jpnn.com - Pemerintah Indonesia menyatakan kesiapannya berperan sebagai Co-Chair mendampingi Inggris yang berperan sebagai Presiden pada Sidang COP 26 (Conference to the Parties yang ke 26) KTT Perubahan Iklim.
Hal ini dinyatakan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto saat memberi sambutan pada pertemuan pejabat negara setingkat menteri (First Ministerial Roundtable) dari 26 negara.
BACA JUGA: Soal Gelombang Covid-19 Ketiga, Menko Airlangga Merespons Begini
Pertemuan yang merupakan agenda pendahuluan dari rangkaian kegiatan COP 26 Forest, Agriculture and Commodity Trade (FACT) Dialogue ini bertujuan membahas dan menyetujui prinsip-prinsip umum dari kolaborasi yang akan dilakukan dalam kegiatan utama COP 26 di Glasgow, Inggris Raya (UK) pada Oktober 2021 mendatang.
Mewakili Indonesia sebagai Co-Host adalah Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Wamen LHK) Alue Dohong. Sementara pemimpin Sidang COP ke 26 adalah Alok Sharma yang juga merupakan anggota parlemen dari Inggris. Hadir pula memberi sambutan Menteri Pasifik dan Lingkungan Inggris Zac Goldsmith.
BACA JUGA: Menko Airlangga: Indonesia di Posisi 9 Besar Negara yang Lakukan Vaksinasi Massal
COP adalah pertemuan antar negara terkait pelestarian lingkungan, mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Dalam sambutannya, Kamis (15/4), Menko Airlangga menyatakan, kesediaan Indonesia untuk ikut memimpin proses dialog perubahan iklim sebagai komitmen Indonesia turut aktif secara global dalam menghentikan dampak buruk perubahan iklim.
BACA JUGA: Airlangga Serukan THR Dibayar Penuh, Ekonom Optimistis Pemulihan Ekonomi Bakal Maksimal
"Indonesia akan memimpin dengan memberikan contoh (leading by example)," kata Menko Airlangga dalam pertemuan First Ministerial Roundtable yang dihadiri 26 negara tersebut.
Menko Airlangga juga mengatakan, Indonesia sendiri telah mengambil langkah-langkah konkrit sebagai negara pertama yang mengimplementasikan Voluntary Partnership Agreement (VPA) on Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) bersama Uni Eropa dan Inggris.
Pada tahun 2020, Indonesia juga telah berhasil menurunkan 91,84 persen kebakaran lahan dibandingkan tahun sebelumnya. Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, kebakaran hutan di Indonesia pada tahun lalu adalah seluas 300 ribu hektar, sementara itu di Amerika Serikat seluas 3,5 juta hektar, di Uni Eropa seluas 400 ribu hektar, hutan amazon 2,2 juta dan 18,6 juta hektar di Australia pada periode yang sama.
Untuk itu, kata Menko Airlangga, diperlukan kesamaan informasi, pengetahuan dan persepsi dari seluruh negara agar tindakan-tindakan yang bersifat diskriminasi terhadap upaya mewujudkan produksi dan perdagangan yang berkelanjutan harus dihilangkan.
“Kita semua tentunya sepakat bahwa isu ancaman perubahan iklim dan kelestarian lingkungan tak dapat diselesaikan tanpa kerja sama dan kolaborasi dari seluruh negara di dunia. Upaya ini tentunya dilakukan bersamaan dengan keinginan negara untuk mensejahterakan rakyatnya”, ujar Menko Airlangga.
Melalui forum tersebut, kata Menko Airlangga, diharapkan dapat menjadi wadah kolaborasi untuk tercapainya kesepakatan terkait visi dan peta jalan dari upaya pelestarian lingkungan serta mitigasi dan adaptasi dari perubahan iklim.
"Indonesia selalu berkomitmen dan mendukung serta turut aktif secara global dalam perlindungan alam dan keanekaragaman hayati, untuk menghentikan dampak buruk perubahan iklim dengan mengurangi tingkat emisi dan pada saat yang sama mempercepat program pengentasan kemiskinan yang juga penting untuk dilakukan," ujar Menko Airlangga
Berbagai upaya telah dilakukan Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan produksi dan perdagangan yang berkelanjutan diantaranya; penerapan sistem jaminan legalitas kayu dan minyak sawit berkelanjutan (ISPO), upaya mengurangi kayu illegal dan deforestasi, upaya restorasi dan rehabilitasi lahan gambut serta penetapan lahan konservasi.
Dalam sesi yang sama, Menteri Pasifik dan Lingkungan Inggris Lord Zac Goldsmith menyampaikan apresiasinya karena Indonesia bersedia menjadi Co-Chair COP 26 FACT Dialog bersama dengan pihaknya.
Goldsmith menyampaikan, kerja sama dan kolaborasi antara negara produsen dan konsumen sangat penting untuk dilakukan, dalam sebuah kesetaraan, untuk mencapai tujuan bersama.
Ia menilai, terdapat peluang bagi dunia untuk melakukan suatu pendekatan yang berkelanjutan antara pemanfaatan lahan dan produksi komoditas senilai tak kurang 4,5 triliun dolar AS setiap tahunnya hingga 2030, dimana pada sisi yang lain kelestarian lingkungan tetap dapat terjaga.
“Saya sangat antusias untuk mendengar aksi dari masing-masing negara peserta dalam meningkatkan market dari perdagangan yang berkelanjutan yang memberikan dukungan terhadap kehidupan sekaligus mahluk hidup di dunia, sementara pada saat yang sama melindungi alam dan lingkungan kita,” ujar Goldsmith. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil