Menjelajah Manggarai Raya, Menikmati Sawah ‘Spider-Man’

Kamis, 29 Januari 2015 – 08:27 WIB
USAHA EKSTRA: Penulis berada di lodok Desa Cancar dimana, garis pematang sawahnya benar-benar seperti gambar jaring laba-laba raksasa. (Dok Pribadi)

jpnn.com - Selama ini penjelajahan di Manggarai Raya, NTT, umumnya berhenti di Labuan Bajo (ibu kota Kabupaten Manggarai Barat). Padahal, banyak tempat wisata indah dan unik di tetangga sebelahnya; Kabupaten Manggarai dan Manggarai Timur.

PASCA perhelatan Sail Komodo 2013, Kabupaten Manggarai Barat benar-benar bersolek. Daerah yang khas dengan komodo, kadal terbesar di dunia, tersebut benar-benar mempercantik diri. Itu dimulai dengan pembangunan Bandara Komodo, Labuan Bajo, dengan desain yang lebih modern.

BACA JUGA: Kisah Istri Punya Suami Suka Bersemedi tanpa CD di Atap Rumah

Setelah menginjakkan kaki di Labuan Bajo (15/1), saya bergegas meluncur ke Kabupaten Manggarai. Segala keinginan untuk menikmati keindahan wisata di Labuan Bajo sementara ditahan dahulu.

Perjalanan dari Labuan Bajo ke Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, dapat ditempuh dengan perjalanan darat sekitar empat jam. Moda angkutan daratnya beragam. Bisa menggunakan bus angkutan umum bertarif Rp 50 ribuan, tetapi waktu tempuhnya bisa lebih lama karena suka ngetem (berhenti untuk mencari penumpang). Alternatif angkutan lain adalah dengan mobil travel Labuan Bajo–Ruteng dengan tarif Rp 100 ribuan sekali jalan.

BACA JUGA: Gadis Mungil, Habiskan Dua Bungkus Rokok Setiap Hari

Mobil travel menuju Ruteng paling sore berangkat sekitar pukul 17.00 Wita. Perjalanan dari Labuan Bajo ke Ruteng melewati jalan Trans-Flores yang cukup mulus. Meski begitu, siap-siap mabuk darat karena jalannya berliku memecah pegunungan antara Kabupaten Manggarai Barat dan Kabupaten Manggarai.

Jika tidak ada permasalahan selama perjalanan, mobil travel masuk Ruteng sekitar pukul 21.00–22.00 Wita. Kegiatan berikutnya adalah berburu hotel.

BACA JUGA: Ribuan Nelayan Demo, Tolak Kebijakan Menteri Susi

Di Ruteng banyak hotel dengan tarif menginap beragam. Hotel paling mewah di kota itu adalah Hotel Sindha. Tarif menginap paling murah di hotel tersebut Rp 350 ribu. Kamar kelas bawah di hotel itu memang tidak dilengkapi pendingin ruangan.

Tetapi, jangan khawatir. Ruteng berada di ketinggian 1.200 mdpl. Hawanya selalu adem. Begitu pula air di kamar mandi. Rasanya begitu cesss… Bak guyuran air es.

Setelah matahari menyembul, perjalanan menjelajahi Kabupaten Manggarai dimulai. Kabupaten Manggarai cukup khas. Ia memiliki empat lokasi wisata ikonik di empat penjuru mata angin.

Di selatan ada perkampungan bersejarah Wae Rebo. Kemudian, di sisi utara ada situs purba Liang Bua, tempat penemuan tengkorak manusia purba Homo floresiensis. Lalu, di timur ada danau tenang dan asri bernama Ranamese. Terakhir, di sisi barat ada persawahan (lodok) unik. Garis pematang sawahnya dibuat menyerupai jaring laba-laba.

Wisata Wae Rebo dan Liang Bua tentu sangat familier bagi wisatawan yang berkunjung ke Ruteng. Akhirnya, saya memilih jujukan pertama adalah persawahan jaring laba-laba di Desa Cancar. Untuk menuju ke Cancar, kita harus melewati jalan Trans-Flores, kembali menuju arah Labuan Bajo.

Perjalanan dari Ruteng ke Desa Cancar sekitar 1–2 jam. Ketika menuju Cancar, cuaca sedang tidak bersahabat. Di tengah-tengah perjalanan, turun hujan begitu lebat. Setelah menunggu beberapa saat di rumah warga hingga hujan reda, perjalanan ke Cancar dengan menumpang ojek dimulai lagi.

Perlu usaha ekstra untuk melihat lodok bak jaring laba-laba itu. Yakni, harus naik ke bukit dengan menyusuri anak tangga hingga jalan tanah setapak yang dipenuhi semak belukar. Jika dilihat dari jalan raya desa, sawah itu terlihat seperti sawah pada umumnya.

Setelah mendaki bukit sekitar 100 meter, baru terlihat keelokan lodok Desa Cancar. Garis pematang sawahnya benar-benar seperti gambar jaring laba-laba raksasa. Sawah yang aslinya berbentuk lingkaran itu diiris garis pematang sawah berbentuk segi tiga, lalu menjadi seperti jaring laba-laba.

Ketika saya sampai di lodok Cancar, sedang berlangsung masa transisi dari musim panen ke musim tanam. Dari atas terlihat ada petak sawah yang akan dipanen, sudah dipanen, dan ada pula yang dipakai untuk menyemai bibit padi. Kondisi itu membuat warna petak sawah tidak beraturan. Ada yang kuning, cokelat, dan hijau muda.

Alo Abar, penduduk asli Desa Cancar, menuturkan, waktu yang tepat melihat keindahan sawah jaring laba-laba tersebut antara Agustus dan September. Sebab, pada waktu itu, padi sedang hijau-hijaunya. Beberapa bulan kemudian, padi mulai menguning, lalu siap dipanen.

Pria 62 tahun itu menuturkan, sawah model jaring laba-laba ditemukan sekitar 1940-an. Saat ini lodok terbesar bernama lodok Pong Ndrung. Luas lodok itu mencapai 6 hektare dan dimiliki 50–60 orang. ’’Mereka semua itu satu keturunan,’’ jelas dia.

Alo menuturkan, nama lain lodok adalah lingko. Pecahan-pecahan segi tiga di dalamnya bernama moso. Jadi, dalam satu lodok, terdapat beberapa moso. Satu moso dipecah menjadi petak-petak lebih kecil.

Setiap moso memiliki luas yang berbeda-beda. Uniknya, penetapan luasnya moso itu diambil dengan jari-jemari yang ditempatkan di poros atau pusat lodok. Penentuan dengan jari tersebut lantas ditarik garis lurus berpuluh-puluh meter ke belakang.

Alo mengatakan, hingga saat ini masih terdapat aturan kuat yang dipegang pemilik lodok. Yakni, lahan lodok itu tidak boleh diperjualbelikan kepada pihak lain di luar keluarga inti. Dengan demikian, sampai kapan pun, lahan sawah jaring laba-laba tersebut milik satu keluarga. ’’Saat ini tersisa 15 buah lodok dengan beberapa ukuran,’’ jelas dia. (M Hilmi Setiawan/c6/dos)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Apel Ngeri Warna Hijau Itu Sebelumnya Paling Laku


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler