LEBARAN tiba lagi dan kita kembali saling menyampaikan kata maaf, sesuatu yang rutin setahun sekali. Sebagian orang bisa makan enak dan tersenyum riang seolah-olah dunia baru saja diciptakan, sebagian yang lain tak bisa merayakan Lebaran secara ’’layak”.
--------------------
A.S. Laksana
--------------------
Dalam urusan maaf-memaafkan, paling simpel orang akan mengirimkan pesan singkat: ’’Kosong kosong, ya.’’ Dan pesan itu akan dibalas: ’’Ya, saya juga kosong-kosong.’’
Sungguh menyenangkan jika maaf-memaafkan adalah urusan yang sesederhana ’’kosong-kosong’’ itu. Masalahnya, sering kita sulit meredam kemarahan dan, Anda tahu, tidak mudah memberikan kata maaf saat dada kita disesaki oleh amarah.
BACA JUGA: Ini Tips Aman Belanja Online ala Julie Estelle
Kita akan menjadi seperti gadis kecil yang tidak tahu apa yang harus dilakukan selain marah saat melihat tindakan anak-anak lelaki sebayanya merusak apa yang dia sukai.
Dia, gadis kecil itu, sedang duduk-duduk di kebun, menikmati bunga-bunga mekar, dan bercakap-cakap dengan lelaki tua penjaga kebun tersebut. Beberapa anak lelaki tiba-tiba merangsek ke kebun mengejar layang-layang putus.
BACA JUGA: Nostalgia dengan Gurihnya Soto
Mata mereka tidak bisa melihat apa pun selain layang-layang yang sedang mereka perebutkan, kaki-kaki mereka menerjang dan menginjak-injak beberapa tanaman bunga di kebun itu.
Penjaga kebun memandangi tanamannya yang rusak. Gadis kecil memandangi berganti-ganti wajah orang tua itu dan tanaman yang rusak.
BACA JUGA: Mengemudi Jarak Jauh, Tubuh Harus Rileks Tiap Dua Jam
’’Aku benci anak-anak itu,’’ katanya.
Si orang tua tampak menegang sejenak, kemudian kembali tenang.
’’Kau mencium harum bunga?’’ tanyanya kepada si gadis.
’’Ya,’’ kata si gadis. ’’Mereka jahat sekali telah menghancurkannya. Dan mereka tidak mendapatkan apa-apa selain kerusakan.’’
’’Maafkanlah mereka.’’
’’Aku marah pada mereka.”
Layang-layang yang diperebutkan itu koyak-moyak oleh jarahan semua tangan.
Itu cerita yang saya karang asal-asalan pada suatu malam ketika menemani anak saya tidur dan dia meminta saya mendongeng. Hanya cerita sekenanya. Dia sedang punya masalah dengan temannya dan seharian marah-marah menyalahkan teman yang membuatnya jengkel. Kepadanya saya katakan, ’’Maafkanlah temanmu.’’ Dan dia menjawab, ’’Tidak mau.’’
Saya mengatakan itu sebagai tindakan normatif orang tua terhadap anak. Sebab, tidak mungkin saya mengatakan, ’’Jangan pernah memaafkan dia.’’ Saya akan tampak seperti ayah yang gila jika menyampaikan hal itu meskipun Anda tahu bahwa memaafkan memang tak segampang anjuran normatif orang tua terhadap anak.
Mahatma Gandhi, lelaki kurus dari India yang menggentarkan kolonialisme Inggris, mengatakan, ’’Orang-orang lemah tak pernah bisa memaafkan. Tindakan itu hanya milik orang-orang yang kuat.’’
Gandhi membuktikan kebenaran kalimatnya itu melalui setiap tindakan dan pilihan sikapnya untuk melakukan perlawanan tanpa kekerasan terhadap pemerintahan kolonial yang memperlakukannya sangat buruk. Contoh yang lebih dekat dengan zaman kita adalah Nelson Mandela, pemimpin perlawanan pada sebuah negeri yang dibelah oleh perbedaan warna kulit.
Dia harus mendekam di dalam penjara pemerintahan Apartheid Afirika Selatan selama 27 tahun dan mengalami pelbagai penyiksaan oleh rezim yang memerintah dengan nalar sempit.
Pada 1990, tidak lama setelah dia dibebaskan dari penjara, Mandela menyampaikan, ’’Amarah dan kekerasan tidak pernah bisa digunakan untuk membangun sebuah negara. Kami sedang berupaya melakukan sesuatu demi mendapatkan hasil terbaik, yang akan memastikan bahwa rakyat kami, baik hitam maupun putih, muncul sebagai pemenang.’’
Saya bersyukur bahwa di sepanjang sejarah kehidupan selalu tersedia teladan, yang darinya kita bisa belajar bagaimana melepaskan diri dari semangat massa dan bagaimana mengembangkan cara berpikir yang lebih sehat.
Sebagian di antara mereka adalah figur-figur besar dalam sejarah. Sebagian lagi adalah figur orang kebanyakan, seperti tetangga-tetangga kita di kampung, seperti juga Janice, perempuan kulit hitam AS yang kehilangan anak lelakinya dan bertarung mati-matian untuk memaafkan salah seorang yang terlibat dalam pembunuhan anaknya, Kevin.
Malam itu, Juni 2003, lima pemuda tanggung, sekitar enam belasan tahun, mendatangi dua pemuda sebaya mereka, Kevin dan sepupunya, malam itu sedang menunggu kereta setelah pesta bubar. Salah seorang mengarahkan moncong pistol dan menarik pelatuknya ke arah Kevin. Peluru menembus lehernya dan membuatnya lumpuh. Kevin meninggal tiga tahun kemudian. Sepupunya terhantam peluru pada rahang dan beruntung bahwa akhirnya dia bisa sembuh.
Michael tidak mengenal Kevin maupun sepupunya dan tidak melakukan apa-apa dalam penyerangan itu. Tetapi, bagaimanapun, dia bagian dari kelompok lima pemuda yang melakukan penembakan.
Di persidangan, ibunda Michael memeluk dan meminta maaf kepada Janice atas apa yang dilakukan anaknya dan kawan-kawan terhadap Kevin dan sepupunya. Michael melakukan hal yang sama. Empat temannya yang lain hanya memandangi adegan itu dan tidak melakukan apa-apa.
’’Saya melihat Michael dari keluarga baik-baik dan dia memiliki sifat pemalu dan senyum yang sama dengan Kevin,’’ kata Janice. ’’Jika mereka sempat bertemu sebelum kejadian itu, saya yakin mereka akan menjadi sahabat karib.’’
Tentang Kevin, Philadelphia’s City Paper menulis laporan yang bagus bahwa setelah kejadian itu, dia tidak marah. Sehari-hari Kevin hanya berbaring atau duduk di kursi roda. Tetapi, dia tetap pemuda yang ramah dan gampang tersenyum. Kadang dia juga menangis, hanya pada waktu malam ketika yang lain-lain tertidur sehingga tidak membuat mereka gelisah.
Dia membiarkan saja air matanya mengalir dan tidak pernah mengusapnya. Dia biarkan saja air mata itu mengering sendiri. Dia hanya mencoba memfokuskan pikirannya kepada hal-hal yang membahagiakan sebelum tidur.
’’Hanya dengan itu saya bisa mendapatkan mimpi indah,’’ katanya. Paling sering Kevin memikirkan perasaan gembira yang muncul saat dia bermain basket.
Tiga tahun setelah itu, Michael menjalani kerja sosial sebelum pembebasan dan kesempatan itu dia gunakan untuk berkunjung ke rumah Janice. Mereka bercakap-cakap di teras rumah pada mulanya, lalu Michael menemui Kevin di kursi rodanya. Hari itu mereka bermain PlayStation bersama: Michael menekan tombol-tombol, Kevin memandu.
Sepulang dari rumah Janice, di tengah perjalanan Michael terlibat masalah dan dia kembali harus mendekam di balik jeruji. Kevin meninggal beberapa bulan kemudian karena alat pernapasannya tidak bekerja, Janice bercerai dan lantas pindah rumah setelah menikah lagi. Di dalam penjara, Michael kehilangan kabar tentang mereka.
Dia dan Janice baru bisa bertemu lagi delapan tahun kemudian. Michael, si pemalu yang selalu berjalan menunduk, akhirnya mendapat kabar tentang Janice dan mereka membuat janji untuk bertemu. Dia menunduk saat mereka bertemu dan dia tidak tahu saat itu bahwa Kevin sudah meninggal.
’’Apa kabar?’’ tanya Janice.
’’Aku gugup sekali,’’ kata Michael. Dia mengangkat muka sejenak dan menunduk lagi.
Janice merentangkan tangannya lebar-lebar dan memeluknya kuat-kuat, kemudian mereka bercakap-cakap di teras rumah. Michael menceritakan bahwa adik lelakinya, 22 tahun, meninggal ditembak orang dan dia tak yakin akan sanggup memaafkan pelaku penembakan itu seperti Kevin dan Janice memaafkannya.
’’Kevin yang memulai semua,’’ kata Janice. ’’Dia ingin saya memaafkan. Ketika dia meninggal, saya sungguh ingin mengamuk lagi, tetapi itu sulit sekali. Saya sudah tidak memiliki kemarahan lagi di dalam hati saya.’’
Michael jujur dengan dirinya. Karena itu, dia memilih pergi jauh-jauh dari kampungnya dan hidup bersama pasangan dan ketiga anak mereka. Dalam kasus ini, Anda tahu bahwa memaafkan memang tidak segampang berkirim pesan singkat: ’’Kosong-kosong, ya.’’
Kita mengangguk setuju terhadap ucapan Mahatma Gandhi bahwa memberikan maaf hanya bisa dilakukan oleh orang kuat, bukan orang yang lemah. Kita senang mendengar Nelson Mandela mengatakan, ’’Rekonsiliasi berarti kita bekerja bersama-sama untuk mengoreksi warisan buruk masa lalu,’’ dan kita tahu dia jujur dalam menyampaikan hal itu.
Dan memaafkan, sekali lagi, adalah tindakan yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang kuat. Anak saya sudah tertidur ketika saya mengakhiri cerita yang saya karang asal-asalan dengan kalimat si lelaki tua perawat kebun.
’’Entah anak-anak itu sengaja atau tidak, maafkanlah mereka,’’ kata lelaki tua itu. ’’Maafkanlah mereka seperti bunga-bunga melakukannya. Mereka tetap memberikan bau harum meskipun diinjak-injak. Karena itu yang mereka punya.’’ (*)
Akun twitter: @aslaksana
BACA ARTIKEL LAINNYA... McD Hongkong dan Jepang Stop Nugget
Redaktur : Tim Redaksi