jpnn.com - Lewat kesenian, orang-orang keturunan Jawa di Suriname mengungkapkan kerinduan terhadap kampung halaman nenek moyang di Indonesia. Mereka ingin tahu sekali seperti apa tanah leluhur itu.
Laporan ARIEF SANTOSA, Suriname
BACA JUGA: Menyaksikan Serunya Perayaan 125 Tahun Orang Jawa di Suriname (1)
RENE Tosari, 67, girang sekali begitu mengetahui bahwa ada wartawan dari Indonesia di acara pembukaan pameran lukisan 13 seniman keturunan Jawa yang paling kondang di Suriname Sabtu malam (1/8). Dia buru-buru mencari saya yang datang agak telat karena baru turun dari pesawat yang membawa saya dari Indonesia.
”Wah, piye kabare, Pak (bagaimana kabarnya, Pak)? Apik-apik wae to (Baik-baik saja, kan)?” ujarnya sembari menjabat tangan saya dengan erat.
BACA JUGA: Jeffry Antono, Pendiri Sekolah Khusus Pembuatan Sepatu
Wajahnya berbinar. Senyumnya terus mengembang. ”Kapan tekane (Kapan datangnya)? Karo sopo (Dengan siapa)? Turu ning endi (Tidur di mana)?” cerocos Tosari.
Setelah berbasa-basi, mulailah dia bercerita tentang lukisannya yang diberi judul Kangen Simbah. Lukisan tersebut menggambarkan seorang yang tua sedang memangku anak kecil bersama dua orang lain di kanan dan kirinya. Gambar utama itu diberi hiasan pohon-pohon kelapa yang melambai.
BACA JUGA: Kisah Haru Mahasiswi Thailand Mencari Ayahnya di Jember
”Ini aku dipangku simbah. Kalau ini orang tua angkatku dan ini saudaraku,” tutur Tosari sambil menunjuk gambar dirinya waktu masih kecil itu.
”Tapi, aku wis lali kabeh jenenge (Tapi, saya sudah lupa nama mereka),” imbuh pelukis plontos yang tidak mengetahui orang tua kandungnya itu.
Masih dalam satu frame, di sebelah kiri kanvas, Tosari juga menggoreskan cat minyaknya yang menunjukkan ”sejarah” leluhurnya. Digambarkan kapal Besoeki yang katanya membawa nenek moyangnya dari Jawa ke Suriname pada 16 Juni hingga 27 Agustus 1907. Terus, di bawahnya tertulis Kedoe, Poerworejo.
Menurut bapak tiga anak itu, leluhurnya berasal dari Desa Kedoe, Purworejo, Jawa Tengah. Tapi, dia tidak tahu letak Purworejo. Karena itu, Tosari berharap di sisa-sisa hidupnya masih bisa merunut sejarah leluhurnya itu di Indonesia. Kalau toh sekarang sudah tidak ada lagi yang tersisa, paling tidak dia bisa mengetahui lokasi Desa Kedoe dan kondisinya kini. Dia juga penasaran, mengapa diberi nama Tosari.
”Aku ingin sekali datang ke desa itu. Karenanya, nanti, kalau Pak Gubernur Jateng (Ganjar Pranowo) datang ke sini, aku ingin menyampaikan unek-unek hidupku di tanah Suriname ini kepada dia,” paparnya.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo memang dijadwalkan akan datang di acara Indo Fair 2015 yang dilaksanakan September mendatang di Sana Budaya, Paramaribo. Indo Fair merupakan ajang promosi perdagangan yang menampilkan produk-produk Indonesia. Kegiatan itu diselenggarakan setiap tahun. Tahun ini KBRI di Suriname secara khusus mengundang Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sebagai tamu kehormatan.
Biasanya, delegasi pengusaha dan pemerintah yang ditunjuk sebagai tamu kehormatan akan dipimpin gubernurnya langsung. Karena itu, Tosari, seperti disarankan Dubes RI di Suriname Dominicus Supratikto, akan menemui langsung Ganjar di Indo Fair nanti.
”Aku tadi diberi tahu Pak Dubes bahwa pas Indo Fair nanti gubernur Jawa Tengah akan datang. Aku mau ngomong dengan dia,” kata dia.
”Jeritan hati” Tosari itu hanya satu di antara puluhan lukisan dari 13 pelukis keturunan Jawa paling top di Suriname yang sedang berpameran di Gedung De Hal, Paramaribo, mulai Sabtu (1/8). Pameran lukisan itu merupakan cara para seniman untuk turut meramaikan perayaan peringatan 125 tahun migrasi orang Jawa ke Suriname yang jatuh pada 9 Agustus mendatang.
Selain Tosari, ada 12 pelukis lagi. Antara lain Soekijan Irodikromo, Sri Rubinah, Ogust Buhe, Asmorejo, Robert Bosari, Steven Towiryo, dan Sadirin Singo Astro. Juga ada Rasidin, Ardi Setro Prawiro, Daeri Joyo Atmo, Suhada Kasto, dan Kim Sonto Sumata. Hampir seluruh lukisan bertema Jawa. Ada yang berkisah tentang kerinduan akan sosok leluhur atau objek yang terkait dengan khazanah budaya Jawa.
Sambil menikmati suguhan peyek kacang, tape ketan, pisang goreng, lemper, dan Parbo Bier (bukan pabro bir seperti tertulis kemarin), banyu londo khas Suriname, para tamu dapat membayangkan ”mimpi” para pelukis saat menggoreskan cat minyaknya pada bidang gambar. Misalnya karya Soeki, sapaan Soekijan Irodikromo, yang paling menonjol di antara karya-karya pelukis lain.
Dalam pameran itu, pelukis 70 tahun tersebut membawa lima karyanya. Semuanya bertema tari. Ada tarian gebyar batik, asmoro, selendang, dan kerincing mas.
”Ini kegelisahan saya kepada anak-anak Jawa di Suriname yang mulai meninggalkan budaya tradisi nenek moyangnya,” ujar pelukis yang ngangsu kaweruh di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Jogjakarta (kini ISI) pada 1979–1980 itu.
Dia lalu menceritakan, semasa kecil di Desa Roos en Weerk, Commewijn, dirinya hanya mendengar alunan gamelan yang ditabuh bapak-ibunya. Tidak ada televisi dan produk kebudayaan Barat lainnya.
”Pokoke, saben-saben mung krungu suara gamelan. Ora ono liyan (Pokoknya, setiap saat hanya mendengar suara gamelan. Tidak ada yang lain),” tuturnya.
Selain dikenalkan dengan gamelan, tentu saja dia diajari melukis oleh orang tuanya. Sampai akhirnya bakat itu benar-benar tertanam dalam jiwanya dan menjadi sumber penghidupannya. ”Ya, aku hidup dari melukis, dari kesenian Jawa,” ujar Soeki, yang lukisan tarian kerincing masnya laku USD 2.900 (sekitar Rp 38,5 juta dengan kurs Rp 13.300 per dolar).
Menurut dia, pameran lukisan itu merupakan bentuk respek para seniman kepada leluhur yang telah melahirkan dan membawa mereka hingga negara yang kaya emas, bauksit, dan kayu itu. ”Kalau bukan kita yang respek, lalu siapa lagi? Wong para leluhur itu mbah-mbah kita sendiri,” tegas pelukis yang fasih berbahasa Indonesia itu.
”Ben wong Jowo ora lali karo leluhure dewe (Biar orang Jawa tidak lupa kepada nenek moyangnya),” tambah dia.
Kini Soeki merintis sekolah khusus melukis yang dinamai Soeki Irodikromo Academy Culture en Kunst. Untuk sementara, akademi itu menempati ruang di belakang kompleks Sana Budaya. Akademi itu dia biayai sendiri. Sedikit pun tidak mendapat subsidi dari pemerintah.
”Iki wis mlaku limang taun. Tak biayai dewe. Ora popo. Sing penting, wong Jowo iso sinau ngelukis. Ben ora ketinggalan karo bangsa liya (Ini sudah jalan lima tahun. Saya biayai sendiri. Tidak apa-apa. Yang penting, orang Jawa bisa belajar melukis. Biar tidak kalah oleh bangsa lain),” tutur dia. (*/bersambung)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Berangkat Gratis ke Jepang setelah Kalahkan 18 Ribu Pendaftar
Redaktur : Tim Redaksi