jpnn.com, JAKARTA - Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengaku tidak terkejut angka Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia pada Agustus 2024 yang terkontraksi menjadi 48,9 poin atau turun 0,4 poin dari Juli 2024.
Menurutnya, penurunan nilai PMI manufaktur tersbeut terjadi dikarenakan belum adanya kebijakan signifikan dari kementerian atau lembaga lain yang mampu menjaga kinerja industri manufaktur.
BACA JUGA: Wamendag: Kemenperin Mendukung Kemendag Atasi Permasalahan Impor
“Sekali lagi kami tidak kaget dengan kontraksi lebih dalam industri manufaktur Indonesia," kata Menperin Agus Gumiwang dalam keterangan resminya dikutip, Rabu (4/9).
Berdasarkan rilis S&P Global, kontraksi PMI manufaktur Indonesia pada Agustus 2024 dipengaruhi oleh penurunan pada output dan dan permintaan baru yang paling tajam sejak Agustus 2021.
BACA JUGA: Skandal Demurrage: Kemenperin Pertanyakan Legalitas Kontainer Beras yang Tertahan
Permintaan asing juga turun semakin cepat hingga paling tajam sejak bulan Januari 2023.
S&P Global juga menyebutkan adanya pelemahan penjualan yang menyebabkan peningkatan stok barang jadi selama dua bulan berjalan.
BACA JUGA: Kemenperin Luncurkan Startup4Industry Investment Summit, Ini Tujuannya
Menperin Agus Gumiwang mengatakan melemahnya penjualan dipengaruhi oleh masuknya barang impor murah dalam jumlah besar ke pasar dalam negeri terutama sejak Mei 2024.
“Adanya barang impor murah membuat masyarakat lebih memilih produk-produk tersebut dengan alasan ekonomis. Hal ini dapat menyebabkan industri di dalam negeri semakin menurun penjualan produknya serta utilisasi mesin produksinya,” terang Menperin Agus Gumiwang.
Sementara itu, Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Febri Hendri Antoni Arif mengatakan para pelaku industri mengamati perkembangan penerapan aturan oleh pemerintah yang secara langsung dapat berpengaruh pada perlambatan ekspansi pada subsektor industri.
“Misalnya, pada industri makanan dan minuman, para pelaku usaha nampak menahan diri dengan adanya rencana pemberlakuan cukai untuk minuman berpemanis dalam kemasan,” terang Febri.
Begitu juga dengan ketidakjelasan isi data 26.415 kontainer dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang sampai saat ini belum menemukan titik terang.
Kemenperin saat ini belum bisa menyusun kebijakan atau langkah-langkah mengantisipasi banjirnya pasar domestik oleh produk jadi impor tersebut.
Kemenko Perekonomian memang telah memfasilitasi pertemuan antarkementerian atau lembaga terkait, namun realisasi datanya masih belum ada.
Di sisi lain, importir juga semakin mempercepat proses impor barang jadi untuk mengantisipasi pemberlakuan kebijakan pembatasan impor ke depan, seperti pemberlakuan BMAD, Lartas, atau pengalihan pintu masuk barang impor untuk tujuh komoditas ke tiga pelabuhan Indonesia Timur, yaitu Pelabuhan Sorong, Bitung, dan Kupang.
Febri menjelaskan untuk mendorong ekspansi industri manufaktur, Kemenperin juga akan terus mendorong percepatan perluasan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT), percepatan penerapan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD), khususnya untuk industri terdampak, seperti keramik, kertas, penerapan SNI, serta percepatan pembatasan barang impor dan penegakan hukum atas impor ilegal.
“Selain itu, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Gas Bumi Untuk Kebutuhan Dalam Negeri juga perlu diprioritaskan pengesahannya agar bisa menjadi game changer bagi industri manufaktur,” ujar Febri.
Sementara itu, untuk menghadapi tantangan dalam menjangkau pasar ekspor akibat pengiriman logistik yang membebani kinerja pemasok, perlu mendorong kembali penggunaan produk dalam negeri sehingga produk-produk tesebut bisa diserap di dalam negeri.
Misalnya, dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 ini.
“Kami mengingatkan kepada lembaga penyelenggara Pilkada dan para kontestan Pilkada untuk meningkatkan penggunaan produk dalam negeri, terutama produk Industri Kecil dan Menengah (IKM) dalam momentum Pilkada 2024 ini,” pungkas Febri.
Sebelumnya, Economics Director S&P Global Market Intelligence Paul Smith memaparkan penurunan pada perekonomian sektor manufaktur Indonesia pada Agustus lalu mengakibatkan perusahaan menanggapi dengan mengurangi karyawan, meski banyak yang percaya kondisi ini berlangsung sementara.
Hal ini sesuai dengan hasil survei yang menyebutkan para panelis berharap kondisi ekonomi akan lebih stabil dan mendorong kebaikan produksi dan permintaan baru dalam waktu satu tahun. (mrk/jpnn)
Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Sutresno Wahyudi, Sutresno Wahyudi