KECELAKAAN maut di Tapanuli Tengah (Tapteng), Sumut, yang menewaskan 17 pelajar yang menumpang truk naas beberapa hari lalu itu, menambah deretan daftar buruknya perhatian sejumlah pemda terhadap layanan transportasi para generasi bangsa.
-----------
Toga Sianturi-Manduamas
-----------
Dan ternyata, hanya ada satu unit bus sekolah, yang benar-benar berbentuk bus, yang disediakan oleh PT Sinar Gunung Sawit Raya (SGSR) di Tapteng. Bus sekolah tersebut khusus digunakan untuk transportasi anak karyawan perusahaan yang sekolah di SD yang ada di areal perkebunan.
Sedangkan dua truk lainnya, dengan bak dan pakai atap yang terbuat dari kayu, tidak dilengkapi bangku penumpang, dijadikan sebagai pengangkut anak sekolah. Warga sekitarpun menyebutnya sebagai bus sekolah ala PT SGSR. Padahal, anak-anak bangsa ini tidak layak diperlakukan demikian oleh pihak perusahaan. Sekalipun, mereka hanya merupakan anak dari buruh perusahaan.
BACA JUGA: Kisah Derita Warga Korban Lapindo, Berupaya Bangkit dari Titik Nol
Dengan truk inilah, anak-anak karyawan perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan sawit ini diangkut dan diharuskan berdiri dalam bak truk saat hendak diantar dan dijemput dari sekolah. Bisa dibayangkan, bagimana anak-anak itu berdiri berdesak-desakan dalam bak truk yang biasanya memuat anak sekolah hingga mencapai 50 orang setiap harinya.
Informasi yang disampaikan karyawan perusahaan, diketahui kalau kondisi truk tersebut sudah banyak yang rusak dan sering kali mogok saat dioperasikan.
BACA JUGA: Saat KRI Kupang Jadi Tumbal Rudal Exocet MM40 Blok II
Bukannya mengganti dengan transportasi yang memadai, solusi yang diberikan pihak perusahaan hanya menekankan kepada tim teknisi perusahaan untuk memperbaiki sedapat mungkin semua armada yang ada. Meski sekalipun harus mengesampingkan risiko yang akan terjadi di kemudian hari.
Seperti dikatakan Jhon Piter Siahaan (56), yang mengaku sudah 10 tahun berinteraksi dengan lingkungan perusahaan. Katanya, perlakuan pihak perusahaan terkait sarana transportasi anak sekolah sangat buruk.
BACA JUGA: Kini, Alunan Ngaji para Santri tak Lagi Diganggu Suara Keras Dangdut Koplo
Akibatnya, setiap harinya anak-anak pekerja kebun sawit tersebut harus datang terlambat ke sekolah. Lantas, sebagai seorang Ketua Komite Sekolah, dirinya meminta kompensasi kepada pihak sekolah untuk tetap dapat menerima anak-anak karyawan perusahaan mengikuti pelajaran meski datang terlambat.
“Setiap hari selalu terlambat masuk sekolah. Jadi, saya datangi sekolahnya, kebetulan saya Ketua Komite di SMAN 1 Manduamas. Saya minta kepada pihak sekolah untuk menerima anak-anak itu untuk belajar setiap harinya meski datang terlambat. Karena biasanya yang terlambat tidak dibolehkan lagi masuk,” terang Jhon Piter.
“Bukan karena mereka malas sekolah, sehingga datang terlambat. Karena armada yang mereka tumpangi tidak memadai. Mereka tergantung hanya kepada transportasi yang disediakan perusahaan. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Apakah anak-anak ini patut kita salahkan kalau datang terlambat?” ketusnya.
Tak jarang, anak-anak karyawan ini harus berjalan kaki ke sekolah dengan menempuh jarak puluhan kilometer. Ini terjadi bila kendaraan yang mereka tumpangi mogok.
“Sudah sering mogok. Kalau sudah mogok, ini yang paling sedihnya, anak-anak harus jalan kaki untuk sampai ke sekolahnya. Apa boleh buat, truk pengangkut anak sekolahnya sudah gak bisa jalan lagi,” terangnya.
Jhon Piter menambahkan, dengan menumpang truk pengangkut anak sekolah yang disediakan perusahaan, anak-anak itu harus rela ditebari debu setiap harinya. Bila hujan turun, terpaksa seluruh pakaian dan tas sekolah berisi bukupun basah kuyup. Semua itu harus dilalui setiap harinya.
"Tapi bagimana mau kita buat, sudah saya usulkan kepada pihak perusahaan untuk memperhatikan itu, jawabnya selalu akan kita usahakan. Nyatanya sampai sekarang tidak juga ada realisasinya,” bebernya.
Soal penetapan Ramadhani, supir truk yang menewaskan 17 pelajar tersebut sebagai tersangka, Jhon Piter mengaku kurang setuju. Menurutnya, kesalahan bukan hanya pada supir, namun kondisi fasilitas yang diberikan perusahaan memang tidak layak lagi untuk dioperasikan dan itu menjadi salah satu pertimbangan bagi pihak kepolisian untuk menetapkan tersangka lain.
“Saya kurang setuju kalau hanya supir yang jadikan tersangka. Okelah kesalahannya karena ngebut, memang sudah sering diperingatkan biar jangan ngebut-ngebut bawa mobil. Tapi supir bekerja sesuai perintah atasan. Disuruh bawa mobil ini, dibawanya, disuruh bawa yang itu dibawanya,” kata Jhon Piter berharap polisi berlaku adil dengan penetapan hukum. (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Anggota Kopassus Ini Jadikan Tentara Brunei Lebih Hebat dari Malaysia dan Singapura
Redaktur : Tim Redaksi