jpnn.com, JAKARTA - Anggota DPR Fadli Zon menyoroti lonjakan utang pemerintah di tengah pandemi virus corona (COVID-19). Kekhawatiran politikus Partai Gerindra itu bertambah seiring keputusan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menerbitkan sovereign bond atau surat utang berdenominasi mata uang asing senilai USD 4,3 miliar atau setara Rp 68,8 triliun (kurs USD = Rp 16.000).
Fadli menyatakan bahwa pada tahun ini pemerintah membutuhkan utang sebesar Rp 741,84 triliun untuk kebutuhan pembiyaan. Mantan wakil ketua DPR itu mencatat realisasi Surat Berharga Negara (SBN) pada kuartal I 2020 mencapai Rp 243,83 triliun, alias sekitar 33,15 persen dari target penerbitan SBN tahun ini.
BACA JUGA: Ada Rekor Baru dari Bu Menkeu soal Penerbitan Surat Utang
Namun, katanya, angka-angka itu belum memperhitungkan efek krisis Covid-19. Sementara pada kuartal II 2020, sambung Fadli, pemerintah melalui pandemic bond menargetkan bisa memperoleh Rp 449,9 triliun.
“Artinya, jumlah utang kita akan terus membengkak. Dengan memperhitungkan nilai tukar rupiah dan inflasi, diperkirakan pada akhir 2020 jumlah utang kita bisa mencapai Rp 6.157 triliun,” tegasnya.
BACA JUGA: Fadli Zon Dapat Bocoran dari Prabowo Soal Harga Rapid Test Covid-19
Lebih lanjut Fadli mengutip pernyataan ekonom senior Rizal Ramli tentang batas aman utang saat ini bukan 60 persen dari produk domestik bruto (PDB) sebagaimana diatur UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, melainkan cuma 22 persen. Sebab, batas aman yang digunakan dalam UU Keuangan Negara sebenarnya mengacu pada dua kali rasio pajak negara-negara The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang berada di kisaran 30 persen.
Jadi jika mengacu pada rasio pajak selama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dalam lima tahun terakhir hanya limit 11 persen, kata Fadli, batas aman utang negara seharusnya 22 persen dari PDB. Alumnus London School of Economics (LSE) Inggris itu pun menyebut jumlah utang pemerintah saat ini sudah melampaui batas aman.
“Per Februari lalu utang pemerintah sudah mencapai Rp 4.948,2 triliun atau setara dengan 30,82 persen PDB. Rasio ini bahkan jauh di atas rasio utang sebelum krisis 1997/1998,” sebut Fadli.
Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI itu lantas membandingkan rasio utang dari pemerintahan Presiden Soeharto hingga saat ini. Pada 1996 atau saat Presiden Soeharto masih berkuasa, rasio utang pemerintah hanya 24 persen dari PDB.
Angka itu naik menjadi 38 persen pada 1997 seiring krisis moneter yang mulai muncul kala itu. Pada 1998, rasio utang pemerintah terhadap PDB melonjak ke angka 57,7 persen.
Selanjutnya antara periode 1999 hingga 2003, rasionya naik lagi menjadi lebih dari 60 persen. Perinciannya secara berturut-turut adalah 85,4 persen pada 1999, naik menjadi 88,7 persen pada 2000, lalu turun ke 77,2 persen pada 2001, anjlok ke 67,2 persen pada 2002, serta 61,1 persen pada 2003.
Fadli mengatakan, saat pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri berakhir pada 2004, rasio utang terhadap PDB kembali turun menjadi 56,5 persen. Adapun setelah sepuluh tahun periode kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), rasio utang pemerintah diturunkan hingga tinggal 24,7 persen pada 2014.
“Sayangnya, selama lima tahun pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, rasio utang kita kembali meningkat hingga di atas 30 persen. Jumlah utang terus meningkat, tetapi laju kenaikan pendapatan kita jauh tertinggal. Artinya, laju penambahan utang lebih cepat dari kenaikan pendapatan,” katanya.
Oleh karena itu Fadli menilai klaim yang menyebut jumlah utang pemerintah saat ini masih dalam batas aman bisa membahayakan. “Saya khawatir, krisis kesehatan akibat corona ini akan dijadikan dalih oleh pemerintah mengeruk utang sebesar-besarnya untuk menutupi compang-campingnya keuangan negara, jadi bukan untuk mengatasi krisis yang sedang dihadapi rakyat itu sendiri,” pungkasnya.(boy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Boy