Menyaksikan Serunya Perayaan 125 Tahun Orang Jawa di Suriname (3-Habis)

Melawak 30 Menit Dibayar 150 Dolar Amerika

Kamis, 06 Agustus 2015 – 23:32 WIB
AGUSTUSAN: Para peserta lomba menyanyi pop Jawa di Gedung Indra Maju Sabtu malam (1/8). Polos dan lucu. FOTO: Arief Santosa/Jawa Pos

jpnn.com - Lomba menyanyi lagu Jawa untuk menyambut peringatan 125 tahun migrasi orang Jawa di Suriname Sabtu malam (1/8) waktu setempat berlangsung seru dan lucu. Banyak yang tidak tahu arti lagu yang dinyanyikannya.

Laporan ARIEF SANTOSA, Suriname

BACA JUGA: Menyaksikan Serunya Perayaan 125 Tahun Orang Jawa di Suriname (2)

HARI-hari ini masyarakat keturunan Jawa di Suriname sedang berpesta. Acara berlangsung di mana-mana. Di Sana Budaya, misalnya, hingga hari H peringatan 9 Agustus mendatang, berlangsung pasar malam. Disuguhkan pula berbagai kesenian tradisional, mulai jogetan (tari-tarian) jaran kepang, ludruk, kabaret, hingga wayang kulit.

Pasar malam juga dilangsungkan di desa-desa yang mayoritas penduduknya masyarakat keturunan Jawa. Seperti di Tamanrejo, Distrik Commewijn; Kwarasan dan Purwodadi (Wanica); Sidadadi, Sidorejo, serta Dam Malang (Saramaca).

BACA JUGA: Menyaksikan Serunya Perayaan 125 Tahun Orang Jawa di Suriname (1)

Iki pestane wong Jowo nang kene. Setahun sepisan. Dadi yo diseneng-senengke (Ini pesta orang Jawa di sini. Setahun sekali. Jadi ya disenang-senangkan),” ujar sesepuh Desa Purwodadi Salimin Ardjooetomo alias Captain Does.

Dan keriangan itu benar-benar terlihat dalam Pop Song Jawa Open Festival di Gedung Indra Maju (baca: Indra Mayu) Sabtu malam lalu. Sebanyak 23 peserta mengikuti lomba nyanyi khusus lagu-lagu Jawa tersebut. Seorang di antaranya warga ”asing” dari suku Creol, penduduk asli Suriname.

BACA JUGA: Jeffry Antono, Pendiri Sekolah Khusus Pembuatan Sepatu

Penampilan peserta dinilai enam juri serta ”dicereweti” ratusan pasang mata yang memadati gedung terbuka mirip hangar pesawat itu. Hampir setiap peserta yang tampil disoraki. Akibatnya, kalau tidak tahan dengan teriakan penonton, si peserta bisa grogi.

Jangan dibayangkan lomba nyanyi di Suriname itu seperti kontes nyanyi di Indonesia. Kalau di Indonesia, mungkin lomba itu masih sekelas lomba di kampung-kampung saat 17 Agustusan. Jadi sangat sederhana. Hanya kemasannya yang ”serius”.

Untuk menyaksikan lomba tersebut, penonton ditarik tiket masuk Rp 80.000 per orang. Mereka bebas mau menonton sambil berdiri atau duduk di kursi plastik yang disiapkan panitia.

Lantaran lomba bersifat ”open”, peserta tidak dibatasi umur. Itu sebabnya, ada peserta yang masih 17 tahun. Ada juga yang sudah kakek-kakek dengan giginya yang mulai ompong.

Pakaian mereka juga sederhana, pakaian sehari-hari. Hanya satu dua yang tampil dengan pakaian ”resmi” lomba. Misalnya mengenakan jas komplet atau memakai kebaya bagi peserta putri.

Mayoritas peserta juga tidak memedulikan penampilan di bagian wajah. Bahkan, ada peserta putri dengan penampilan seperti habis bangun tidur. Tanpa bedak, gincu, apalagi lipstik. Polos. Begitu pula peserta putra yang tidak memperhatikan rambutnya yang dibiarkan acak-acakan.

”Itu tidak prinsip. Yang penting nyanyinya bagus,” kata MC kocak Andrahman yang fasih berbahasa Indonesia.

Para peserta –17 laki-laki dan 6 perempuan– bebas menyanyikan lagu pop Jawa kesenangannya. Beberapa membawakan lagu milik penyanyi Indonesia yang memang ngetop di Suriname. Misalnya Hello Sayang milik Didi Kempot, Nggo Kowe (Eddy Silitonga), atau Ojo Podo Nelongso (Koes Plus). Kebanyakan lagu yang dibawakan bertema kisah asmara. Contohnya lagu Bocah Ayu milik Ragmad Amatstam, Ra Tak Kiro (Wakijan), Loro Atiku (Mantje K.), Kadung Trisno (Oesje), dan Kangene Ati (Maroef Amatstam).

Meski pada saat peserta tampil penonton bebas menyoraki, tepuk tangan tetap bergema begitu peserta menyelesaikan lagunya. ”Orlando…Orlando…I love you…,” teriak penonton cewek untuk penampilan Orlando Kertoidjojo yang malam itu menyanyikan lagu Eddy Silitonga Arek Ayu nanging Rewel.

Dalam beberapa penampilan, penonton sering dibuat terpingkal-pingkal menyaksikan aksi panggung peserta. Salah satu yang mengundang tawa adalah penampilan Wensly Kamperveen yang membawakan lagu Ojo Podo Nelongso.

Dengan penuh percaya diri Wensly melakukan gerakan-gerakan tubuh yang dimaksudkan untuk menarik perhatian penonton dan dewan juri. Tapi, yang terjadi malah sebaliknya. Juri maupun penonton justru dibuat tertawa melihat gerakan pemuda 30 tahun yang kaku dan terkesan menghafal itu.

Puncaknya terjadi saat peserta nomor 20 tersebut asyik berjoget sambil memutar-mutar tubuh di akhir lagu. Beberapa saat kemudian, keseimbangannya tiba-tiba hilang. Tubuhnya terhuyung dan akhirnya terjatuh di panggung.

Tawa ratusan penonton pun meledak disertai teriakan-teriakan menggunakan bahasa gado-gado: Jawa, Belanda, maupun taki-taki (bahasa pergaulan). Meski begitu, tepuk tangan dan sorak sorai ”apresiasi” tetap diberikan untuk Wensly yang berani tampil beda malam itu.

Ora popo direwangi sampe jungkel barang. Sing penting melu nguri-uri budaya Jawa, kabudayane awak dewe (Tidak apa-apa berkorban sampai jatuh. Yang penting ikut melestarikan budaya Jawa, kebudayaan kita),” komentar Andrahman yang ikut tertawa di samping panggung.

Yang memprihatinkan, banyak peserta yang tidak tahu arti lagu yang dibawakan. Misalnya yang ditunjukkan seorang peserta laki-laki yang tampil dengan lagu Kembang Turu (Ira Herlina). Oleh Andrahman, peserta itu sengaja dites terkait kemampuan bahasa Jawanya.

Kowe dunung artine lagu Kembang Turu opo ora (Kamu paham arti lagu Kembang Turu tidak)?” tanya mantan ketua Untaian Persahabatan Suriname-Indonesia itu. Yang ditanya hanya mesam-mesem dan menggelengkan kepala.

Iki lak lucu. Iso nyanyine, tapi ora dunung artine (Ini kan lucu. Bisa menyanyikan lagunya, tapi tidak tahu artinya),” ujar MC kondang Suriname tersebut.

Menurut Andrahman, lomba itu memang semata-mata bertujuan mengajak warga keturunan Jawa di Suriname mau melestarikan budaya dan bahasa yang diwariskan nenek moyang. ”Terutama anak-anak mudanya. Biar bahasa Jawa tidak punah karena tidak ada penuturnya lagi. Saya ikut prihatin karena anak-anak muda sekarang tidak tahu warisan budaya nenek moyang,” tegasnya.

Lain lagi yang ditunjukkan tiga pelawak muda yang tergabung di Kabaret Does. Mereka adalah Edy Ronokaryo, Gwen Mardan, dan Rubes Kartopawiro. Penampilan mereka di arena charity bazaar yang diselenggarakan KBRI di Suriname Minggu siang (2/8) menyedot perhatian pengunjung. Sepanjang pertunjukan penonton dibuat tertawa dengan joke-joke Edy cs yang nyerempet-nyerempet saru.

Aku ngono wis biasa ditembak. Malah nek ora onok sing nembak, aku malah njaluk ditembak (Aku sih biasa ditembak. Malah kalau tidak ada yang menembak, saya minta ditembak),” kata pelawak dengan nama panggung Susan itu.

Selama 30 menit tiga laki-laki genit tersebut memang mampu mengocok perut penonton. Tik-tak ketiganya berjalan spontan, cepat, dan segar. Padahal, selain berbahasa Belanda, mereka membanyol dengan bahasa Jawa ngoko yang lincah.

Ketika ditanya siapa yang mengajari bahasa Jawa, ketiganya mengaku tidak ada. Mereka hanya mendapatkan ”pelajaran” berbahasa Jawa itu di rumah lewat kedua orang tua masing-masing.

Yo karo pergaulan nang grup iki. Ora ono liya (Ya dengan pergaulan di grup ini. Tak ada yang lain),” ujar Gwen yang di panggung bernama Evita. ”Mosok sih basa Jawaku wis apik (Masak sih bahasa Jawa saya sudah bagus)?” timpal Rubes alias Selly.

Ketiganya juga mengaku main kabaret untuk menyalurkan hobi melawak. Sehari-hari mereka punya profesi lain. Edy dan Gwen bekerja di salon, sedangkan Rubes menjadi perawat di sebuah rumah sakit.

Tapi, dari hobi melawak menggunakan idiom-idiom Jawa itu, ketiganya bisa memenuhi kebutuhan hidup dengan layak. Hampir setiap minggu ada saja yang menanggap mereka. Baik tampil secara freelance maupun bersama grup. Setiap manggung mereka mendapatkan bayaran jutaan rupiah. Umumnya mereka dibayar dengan dolar Amerika.

Saben pamer iso oleh 150 dolar Amerika sakuwong. Tergantung sopo sing nanggap. Iso luwih akeh, iso luwih sitik. Lumayanlah iso dinggo urip nang kene (Setiap tampil bisa dapat USD 150 atau Rp 2 juta setiap orang. Tergantung siapa yang menanggap. Bisa lebih banyak, bisa lebih sedikit. Lumayan bisa untuk hidup di sini),” papar Edy. (*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Haru Mahasiswi Thailand Mencari Ayahnya di Jember


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler