memanfaatkan investasi BRI untuk mendukung pertumbuhan ekonomi mereka, sementara yang lain terjebak dalam kesulitan utang.

Indonesia saat ini berada di persimpangan jalan. Banyak yang khawatir bahwa Indonesia dapat menghadapi risiko serupa dengan negara-negara yang terjebak dalam utang besar kepada Tiongkok.

Namun, para editor buku, Nian Peng dan Ming Yu Cheng, menunjukkan bahwa dengan manajemen yang tepat dan kebijakan fiskal yang hati-hati, risiko tersebut dapat diminimalkan.

Hal ini memberikan pelajaran penting bagi pembuat kebijakan di Indonesia dalam mengelola proyek-proyek besar yang didanai oleh BRI.

Kedaulatan Nasional dan Kekhawatiran Geopolitik

Selain aspek ekonomi, buku itu juga membahas implikasi geopolitik dari BRI, yang relevan dengan kondisi politik di Indonesia.

Indonesia telah lama berusaha mempertahankan kebijakan luar negeri yang bebas aktif, yakni kebijakan yang tidak memihak salah satu kekuatan besar dunia. Namun, keterlibatan dalam BRI menimbulkan dilema baru.

buku itu menyoroti bagaimana beberapa negara merasa bahwa proyek-proyek BRI membawa Tiongkok lebih dekat pada kendali atas infrastruktur penting di negara-negara penerima.

Dalam konteks Indonesia, ini dapat mempengaruhi kedaulatan nasional dan mengubah peta politik domestik.

Beberapa kritikus dalam negeri mungkin melihat keterlibatan BRI sebagai ancaman terhadap kemandirian Indonesia dalam mengelola sumber daya strategisnya.

Namun, buku "The Reality and Myth of BRI’s Debt Trap" juga menyoroti bahwa tidak semua proyek BRI membawa konsekuensi negatif.

Ada contoh negara yang berhasil mempertahankan kedaulatan mereka sekaligus mendapatkan manfaat dari investasi Tiongkok.

Oleh karena itu, para pembuat kebijakan Indonesia harus cerdik dalam bernegosiasi dan memahami kerangka kerja yang paling menguntungkan bagi negara tanpa mengorbankan kedaulatan nasional.

Dinamika Politik Domestik: Debat dan Ketidakpastian

Dalam lingkup politik domestik, proyek-proyek BRI telah menjadi topik perdebatan yang sengit.

Pemerintah Indonesia, yang terus berusaha meningkatkan infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, memandang BRI sebagai kesempatan berharga. Namun, oposisi politik sering memanfaatkan isu ini untuk menggambarkan risiko potensial dan potensi kerugian yang mungkin terjadi di masa depan.

buku itu sangat relevan dalam konteks ini karena memberikan data empiris dan analisis yang dapat membantu menginformasikan debat publik di Indonesia.

Dengan memahami pengalaman negara-negara lain, baik yang sukses maupun yang gagal, para politisi dan pembuat kebijakan dapat membuat keputusan yang lebih berdasar pada fakta daripada retorika politik.

Selain itu, buku itu juga mengajak pembaca untuk mempertimbangkan aspek transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana BRI.

Masalah korupsi dan mismanajemen sering mencuat dalam proyek-proyek besar di Indonesia, dan tanpa upaya yang kuat untuk memastikan praktik tata kelola yang baik, risiko inefisiensi dan kebocoran dana bisa meningkat.

Rekomendasi Kebijakan untuk Indonesia

Dari wawasan yang disajikan dalam buku "The Reality and Myth of BRI’s Debt Trap", beberapa rekomendasi kebijakan penting bisa diambil oleh Indonesia.

Pertama, penguatan kerangka hukum dan regulasi untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap proyek yang didanai oleh BRI sangat krusial.

Pembentukan badan independen yang dapat mengawasi pelaksanaan proyek dan mengaudit penggunaan dana bisa menjadi langkah awal yang bermanfaat.

Kedua, pemerintah perlu menerapkan kebijakan yang memitigasi risiko utang. Kesepakatan utang harus dinegosiasikan dengan hati-hati, dengan mempertimbangkan keberlanjutan fiskal jangka panjang.

Alternatif pembiayaan dan diversifikasi sumber investasi juga perlu dipertimbangkan untuk mengurangi ketergantungan pada satu negara atau investor.

Ketiga, Indonesia harus memastikan bahwa setiap proyek BRI sesuai dengan prioritas pembangunan nasional dan memberikan manfaat nyata bagi rakyat. Proyek-proyek infrastruktur harus dirancang dan diimplementasikan dengan mempertimbangkan kebutuhan lokal dan dampak sosial-ekonomi.

Pendekatan partisipatif yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan termasuk masyarakat lokal, dunia akademis, dan sektor swasta sangat penting untuk keberhasilan jangka panjang.

Buku "The Reality and Myth of BRI’s Debt Trap, Evidences from Asia and Africa" memberikan analisis yang mendalam tentang inisiatif BRI dari berbagai sudut pandang, yang sangat relevan dengan kondisi politik di Indonesia.

Melalui pemahaman yang lebih baik tentang manfaat dan risiko dari pengalaman negara lain, Indonesia dapat lebih siap menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang dari proyek-proyek BRI.

Sudah sepatutnya masyarakat Indonesia tidak hanya menerima narasi yang populer, tetapi juga untuk melihat lebih dalam dengan memanfaatkan data empiris dan analisis yang teliti, berpikir lebih kritis dan lebih nyaring dalam memahami dinamika global yang melibatkan salah satu inisiatif pembangunan infrastruktur terbesar di dunia saat ini.

buku itu menjadi bacaan cerdas bagi politisi, pembuat kebijakan, akademisi, dan mengajak siapa saja yang peduli dengan masa depan pembangunan Indonesia dalam konteks global yang semakin terhubung.

Dengan kekayaan data dan analisis yang disajikan, buku itu membantu meluruskan beberapa miskonsepsi dan menyediakan landasan yang lebih baik untuk diskusi yang konstruktif di masa depan.(***)

*Penulis adalah research fellow di ASEAN Studies Center, Universitas Gadjah Mada (UGM), sekaligus praktisi media dan komunikasi


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler