Menutup Celah Resesi

Oleh: MH Said Abdullah, Ketua Badan Anggaran DPR RI

Senin, 10 Agustus 2020 – 21:36 WIB
Ketua Badan Anggaran DPR RI, MH. Said Abdullah. Foto: Humas DPR RI

jpnn.com - Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia Triwulan II-2020 terhadap triwulan II-2019 mengalami kontraksi pertumbuhan atau negatif sebesar 5,32 persen (yoy).

Bagi para ekonomi, rilis statistik ini tentu bukan sesuatu yang mengejutkan.

BACA JUGA: Konon RUU Cipta Kerja Dapat Menyelamatkan Indonesia Dari Resesi

Angka pertumbuhan tersebut, sedikit diluar prediksi Bank Indonesia (BI) sebesar negatif  4,80 persen hingga 4,00 persen, bahkan Pemerintah sendiri memperkirakan sebesar negatif 3,50 persen hingga 5,10 persen atau pada titik tengah sebesar 4,30 persen.

Seperti yang sudah kita ketahui bersama, triwulan II 2020 yang berlangsung dari bulan April hingga Juni adalah periode paling berat bagi perekonomian nasional hingga global.

BACA JUGA: Cegah Resesi, Desa Didorong Aktifkan Digitalisasi

Hampir semua lembaga internasional memprediksi ekonomi global akan terkontraksi cukup dalam.

Serangan wabah Covid 19 telah menyebabkan terjadinya disrupsi pada aktivitas ekonomi di sektor riil maupun keuangan, memukul baik individu (demand) hingga dunia usaha (supply) hampir seluruh negara di dunia.

BACA JUGA: Keluarga Habib Asegaf Al-Jufri Diserang Kelompok Intoleran, Petrus: Tangkap!

Aktivitas manufaktur dan jasa di berbagai negara terkontraksi cukup dalam.

Data composite index, yang merupakan indeks gabungan kondisi sektor riil, sektor keuangan dan indikator kepercayaan, serta confidence index global, yang merupakan indikator keyakinan pelaku usaha dan konsumen atas kondisi ekonomi global, menunjukkan indikasi pemburukan ekonomi mulai dari triwulan I hingga triwulan II.

Bahkan Purchasing Manager Index (PMI) Global berada pada titik terendah dalam beberapa dekade terakhir.

Dampaknya, satu per satu negara di dunia sudah mengumumkan kondisi ekonominya pada Triwulan II 2020.

Pertama kali Singapura yang sudah mengumumkan kalau Ekonomi Singapura masuk ke jurang resesi di kuartal II-2020.

Ekonomi Singapura terkontraksi 41,20 persen, setelah pada kuartal I-2020, pertumbuhan ekonomi Singapura mengalami kontraksi hingga 2,20 persen.

Negara Asia lainya yang juga sudah mengumumkan memasuki masa resesi adalah Korea Selatan (Korsel).

Perekonomian Korsel di kuartal II-2020 menyusut 3,30 persen. Setelah pada kuartal I-2020 terkontraksi 1,40 persen.

Ekonomi Jerman pada kuartal II-2020 kembali mengalami kontraksi sebesar 10,10 persen. Pada kuartal I-2020 terkoreksi 2,20 persen.

Ekonomi Amerika Serikat (AS) terkoreksi cukup dalam pada kuartal II-2020 negatif 32,90 persen.

Setelah pada kuartal I-2020 PDB AS juga telah terkontraksi 5,00 persen.

Kita jauh lebih beruntung dibandingkan dengan beberapa negara lain yang sudah memasuki masa resesi.

Komposisi Produk Domestik Bruto (PDB) masih didominasi oleh konsumsi (consumption based) dan investasi dibandingkan dengan ekspor dan impor (trade based), yang belum terlalu signifikan mempengaruhi PDB.

Sehingga ketika aktivitas investasi dan perdagangan global melambat, dampaknya bagi Perekonomian nasional tidak sebesar negara-negara yang sangat tergantung kepada perdagangan dan jasa, seperti Singapura, Korsel bahkan AS dan China sekalipun.

Desain asumsi makro APBN 2020 yang dirancang oleh pemerintah sudah memprediksikan bahwa kontraksi ekonomi akan terjadi pada triwulan II dan III, sehingga secara realistis menempatkan asumsi kebijakan makro ekonomi kita, pertumbuhan PDB tahunan kita di 2020 berkisar -0,4 sampai 2,3%.

Dampaknya, angka pengangguran diprediksikan akan meningkat 4 sampai 5,23 juta orang dan angka kemiskinan naik, ada tambahan dalam perkiraan 3,02 sampai 5,71 juta orang.

Atas asumsi ini pula pemerintah telah menggulirkan segenap paket kebijakan fiskal untuk menahan laju kontraksi ekonomi tidak semakin dalam, apalagi sampai resesi ekonomi.

Menutup Celah Resesi 

Secara statistik daerah dengan pandemi terbesar seperti DKI Jakarta, Jatim, Jabar, Jateng dan Sulsel sekaligus kontributor besar bagi pertumbuhan ekonomi.

Kontribusi DKI Jakarta 18% PDB, Jatim 14,9% PDB, Jabar 13,4% PDB, Jateng 8,6% PDB dan Sulsel 3,2% PDB.

Jadi daerah-daerah yang menjadi pandemi covid-19 totalnya 58,1% PDB. Pemerintah harus fokus pada pengendalian covid-19, terutama dikawasan ini, setidaknya mendisiplinkan protokol covid-19 disemua tempat tanpa ada tolerensi dan terus meningkatkan test, tracing dan isolation.

Sebab bila kawasan ini terus terpukul, maka besar kemungkinan kontraksi ekonomi kita makin dalam.

Pada sisi fiskal, pemerintah memiliki modal yang cukup besar untuk mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi tahun 2020.

Total biaya penanganan Covid-19 mencapai Rp 1.024,07 triliun, dengan rincian. Total biaya barang publik (kesehatan, perlindungan sosial dan sektoral) sekitar Rp397,56 triliun.

Sedangkan total biaya barang non-publik (UMKM, Korporasi dan Insentif Dunia Usaha) sebesar Rp 297,64 triliun, masih ditambah Belanja Non Publik Lainnya sebesar Rp 328,87 triliun.

Pemerintah harus fokus untuk memastikan bahwa belanja barang publik yang banyak bersentuhan dengan 40 persen masyarakat berpenghasilan terendah yang miskin dan rentan miskin, tepat sasaran dan efektif untuk membantu daya beli dan konsumsi mereka.

Jika masalah utama yang dihadapi oleh Perekonomian nasional sepanjang triwulan I dan II 2020 adalah terhambatnya aktivitas ekonomi baik dari sisi demand maupun supply, maka pada Triwulan III seharusnya masalah tersebut sudah bisa diurai.

Pemerintah punya modal sebesar Rp 397,56 triliun untuk mendorong demand masyarakat, untuk mempercepat pemulihan kesehatan dan daya beli masyarakat, khususnya 40 persen masyarakat berpenghasilan terendah yang mencapai 17,73 juta orang.

Program bansos yang ditawarkan Pemerintah selama ini, harus mampu menjadi stimulus dalam meningkatkan konsumsi dan daya beli masyarakat untuk mendongkrak kembali pertumbuhan ekonomi menjadi positif.

Begitu pula dari sisi supply, Pemerintah juga telah memiliki amunisi sebesar Rp297,64 triliun untuk pembiayaan barang non-publik.

Untuk mendorong dunia usaha, baik sektor UMKM maupun korporasi untuk dapat bangkit kembali.

Mesin ekonomi yang terdapat pada dunia usaha harus bisa hidup kembali, untuk bisa mendorong pertumbuhan ekonomi.

Pemberlakuan kebijakan normal baru (new normal) dengan tetap berpegang pada protokol Covid-19, diharapkan mampu membangkitkan kembali dunia usaha sebagai motor perekonomian nasional.

Sektor UMKM bisa kembali menggeliat, sektor transportasi kembali berjalan, sektor manufaktur kembali beroperasi.

Bahkan Pemerintah bisa mempercepat pelaksanaan program proyek strategis nasional yang berbasis padat karya, pada triwulan III.

Pemerintah juga perlu memonitor bahwa program stimulus dan insentif fiskal yang ditawarkan kepada dunia usaha berjalan efektif dan tepat sasaran.

Selain membantu dunia usaha untuk beroperasi kembali, perlu juga memastikan tidak terjadi PHK dan pemotongan gaji karyawan.

Untuk menjaga agar aktivitas ekonomi masyarakat dan sektor riil bisa berjalan dengan baik pada triwulan III, maka stabilitas moneter perlu tetap terjaga dengan baik.

Dua indikator utama dalam sektor moneter yang perlu dijaga adalah stabilitas nilai tukar rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tetap stabil.

Stabilitas nilai tukar dan IHSG akan bisa menjadi katup pengaman bagi sistim keuangan dan perbankan tetap dalam kondisi terjaga dengan baik, jangan sampai terjadi bank gagal.

Sinergi antara Komite Stabilitas Sistim Keuangan (KSSK), harus bisa berjalan dengan baik.

Selain itu, Kebijakan Pemerintah untuk menempatkan dananya di Bank Pembangunan Daerah (BPD), diharapkan juga bisa menggairahkan kembali perekonomian daerah, sehingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi kembali positif.

Dengan desain kebijakan fiskal dan moneter diatas, saya yakin resesi ekonomi dapat kita antisipasi.

Kuncinya, pemerintah disiplin atas implementasi belanja sesuai target, tepat sasaran, tidak bocor karena inefisiensi, dan tidak terlambat penyalurannya karena berbagai prosedur birokrasi yang bertele-tele.

Kedisiplinan ini menjadi kunci, dengan demikian target pertumbuhan ekonomi kita pada kisaran 2% pada tahun 2020 dapat tercapai, dan yang lebih penting negara kita terhindar resesi ekonomi.***


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler